Judul Buku: The Greatness of al-Andalus
Penulis: David Levering Lewis
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, November 2012
Tebal: 665 Halaman
Ketika kekaisaran Romawi Timur dan Persia berdiri dengan gagah sebagai dua
imperium penguasa dunia, bangsa Arab masih dianggap sebagai orang-orang
terbelakang yang hanya berdiri di pinggiran ruang pandang negara adidaya,
sekedar kawasan pencari laba bagi para saudagar kaya.
Pecahnya pertempuran antara kedua imperium tersebut pada tahun 591 M,
membawa guncangan politik, komersial, dan agama secara tiba-tiba. Belenggu
politik atas Arab, terlepas karena energi keduanya untuk berperang. Munculnya
kartel bisnis kaum Quraisy, seperti dari keluarga Umayyah menandai era
komersial. Sedangkan keberadaan Ka’bah serta kelahiran Muhammad yang
mendakwahkan Islam menjadi perwujudan kemapanan agama bangsa Arab.
Dalam waktu yang tidak singkat serta cobaan yang sangat berat, Sang Nabi
berhasil menancapkan pilar-pilar Islam pada masyarakat seantero Arab. Bahkan, sepeninggal beliau pijar-pijar Islam
terus memercik ke segenap penjuru Bumi, menerabas batas-batas suku, pulau,
pegunungan, serta mengarungi luasnya samudera. Menuju tempat dan kawasan, yang
barangkali tak pernah terbayangkan oleh komunitas awal.
Buku berjudul The Greatness of al-Andalus ini, menghadirkan salah satu potret Islam di kawasan “luar teritori
kelahiran”nya, yaitu tanah Andalusia atau saat ini dikenal sebagai Spanyol,
dalam detail sejarah yang begitu hidup. Sebuah kawasan lintas benua, yang
berjarak ribuan mil dari pusat kekuasaan Islam pada saat itu, Damaskus. Sayang,
bangkitnya radikalisme dan memudarnya toleransi beragama menjadi salah satu
pemicu keruntuhan kejayaan peradaban Islam di Andalusia.
Ekspansi tiada henti sangat penting bagi dinasti
Umayyah pada abad kedelapan. Mereka meyakini selama energi kekaisaran diarahkan
ke luar, asalkan kegairahan militer, perhitungan politik, dan keuntungan
ekonomi direbut di pusat-pusat kekuatan raksasa didukung oleh semangat jihad
yang bersinambung, kekuasaan mereka yang berpusat di Damaskus akan aman.
(Halaman 162) Agama bukanlah satu-satunya motivasi ekspansi.
Pajak yang dikumpulkan dari daerah taklukan
nonmuslim, merupakan solusi yang sangat efektif bagi krisis ekonomi yang
mengancam, terutama pada masa kepemimpinan Yazid II (berkuasa 720-724 M) yang
lemah dan penerusnya Hisyam (berkuasa 724-743 M). semakin banyak pemukiman yang
ditaklukan, maka semakin banyak pula pemasukan kepada kerajaan. Dengan ekspansi
dan peperangan, kesehatan perekonomian imperium dapat terpelihara.
Walhasil, derap kaki pasukan imperium Islam
terus membahana, mulai dari Tunisia, Libya, Aljazair, Maroko serta kawasan
lainnya di Afrika Utara, hingga selat Mediterania serta tempat-tempat di mana
warisan peradaban Kekaisaran Romawi tergeletak dalam reruntuhan di seberang
benua, yang terlihat oleh mata seperti sepotong kegelapan di cakrawala, daratan
Eropa terutama kawasan landa-hlaust atau bunyi dalam bahasa Arab al-Andalusia.
Invasi muslim pertama di Eropa dimulai dengan
penyebaran pasukan di Gunung Calpe pada malam hari di bawah komando Tariq bin
Ziad. Tariq membangun benteng batu bata di atas Jebel Tariq atau
sekarang dikenal dengan Gibraltar. Kavaleri dan infanteri Tariq berhadapan
dengan pasukan Roderic yang berjumlah jauh lebih besar pada minggu ketiga
tanggal 19 bulan Juli 711 di dekat sungai Guadalete. Meski berjumlah lebih
banyak, tuan rumah Visigoth hancur dan menyerah.
Setelah kemenangan itu, Tariq memimpin
pasukannya tanpa henti menyeberang ke provinsi Cadiz, dengan hati-hati
mengitari Sevilla yang dibentengi dengan baik dan menunggangi kuda melalui
Moron de la Frontera ke Ecija, kota kuno Romawi di lembah Rio Guadalquivir dan
terus merangsek ke Toledo yang sebagian besar telah kosong, hanya menyisakan
orang-orang Yahudi. (Halaman 200)
Tariq terus berpacu ke provinsi Leon dan
Castilla (Castile), sementara pasukan yang belakangan datang pimpinan Musa ibn
Nusayr menuju Austrias mengambil Oviedo hingga Teluk Biscay pada akhir musim
panas. Islam telah menggelinding ke Iberia seperti tsunami, mengumpulkan
tatanan lama seperti sampah tersapu ke dalam lautan sejarah. Dalam beberapa
bulan, al-Andalus yang membentang dari Atlantik dan Mediterania ke Ebro
di timur laut, dan Duero di barat laut, dapat dikuasai.
Masuknya Islam ke tanah Eropa, bukan hanya
membawa pasukan tetapi juga ilmu pengetahuan yang mengalir secara deras. Budaya
literer puisi, nalar, dan sains yang telah lama ahir dan bertumbuh-kembang di
dunia muslim, terutama Baghdad, dirawat dan dilestarikan di Andalusia.
Penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin marak dilakukan.
Kordoba juga melahirkan dua pemikir besar yang hingga kini tetap dikenang,
yaitu Ibnu Rusyd (1126) dan Musa Ibn Maymun (1133). (Halaman 528-530)
Menjelajahi halaman demi halaman buku karya
pemenang dua kali penghargaan Pulitzer ini, pembaca akan disuguhi narasi yang
mengalir mulai dari peperangan antara kekaisaran Romawi dan Persia, kelahiran
Islam dan perkembangan kekuasaan Islam mulai dari tanah kelahirannya, Timur
Tengah, Afrika Utara hingga ke jantung Eropa.
Setiap peristiwa penting, dihadirkan data dari
beragam sumber baik dari literatur Arab maupun Barat. Dilengkapi dengan
kronologi tahun penting serta garis silsilah para penguasa di semenanjung
Iberia tersebut. Dengan demikian, buku
setebal 665 halaman ini, layak disebut sebagai salah satu kronik sejarah
Islam Andalusia terlengkap yang mengajak para pembaca untuk menziarahinya
secara lebih objektif.
follow balik nya kang,,he
ReplyDeletetiasa dipinjemlah