Saturday, May 11, 2013

Penjaga Konstitusi dari Pulau Garam

Koran Tempo, 12 Mei 2013
 
Judul Buku: Biografi Mahfud MD; Terus Mengalir
Penulis: Rita Triana Buadiarta 
Penerbit: Konstitusi Press
Cetakan: I, Maret 2013
Tebal: 612 Halaman

Senin, 1 April 2013, pengabdian Mahfud MD pada Mahkamah Konstitusi yang telah dijalaninya selama lima tahun secara resmi berakhir. Publik pun menanti kiprah berikutnya pria berkaca mata ini. Maklum saja, bersama dengan Joko Widodo dan Dahlan Iskan, namanya kerap disebut oleh berbagi lembaga survey sebagai salah satu kandidat potensial presiden Indonesia tahun 2014.

Namanya mulai dikenal luas masyarakat setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kala itu menjadi Presiden RI mengangkatnya menjadi Menteri Pertahanan pada tahun 2000. Buku berjudul Biografi Mahfud MD; Terus Mengalir ini mengupas perjalanan hidup seorang Mahfud MD sejak masa kecil di Madura, tumbuh dewasa di Yogyakarta, dan menjadi pejabat di Jakarta.

Ditulis oleh Rita Triana Budiarta yang setidaknya menghabiskan waktu selama lima bulan untuk menyelesaikannya. Dua bulan pertama dihabiskan Rita untuk melakukan  wawancara secara intensif dengan Mahfud dan mendatangi secara langsung kampung, rumah, sekolah serta orang-orang sekitarnya. Selebihnya adalah proses penulisan.

Dari Madura Hingga Ibukota

Mohammad Mahfud lahir di Sampang Madura pada hari Senin 13 Mei 1957, anak keempat dari pasangan Mahmodin dan Siti Khadijah. Meski bukan anak pertama, ia adalah anak laki-laki tertua dalam keluarga. Sehingga, sebagaimana lazimnya dalam tradisi masyarakat Madura, Mahfud memiliki tanggung jawab paling besar diantara saudara-saudaranya yang lain. 

Anak keempat dari tujuh bersaudara ini menghabiskan masa kecilnya di Kecamatan Waru, Pamekasan dalam suasana politik yang panas dan penuh ketegangan. Saat itu, kubu Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh banyak melakukan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap anggota Nahdlatul Ulama (NU) salah satunya bernama Kyai Jufri.

Akibatnya, gelombang balas dendam pun meletus dan aksi kekerasan memuncak. Peristiwa berikutnya adalah era represif Orde Baru. Bahkan kali ini melibatkan sang ayah yang sempat ditahan aparat selama berhari-hari karena lebih memilih Partai Nahdlatul Ulama daripada Golongan Karya (Golkar). Untungnya peristiwa tersebut tidak mengganggu seluruh aktivitas belajarnya, baik yang non-formal di langgar (musholla) dan pesantren maupun sekolah formal di SDN Waru I.

Lulus dari SD ia berkeinginan masuk ke SMPN 1 Pamekasan, sayangnya cita-cita tersebut kandas karena sang Ayah menginginkannya bersekolah di Pendidikan Guru Agama (PGA) yang berjarak sekitar 35 km dari rumah. Di sekolah inilah justru Mahfud memperoleh nama tambahan “MD” yang diakuinya membawa lucky. (Halaman 33)

Penyebabnya, nama Mohammad Mahfud ternyata nama pasaran di PGA. Sampai-sampai ada tiga murid bernama sama dalam satu kelas. Setiap kali guru menyebut nama “Mahfud”, ketiganya langsung mengacung. Sang guru akhirnya mengusulkan agar nama ayah disematkan di belakang nama mereka. Mahfud pun menambahkan nama Modin yang kemudian agar lebih terlihat keren disingkatnya menjadi MD.

Meski sejak kecil dikenal cerdas dan memiliki rasa ingin tahu yang besar, akan tetapi ketertarikannya terhadap ilmu hukum dimulai ketika ia menimba ilmu di Sekolah Guru dan Hakim Islam (SGHI) yang kemudian berubah menjadi Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta. Sebuah sekolah yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan akan hakim-hakim agama pada saat itu.

Di kota pelajar, ia juga menimba ilmu pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia juga Sastra Arab UGM, lalu melanjutkan studi S2 pada Ilmu Politik Pascasarjana UGM. Di almamater yang sama ia juga mengambil studi doktoral dalam Ilmu Hukum Tata Negara. Selain secara akademis, Mahfud juga menggembleng diri dalam berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ia juga berteman dengan para intelektual Yogyakarta seperti Amin Rais, Syafi’i Ma’arif dan Kuntowijoyo.

Barangkali, namanya akan dikenal hanya sebagai pakar hukum dan guru besar di UII jika saja Abdurrahman Wahid tidak memanggilnya ke Jakarta untuk menjadi menteri dalam kabinet pemerintahannya yang baru saja terbentuk. Sayangnya tidak lama dan setelah Gus Dur dilengserkan, Mahfud memilih bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan oleh idolanya itu. (Halaman 336)

Setelah itu, berbagai jabatan diembannya seolah tak terpengaruh perubahan rezim. Setelah menjabat sebagai menteri, Mahfud juga pernah berkantor di Senayan mewakili PKB, hingga akhirnya terpilih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013.

Dengan kata lain, Mahfud merupakan sosok langka yang pernah mengisi semua posisi dalam cabang-cabang yang dicetuskan oleh John Locke dengan trias politica-nya, mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Semua dijalaninya dengan ikhlas dan penuh dedikasi. Sehingga tidaklah mengherankan jika kini namanya disebut-sebut sebagai kandidat presiden paling bersih di tahun 2014. (Halaman 605)

Kisah yang Belum Selesai

Kehadiran buku setebal 612 halaman ini, selain sebagai upaya mendokumentasikan kisah hidup salah satu tokoh terpopuler Indonesia saat ini, juga diharapkan mampu memberi inspirasi kepada pembaca di tengah kelangkaan figur yang dapat dijadikan panutan. Selain itu, pembaca juga akan diajak menjelajahi dua kultur arus utama Islam di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah secara sekaligus.

Mengingat suami dari Zaizatun Nihayati ini, sangat lekat dengan dua ormas besar di Tanah Air tersebut. Cara belajar agama khas NU dialaminya di Madura sehingga memberinya bekal materi yang sangat banyak. Akan tetapi aktualisasinya dibangun di Yogya dan lingkungan Muhammadiyah. Belakangan ia menjadi karib serta pengikut setia Gus Dur yang nota bene mantan ketua umum PBNU.

Meski demikian, sebagaimana kisah hidup seorang Mahfud MD yang masih berjalan, demikian pula dengan kisah yang dituliskan mengenainya. Walhasil, kita pun akan menyaksikan apa yang berikutnya akan tercatat dalam lembar sejarah hidup penjaga konstitusi yang selalu bicara terbuka dan sederhana ini. 


No comments:

Post a Comment