Sunday, December 30, 2012

Perempuan Pengkretek Menggugat

Jateng Pos, 23 Desember 2012

Judul Buku: Perempuan Berbicara Kretek
Penulis: Abmi Handayani
Penerbit: Indonesia Berdikari
Cetakan: I, 2012
Tebal: 320 Halaman

Namanya Putri Prasetyaningrum, ia mulai mengenal kretek semenjak kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mungkin banyak yang mengira, bahwa kegemarannya menghisap kretek dampak dari lingkungan yang buruk, keluarga yang broken home, atau terlibat masalah yang sangat berat sehingga menjadikan kretek sebagai pelarian.

Setidaknya, demikianlah stigmatisasi yang terjadi di masyarakat terhadap perempuan perokok. Anggapan tersebut bisa jadi beralasan, meskipun tidak bisa digeneralisasikan dan dibenarkan sepenuhnya sebagaimana yang terjadi pada diri Putri. Keputusannya untuk menjadi perempuan penghisap kretek lebih disebabkan pemberontakan atas kultur yang terlalu kuat dicengkeram kaum laki-laki.

Perempuan, dalam kultur patrilineal, sama dengan benak kebanyakan orang yang telah teracuni propaganda sinetron; tidak keluar malam, kalem, bukan perokok dan tentu saja cantik. Perempuan terkesan hanya sebagai hiasan yang berguna untuk memperindah pemandangan. Menghisap kretek, adalah melakukan pemberontakan terhadap itu semua. (Halaman 72)

Sosok Putri hanyalah salah satu perempuan yang berbagi pengalaman bersama kretek dalam buku berjudul Perempuan Berbicara Kretek ini. Selain Putri, masih ada dua puluh satu perempuan lain yang menuangkan kisahnya dan mengemukakan pendapatnya mengenai rokok (kretek) yang berasal dari beragam kalangan; mahasiswa, aktivis, peneliti hingga politisi. 

Disatukan oleh kepedulian terhadap kretek, mereka kemudian berinisiatif untuk menulis bunga rampai ini dengan harapan agar kretek, sebagai salah satu warisan bangsa Indonesia, dapat eksis bertahan dari gelombang serangan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang menghendaki industri nasional ini hancur dengan beragam dalih, baik moral maupun kesehatan.

Isu rokok memang berkembang secara dramatis. Antara fakta dan mitos menjadi semakin sulit untuk dipilah. Saking derasnya pemberitaan yang berseliweran tentang bahaya rokok, kebanyakan orang akan langsung saja mengamini ketika ada pernyataan bombastis bahwa sebatang rokok dapat mengurangi 5 menit hidup manusia. Memang ada yang tahu jatah umur seseorang secara tepat, sehingga bisa mengukurnya ketika berkurang ? 

Selain isu kesehatan, isu moralitas juga kerap mendera para penghisap kretek perempuan. Sebagaimana yang diceritakan dalam pengalaman Putri di atas, menjadi perempuan penghisap kretek menjadi dilema di negeri ini. Di satu sisi, hampir semua kretek yang beredar lahir dari tangan buruh perempuan pekerja keras, di sisi lain ketika ada perempuan merokok stigma negatif akan melekat kepada mereka sebagai pelaku perbuatan tabu, pelacur, dan perempuan yang tidak baik. 

Stereotipikal ini mengingatkan kita pada masa Orde Baru, di mana perempuan tidak boleh lagi berkumpul, berorganisasi, berdiskusi bahkan untuk memperjuangkan haknya sendiri. Berpolitik menjadi sesuatu yang tabu. Memang, pencitraan mengenai perempuan yang baik di Indonesia, sebagaimana dikatakan Astrid Reza, sangat dipengaruhi oleh negara. (Halaman 129) 

Kini, perempuan menjadi bulan-bulanan politik pencitraan global. Standar kecantikan mereka ditentukan oleh televisi dan produk kosmetik. Perempuan, bersama anak-anak, juga menjadi target utama kampanye anti tembakau dengan dalih merusak kesehatan. Kondisi ini semakin memperburuk citra perempuan penghisap kretek.

Buku setebal 320 halaman ini terbagi menjadi empat bagian; Pertama, berisi cerita tentang kehadiran kretek di seputar kehidupan penulisnya. Kedua, bagian ini menceritakan stigmatisasi buruk yang kerap dialami para perempuan penghisap kretek ketika berada di tengah masyarakat. Ketiga, bercerita tentang tantangan yang sedang dihadapi kretek. Keempat, membahas tentang sejarah kretek sebagai warisan budaya nasional.

Pendapat yang disuarakan di dalamnya, terkandung perspektif dan nilai-nilai kaum perempuan itu sendiri terkait dengan kretek, baik aspek historis maupun antropologis. Pendapat yang disuarakan berdasarkan atas kepentingan mereka sendiri, bukan distandarisasi oleh orang lain. Nampaknya, inilah buku pertama yang secara terang-terangan berisi pembelaan terhadap perempuan penghisap kretek sekaligus gugatan atas stigma negatif terhadap kalangan ini.  

No comments:

Post a Comment