Judul Buku: Dari Puncak Andalusia; Kisah Islam
Pertama Kali Menginjakkan Kaki di Spanyol, Membangun Peradaban, Hingga Menjadi
Warisan Sejarah Dunia
Penulis: Dr. Tariq Suwaidan
Penerbit: Zaman
Cetakan: I, 2015
Tebal: 720 Halaman
Penulis: Dr. Tariq Suwaidan
Penerbit: Zaman
Cetakan: I, 2015
Tebal: 720 Halaman
Tanah Andalusia, atau yang kini disebut sebagai Spanyol, saat ini lebih dikenal dengan tradisi sepakbola dengan gaya tiki-taka-nya. Sebuah gaya permainan yang teroganisir dan sedap dipandang di atas lapangan hijau, dan terbukti ampuh memenangkan banyak pertandingan. Dua klub yang menjadi ikon sekaligus seteru dari negeri ini adalah Barcelona dan Real Madrid.
Siapa nyana, Spanyol bukan
hanya menyimpan kisah soal sepakbola semata. Negeri matador tersebut rupanya
pernah menjadi mercusuar dunia dan kiblat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Tepatnya
di sebuah kota bernama Kordoba yang pada masa itu disebut sebagai “mutiara
dunia”.
Kordoba bahkan menjadi kota
megapolitan dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Diperkirakan angkanya
mencapai lima ratus ribu jiwa. Pada masa itu, hanya Baghdad yang memapu
menandingi kebesarannya. Rumah-rumahnya berjumlah 13 ribu unit, dan terdapat 3.000
masjid.
Pada masa pemerintahan
Abdurrahman ibn Muhammad (Al-Nashir) yang berkuasa selama lima puluh tahun
(913-963 M), kekayaan yang tersimpan dalam Baitul Mal mencapai angka 300 juta
Lira emas. Istananya dinamakan Madinah al-Zahrah yang dinding serta
langit-langitnya dilapisi emas dan perak serta batu pualam yang bening.
Sedangkan 400 ribu judul
buku tersimpan secara rapi di satu perpustakaan pemerintah saja. Padahal di
seluruh Andalusia terdapat 70 perpustakaan. Tidaklah mengherankan jika
Andalusia banyak melahirkan ulama dan pemikir kelas dunia. Salah satu nama
besar yang dikenang hingga kini filosof bernama Ibn Rusyd atau di dunia Barat
disebut Averroes. (Halaman 273-281)
Itulah keagungan Andalusia
pada masa Islam berkuasa yang digambarkan Tariq Suwaidan secara apik dalam buku
berjudul Dari Puncak Andalusia; Kisah
Islam Pertama Kali Menginjakkan Kaki di Spanyol, Membangun Peradaban, Hingga
Menjadi Warisan Sejarah Dunia ini. Sebuah buku yang mendedah ketika Islam
datang, berkuasa, dan dibinasakan di tanah Andalusia.
Sebelum kedatangan pasukan
Islam, Andalusia telah beberapa kali diserang dan diduduki oleh suku-suku lain.
Salah satunya adalah suku yang berasal dari kawasan utara bernama Vandal.
Keberadaan membuat kawasan ini kemudian disebut Vandalusia, dan orang Arab
meringkasnya menjadi Andalusia.
Penulisan sejarah penaklukan
Andalusia oleh pasukan muslim, tidaklah mungkin mengesampingkan pahlawan
legendaris dalam misi tersebut; Thariq bin Ziyad. Dalam perang Barbate yang
berkobar selama delapan hari (28 Ramadhan 92 H – 5 Syawal 92 H), Tariq yang
hanya memiliki 15.000 prajurit berhasil mengalahkan pasukan Visigoth pimpinan
Roderick yang berjumlah 100.000.
Berbeda dengan penulis lain,
Tariq Suwaidan, menyebut pidato panjang Thariq yang disebutkan di berbagai buku
sejarah hanyalah fiktif semata. Demikian pula insiden pembakaran kapal yang
membuat pasukannya tidak punya pilihan untuk mundur berlayar kembali ke Afrika
Utara sebagai ahistoris. (Halaman 49)
Setelah menaklukan Sidonia,
Moron, Carmona, Elvira dan Ecija di wilayah selatan Andalusia, pasukan Thariq
yang tersisa sembilan ribu orang terus bergerak ke arah utara. Kota Jaen dan
Toledo akhirnya mereka kuasai hanya dalam beberapa bulan saja, tepatnya pada
tahun 92 H (711 M)
Ekspedisi Thariq
ditindaklanjuti oleh atasannya langsung, Musa bin Nushair yang kemudian
mengorganisasi pasukan, mengodusifkan kawasan, dan bersama Thariq menyerang
ibukota wilayah utara, Zaragoza. Setelah tiga tahun, seluruh wilayah Andalusia
akhirnya dapat ditaklukan kecuali Cavadonga.
Delapan ratus tahun lebih
Islam mewarnai langit Andalusia. Peralihan kekuasaan dan pergantian dinasti
penguasa tidak menyurutkan eksistensi Islam di Semenanjung Iberia ini. Hingga akhirnya konflik internal kerajaan,
bersatunya bangsa Eropa, dan lahirnya penguasa-penguasa lemah sehingga benteng
mudah jatuh, membuat kekuasaan Islam runtuh.
Berbeda dengan pasukan Islam
yang tidak memaksakan agama kepada penduduk daerah yang ditaklukannya, penguasa
Spanyol sebagai pihak pemenang justru secara sistematis melakukan deislamisasi
di Andalusia. Pengharaman bahasa Arab, larangan mandi, larangan memakai pakaian
Arab, hingga inquisisi pun dilakukan terhadap kaum muslim secara keseluruhan.
Setidaknya tiga juta jiwa muslim tewas dalam proses ini dan sisanya beralih
agama. (Halaman 689)
Dilengkapi dengan ilustrasi,
potret dan sketsa yang melukiskan keagungan arsitektur serta keindahan dekorasi
peninggalan Islam di spanyol, buku setebal tujuh ratus dua puluh halaman ini membuat
pembaca serasa diajak penulisnya untuk melakukan tur ke masa lalu nan penuh nostalgik
sekaligus tragik.
Dari Andalusia, Eropa menimba ilmu pengetahuan. Dari
Andalusia pula, pertumpahan darah antara kaum Muslim dan Kristen pertama kali
memercik. Sejarah yang disuguhkan dalam buku ini, tentu saja bukan untuk
menggarami luka yang ada, sebaliknya agar menjadi inspirasi bagi perdamaian
antara dua umat beragama tersebut. Karena tidak ada yang tersisa dari dendam
kecuali kerugian. Dan tidak ada yang tersisa dari kezaliman kecuali duka dan
luka.
Cukup baguskah bukunya (penulisannya obyektif)?
ReplyDeletebagus, bahasanya menarik
ReplyDelete