Judul Buku: Kudeta Putih
Penulis: Syamsul Hadi, dkk
Penerbit: Indonesia Berdikari
Cetakan: I, September 2012
Tebal: 247 Halaman
Penerbit: Indonesia Berdikari
Cetakan: I, September 2012
Tebal: 247 Halaman
Senandung reformasi pada tahun 1998 menawarkan harapan
baru kepada berjuta-juta rakyat Indonesia. Maklum, selama 35 tahun negeri ini
dikangkangi rezim otoritarian Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, dimana
segala kebijakan ditentukan berdasarkan kepentingan penguasa semata. Melawan,
berarti akan berhadapan dengan pasukan bersenjata.
Reformasi menawarkan kebebasan. Reformasi menawarkan
demokrasi yang sesungguhnya, bukan Demokrasi Terpimpin atau Demokrasi
Pancasila. Reformasi juga menjanjikan kesejahteraan karena korupsi, sebagai
biang penderitaan rakyat yang saat itu melekat pada rezim terdahulu, hendak
disikat. Setidaknya begitulah harapan sebagian besar rakyat Indonesia saat itu.
Sebagian harapan tersebut boleh jadi telah mewujud saat
ini. Kebebasan berekspresi misalnya bisa dinikmati hamper setiap orang di
negeri ini. Di luar itu, harapan masih jauh panggang dari api. Praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme atau yang dikenal dengan akronim KKN, bisa kita saksikan
hingga saat ini. Terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat
minimnya kepercayaan terhadap lembaga penegakan hukum yang lain, menjadi bukti
kuat akan hal itu.
Sayangnya, masa transisi demokrasi di Indonesia tersebut
juga melahirkan efek samping yang berbahaya, yakni terbukanya peluang untuk
peningkatan dominasi asing dalam ekonomi Indonesia. Hal inilah yang membuat
rakyat Indonesia terancam kedaulatan ekonominya dan menjadi “penonton” di
negeri sendiri. Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh berjudul lengkap Kudeta Putih; Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan
Asing dalam Ekonomi Indonesia ini.
Reformasi menjadi jalan bagi penetrasi dan perluasan
kepentingan asing melalui amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan
munculnya berbagai undang-undang serta peraturan pemerintah yang diwarnai
semangat liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi yang dilakukan atas tekanan
IMF, serta lembaga donor lain dan negara-negara pemberi hutang. (Halaman 1-12)
Keberadaan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, misalnya. Banyak pihak menilai bahwa UU ini sangat liberal, mengingat di
dalamnya mengusung semangat neoliberal yang ditetapkan IMF, seperti divestasi,
deregulasi, kompetisi, equal treatment
atau perlakuan sama antara Pertamina sebagai BUMN dengan perusahaan asing, dan
penyerahan harga pada mekanisme pasar.
Melalui UU Migas ini, Pertamina dipaksa bersaing dengan
perusahaan lain untuk mendapat kontrak wilayah eksploitasi migas di negerinya
sendiri. Selain itu, UU ini juga memindahkan kewenangan otoritas Pertamina untuk
dijalankan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), yang
salah satu tugasnya adalah menandatangi kontrak kerja sama (KKS) dengan
kontraktor asing maupun nasional. Sebelum akhirnya dibubarkan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Menariknya, rancangan UU tersebut banyak dipengaruhi
negara lain, khusunya Amerika Serikat. Campur tangan negeri Paman Sam tersebut
dapat terendus melalui dua dokumen USAID yang secara jelas menyatakan
keterlibatan mereka dalam memberikan bantuan dana untuk merombak regulasi
energi Indonesia yang mulai dijalankan pada tahun fiskal 2000 dan diharapkan
selesai pada 2004. (Halaman 101-110)
Selain Migas, pertanian dan ritel juga tidak luput
menjadi sasaran liberalisasi. Sektor pertanian kerap menjadi isu sensitif baik
di negara maju, maupun negara miskin, mengingat kaitannya dengan kebutuhan
primer manusia. Selain itu, isu pangan juga merupakan isu strategis dan
menentukan kebijakan ekonomi suatu negara serta seringkali menjadi komoditas politik
yang dapat mempengaruhi masyarakat secara luas.
Sedangkan sektor ritel merupakan bidang usah yang tengah
berkembang pesat dan semakin penting dalam perekonomian Indonesia. Data
menunjukkan, bahwa industri ini menjadi kontribusi terbesar kedua terhadap
pembentukan gross domestic product
(GDP) setelah pengolahan. Fakta ini, menarik perhatian investor asing untuk
membuka bisnis ritel di Indonesia.
Adalah Keppres No. 96/2000 dan kemudian diperbarui dengan
Keppres No. 118/2000 tahun 2000 tentang penanaman modal asing (PMA) yang
membuka kran asing berbisnis ritel bersakala besar di Indonesia tanpa batasan.
Belakangan, segmen ritel yang selama ini dilarang bagi PMA seperti minimarket dan convenience store semakin marak bak jamur di musim hujan. (Halaman 175)
Buku yang
diadaptasi dari laporan penelitian ini, berusaha memberikan memberikan analisis
kritis dengan menelisik fakta bagaimana kekuatan asing melakukan infiltrasi
terhadap berbagai lembaga di Indonesia sehingga melahirkan peraturan yang
menguntungkan pihak mereka, namun merugikan rakyat Indonesia. Dengan modal data
yang akurat, buku setebal 247 Halaman ini menjadi
bahan bacaan serta referensi bagi siapa saja yang peduli akan kedaulatan Ibu
Pertiwi.
No comments:
Post a Comment