Jateng Pos, 23 Desember 2012
Judul Buku: Perempuan Berbicara Kretek
Penulis: Abmi Handayani
Penerbit: Indonesia Berdikari
Cetakan: I, 2012
Tebal: 320 Halaman
Namanya
Putri Prasetyaningrum, ia mulai mengenal kretek semenjak kelas 3 Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Mungkin banyak yang mengira, bahwa kegemarannya
menghisap kretek dampak dari lingkungan yang buruk, keluarga yang broken
home, atau terlibat masalah yang sangat berat sehingga menjadikan kretek
sebagai pelarian.
Setidaknya,
demikianlah stigmatisasi yang terjadi di masyarakat terhadap perempuan perokok.
Anggapan tersebut bisa jadi beralasan, meskipun tidak bisa digeneralisasikan
dan dibenarkan sepenuhnya sebagaimana yang terjadi pada diri Putri. Keputusannya
untuk menjadi perempuan penghisap kretek lebih disebabkan pemberontakan atas kultur
yang terlalu kuat dicengkeram kaum laki-laki.
Perempuan,
dalam kultur patrilineal, sama dengan benak kebanyakan orang yang telah
teracuni propaganda sinetron; tidak keluar malam, kalem, bukan perokok dan
tentu saja cantik. Perempuan terkesan hanya sebagai hiasan yang berguna untuk
memperindah pemandangan. Menghisap kretek, adalah melakukan pemberontakan
terhadap itu semua. (Halaman 72)
Sosok Putri
hanyalah salah satu perempuan yang berbagi pengalaman bersama kretek dalam buku
berjudul Perempuan Berbicara Kretek ini. Selain Putri, masih ada dua
puluh satu perempuan lain yang menuangkan kisahnya dan mengemukakan pendapatnya
mengenai rokok (kretek) yang berasal dari beragam kalangan; mahasiswa, aktivis,
peneliti hingga politisi.
Disatukan
oleh kepedulian terhadap kretek, mereka kemudian berinisiatif untuk menulis
bunga rampai ini dengan harapan agar kretek, sebagai salah satu warisan bangsa
Indonesia, dapat eksis bertahan dari gelombang serangan, baik dari dalam maupun
luar negeri, yang menghendaki industri nasional ini hancur dengan beragam
dalih, baik moral maupun kesehatan.
Isu rokok
memang berkembang secara dramatis. Antara fakta dan mitos menjadi semakin sulit
untuk dipilah. Saking derasnya pemberitaan yang berseliweran tentang bahaya
rokok, kebanyakan orang akan langsung saja mengamini ketika ada pernyataan
bombastis bahwa sebatang rokok dapat mengurangi 5 menit hidup manusia. Memang ada
yang tahu jatah umur seseorang secara tepat, sehingga bisa mengukurnya ketika
berkurang ?
Selain isu
kesehatan, isu moralitas juga kerap mendera para penghisap kretek perempuan.
Sebagaimana yang diceritakan dalam pengalaman Putri di atas, menjadi perempuan
penghisap kretek menjadi dilema di negeri ini. Di satu sisi, hampir semua
kretek yang beredar lahir dari tangan buruh perempuan pekerja keras, di sisi
lain ketika ada perempuan merokok stigma negatif akan melekat kepada mereka
sebagai pelaku perbuatan tabu, pelacur, dan perempuan yang tidak baik.
Stereotipikal
ini mengingatkan kita pada masa Orde Baru, di mana perempuan tidak boleh lagi
berkumpul, berorganisasi, berdiskusi bahkan untuk memperjuangkan haknya
sendiri. Berpolitik menjadi sesuatu yang tabu. Memang, pencitraan mengenai
perempuan yang baik di Indonesia, sebagaimana dikatakan Astrid Reza, sangat
dipengaruhi oleh negara. (Halaman 129)
Kini,
perempuan menjadi bulan-bulanan politik pencitraan global. Standar kecantikan
mereka ditentukan oleh televisi dan produk kosmetik. Perempuan, bersama
anak-anak, juga menjadi target utama kampanye anti tembakau dengan dalih
merusak kesehatan. Kondisi ini semakin memperburuk citra perempuan penghisap
kretek.
Buku
setebal 320 halaman ini terbagi
menjadi empat bagian; Pertama, berisi cerita tentang kehadiran kretek di
seputar kehidupan penulisnya. Kedua, bagian ini menceritakan
stigmatisasi buruk yang kerap dialami para perempuan penghisap kretek ketika
berada di tengah masyarakat. Ketiga, bercerita tentang tantangan yang
sedang dihadapi kretek. Keempat, membahas tentang sejarah kretek sebagai
warisan budaya nasional.
Pendapat yang disuarakan
di dalamnya, terkandung perspektif dan nilai-nilai kaum perempuan itu sendiri
terkait dengan kretek, baik aspek historis maupun antropologis. Pendapat yang
disuarakan berdasarkan atas kepentingan mereka sendiri, bukan distandarisasi
oleh orang lain. Nampaknya, inilah buku pertama yang secara terang-terangan
berisi pembelaan terhadap perempuan penghisap kretek sekaligus gugatan atas
stigma negatif terhadap kalangan ini.
No comments:
Post a Comment