Friday, July 11, 2014

Peran Ulama dalam Sejarah Kemerdekaan


Suara Merdeka, 8 Juli 2014



Judul Buku: Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad

Penulis: Zainul Milal Bizawie

Penerbit: Pustaka Compass

Cetakan: I, 2014

Tebal: 420 Halaman

Sejarah hanya ditulis oleh pihak pemenang. Demikian menurut sebuah pepatah, dan demikian pula yang terjadi dalam penulisan sejarah di Indonesia yang masih berkabut. Sehingga apa yang dibaca oleh generasi berikutnya atas sebagian masa lalu Indonesia sering terlihat kabur dan membingungkan.


Peminggiran sejarah juga terjadi atas kiprah kaum ulama-santri pada masa kemerdekaan. Meski kontribusinya dalam menegakkan Republik Indonesia sangatlah besar dan kasat mata, namun acapkali dilupakan. Padahal fakta membuktikan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang justru paling efektif dan banyak dilakukan oleh kaum ulama-santri.


Bahkan, menurut buku berjudul Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad ini, pihak yang secara konsisten anti-kolonial adalah para ulama-santri seperti Syekh Yusuf al-Makassari di Banten, serta ulama lainnya yang tak pernah padam melakukan perlawanan terhadap Kolonial.  Hingga meledak menjadi sebuah peperangan terbesar sepanjang sejarah, yaitu Perang Jawa Diponegoro.


Berbasis di kawasan Selarong, Pangeran Diponegoro bukan hanya mendapat dukungan dari rakyat biasa, namun juga memperoleh legitimasi dari kalangan Ulama masyhur pada masa itu seperti Kyai Mojo dari Solo, Sentot Ali Basya, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdus Salam Demak Jombang, kyai hasan Besyari Tegalsari Ponorogo dan lainnya. (Halaman 46)   


Meski pada akhirnya Sang Pangeran ditangkap Belanda pada 28 Maret 1830 karena siasat licik di Kedu, semangat perlawanan kaum ulama-santri tidak pernah padam. Dengan merubah strategi dari frontal ke kultural, sisa pasukan Pangeran kasultanan Yogyakarta tersebut tetap mengobarkan semangat perlawanan melalui pesantren-pesantren yang didirikan sebagai institusi tempat para santri menimba ilmu keagamaan.


Dengan basis Pesantren dan jaringan tarekat serta menggunakan alasan agama sebagai landasannya, resistensi kaum santri tetap terjadi meski secara sporadis selama masa Kolonial Belanda di berbagai tempat. Antara lain perlawanan K.H Ahmad Rifa’I Kalisalak Batang, Entong Gendut di Condet Jakarta, Muhammad Idris dan Arfan di Ciomas, serta Kyai Kasan Mukmin dari Sidoarjo.


Sedangkan kaum santri yang menimba ilmu di Timur Tengah yang membentuk jejaring ulama nusantara, akhirnya menyadari pentingnya sebuah organisasi yang mampu mewadahi aspirasi mereka. Perubahan geopolitik di Timur Tengah yang ditandai runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani serta kemenangan Ibnu Saud yang berpaham Wahhabi yang notabene berbeda dengan paham yang dianut mayoritas Indonesia turut memicu kesadaran tersebut.


Hingga akhirnya musyawarah kaum ulama pada tanggal 31 Januari 1926 atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H membentuk jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) atau “Kebangkitan para Ulama”. Ulama kharismatik asal Jombang, pendiri Pesantren Tebu Ireng, K.H. hasyim Asy’ari ditempatkan sebagai Rais Akbar. (Halaman 92)


Sepanjang era Kolonial Belanda, organisasi keagamaan tersebut telah melakukan perlawanan kultural dengan bersikap dan melakukan tindakan kritis serta mengambil jarak dengan pemerintah. Tindakan tersebut dipahami sebagai langkah NU dalam memperjuangkan posisi dan kepentingan Islam di Hindia Belanda, pula sebagai langkah mendukung terwujudnya cita-cita kemerdekaan.   


Konfrontasi terbuka secara fisik mulai digelorakan NU sebagai sebuah organisasi dengan mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang ditandatangani oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari serta dikukuhkan oleh para kyai dalam sebuah rapat pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di jalan Bubutan VI No.2 Surabaya.


Fatwa yang antara lain berisikan fatwa hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun orang fakir dan hukum yang meninggal dalam peperangan tersebut adalah mati syahid tersebut terbukti sangat ampuh dalam membakar semangat juang rakyat untuk membela negara. Puncaknya adalah meletusnya perang pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya.


Tewasnya jenderal Mallaby membuat Inggris mengerahkan pasukannya secara besar-besaran untuk menggempur Surabaya. 15.000 personil dikerahkan, dilengkapi dengan kapal dan pesawat tempur serta tank-tank dengan teknologi termutakhir. Berhadapan dengan rakyat yang dimotori oleh kesatuan Hizbullah dan Sabilillah yang mayoritas hanya bersenjatakan bambu runcing. (Halaman 228-236)


Kehadiran buku setebal 420 Halaman ini, selain sebagai sebuah karya tulis yang kaya data, pula menjadi media yang mampu menjadi pengingat bagi bangsa yang sepertinya mudah lupa ini atas peranan kaum ulama-santri dalam membela Tanah Air yang merentang mulai dari abad 17 hingga pasca-kemerdekaan.


Selain itu, upaya rekonstruksi sejarah kemerdekaan yang dilakukan Zainul Milal Bizawie, penulisnya, layak diapresiasi sebagai sebuah ikhtiar untuk memperluas cakrawala sejarah Indonesia yang selama ini secara sadar atau tidak, seolah menihilkan kalangan ulama-santri hanya sebatas kaum sarungan yang berkutat dengan kitab kuning dan teralienasi dari dunia luar.   


Faktanya, justru kaum ulama-santri-lah yang menjadi “dukun” atas kelahiran “bayi” bernama Republik Indonesia. Selamat membaca.



No comments:

Post a Comment