Koran Jakarta, 25 Juli 2012
Judul Buku: Ali Sadikin;
Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi
Penulis: Ramadhan K.H.
Penerbit: Ufuk Press
Cetakan: I, Juni 2012
Tebal: 612 Halaman
Demam
pemilihan Gubernur sedang melanda Jakarta. Hingar bingar pesta demokrasi
tersebut tengah memasuki putaran kedua. Ada dua pasangan kandidat yang saat ini
tengah mempersiapkan diri untuk memimpin Jakarta; Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli
dan Joko Widodo - Basuki Tjahaya Purnama.
Hanya
Tuhan yang tahu, siapa diantara dua pasangan tersebut yang akan menjadi
pemimpin Jakarta. Namun, semua orang tahu bahwa satu-satunya Gubernur Jakarta
yang masih dikenang banyak orang hingga kini adalah Ali Sadikin, yang memimpin
Jakarta dari tahun 1966 hingga 1977. Mengapa ?
Buku
berjudul Ali Sadikin; Membenahi Jakarta
Menjadi kota yang Manusiawi ini, mencoba menelusuri sepak terjang selama Bang
Ali, begitu ia biasa dipanggil, selama menjadi Gubernur DKI. Ditulis oleh
Ramadhan K.H. seorang sastrawan kenamaan Indonesia yang meraih berbagai
penghargaan atas karya-karyanya.
Dilantik
Presiden Soekarno pada tanggal 28 April 1966 di Istana Negara, dengan
pertimbangan Jakarta, yang saat itu sedang tumbuh pesat disertai dengan seabreg
permasalahannya, membutuhkan seorang pemimpin yang koppig, yang keras kepala. Sosok demikian dirasa cocok dengan
karakter Ali Sadikin yang berlatar belakang tentara KKO, dengan pangkat
terakhir Mayor Jenderal. (Halaman 4-8)
Mualilah
Bang Ali, memimpin Jakarta. Kota yang semula direncanakan pemerintah Belanda
hanya untuk menampung 600 ribu penduduk, pada tahun 1966 telah berpenduduk 3,6
juta jiwa. Kenaikan tersebut lebih banyak disebabkan karena faktor urbanisasi dengan
masyarakat kelas bawah yang kurang pendidikan dan keahlian mendominasi.
Jadilah
Jakarta menjadi kota yang carut-marut dan kumuh. Sarana kota tidak lagi mampu
melayani kebutuhan penduduknya dalam semua sektor. Keadaan fisik kota sangat
mengenaskan, sehingga Bang Ali mengambil inisiatif untuk menetapkan Rencana
Induk Jakarta, sebuah langkah yang menjadi prioritas utama dalam siasat dasar
pemerintahannya. (Halaman 111-114)
Namun,
yang paling kontroversial diantara kebijakannya adalah melokalisasi para perempuan
pekerja seks Jakarta pada sebuah kawasan penuh rawa bernama Kramat Tunggak.
Sebuah kebijakan yang terinspirasi dari industri seks di Bangkok, Thailand.
Bang Ali beralasan kebijakan tersebut diambil agar Ibukota tidak terlihat kotor
dan jorok.
Melokalisasi
berarti mempersempit gerak para pekerja seks tersebut sehingga tidak bertebaran
di mana-mana. Strategi ini juga dipilih demi mengatasi dekadensi moral, serta
memperkecil korban lain yang terjerumus di dalamnya semaksimal mungkin.
Kebijakan ini tentu saja pada awalnya mendapat penolakan keras dari berbagai
kalangan, meski akhirnya tetap bisa berjalan setelah terjadi dialog. (Halaman
217-220)
Buku
setebal 612 Halaman ini, memotret pengalaman sosok Ali Sadikin selama 11 tahun
memimpin Jakarta. Dengan menggunakan kata “saya”, membaca buku ini seolah kita
mendengarkan sosok Ali Sadikin berbicara secara langsung. Karya apik ini bukan
sekedar untuk mengenang kepemimpinan Bang Ali di Jakarta semata, namun juga
memberi gambaran sosok yang tepat untuk memimpin ibukota.
Sebagaimana
yang disampaikan dalam pidato perpisahan pada sidang istimewa DPRD DKI Jakarta
tanggal 5 Juli 1977, seluruh pengalaman yang dituangkan di dalamnya, diharapkan
bermanfaat bagi para penerusnya, serta bagi siapa saja yang peduli dan memiliki
kepentingan untuk Jakarta yang lebih baik. (Halaman 580-599)
Selain
itu, menjelajahi halaman demi halaman buku ini, akan membawa pembaca pada masa
lalu Jakarta sebagai puasat pemerintahan yang ternyata juga pernah menjadi
tempat tinggal yang nyaman dan teratur. Dan bukanlah hal yang tidak mungkin,
Jakarta akan kembali menjadi kawasan yang lebih baik daripada sekarang, tentu
saja jika masyarakat Jakarta dapat memilih pemimpinnya secara tepat dalam
pemiihan Gubernur putaran dua yang menanti di depan mata.
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/96525
No comments:
Post a Comment