Majalah Gatra, Edisi 8-14 November 2012
Judul Buku: Bukan 350 Tahun Dijajah
Penulis: G.J. Resink
Penerbit: Komunitas Bambu
Cetakan: I, 2012
Tebal: 366 Halaman
Nampaknya, sejarah mengenai kolonialisme Belanda di
nusantara harus ditulis ulang. Selama ini, hampir semua buku sejarah, terutama
buku ajar sekolah, menyatakan bahwa Indonesia (Nusantara) mengalami penjajahan
selama 350 tahun.
Faktanya hal itu hanyalah mitos sejarah yang terlalu
dibesar-besarkan, mengingat kekuasaan Belanda yang besar baru tercapai
menjelang meletusnya Perang Dunia II. Demikian diungkapkan Getrudes Johannes
Resink, seorang ahli hukum, penyair dan sejarawan dalam buku berjudul Bukan 350 Tahun Dijajah ini. Sebuah karya sejarah yang menggunakan
pendekatan hukum internasional.
Usaha menulis ulang sejarah Indonesia sejatinya telah
dimulai sejak era pendudukan Jepang, sayangnya, referensi yang digunakan masih literatur
yang sama dengan sebelumnya sehingga gagal menghadirkan fakta baru. Sementara
Resink lebih memilih menempuh jalur yang berbeda, berdasarkan data-data dari
dunia perundang-undangan dan para ahli hukum sebagai dasar penelitiannya.
Hasilnya, tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa
banyak kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri di Indonesia yang belum pernah
takluk di bawah cengkeraman tangan besi hukum Negara Hindia Belanda. Pasal 25
tahun 1836 dalam Peraturan Tata Pemerintahan Hindia Belanda menyimpulkan bahwa “di
sekitar kerajaan Hindia Belanda terdapat raja-jara Hindia yang merdeka,
meskipun berjumlah sangat sedikit.” (Halaman 64)
Pembongkaran atas perspektif sejarah yang berbasis pada
Eropasentris dan Belandasentris, menjadi langkah yang pertamakali dilakukan Resink.
Hal ini perlu dilakukan karena menurutnya, penggalian sumber-sumber baru dan
pembacaan kembali sumber-sumber lama dengan pandangan dan sikap bebas dari
mitos yang telah ditanamkan historiografi kolonial akan memberi gambaran lain
tentang masa lalu Indonesia.
Dalam buku berisi empat belas tulisan hasil riset serta
penelitiannya mengenai sejarah Indonesia ini, Resink berkesimpulan bahwa angka
350 tahun merupakan mitos yang sengaja dihembuskan oleh para politisi kolonial yang,
sayangnya, diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh pemerintah Republik
Indonesia. Padahal, taksiran Resink Belanda menjajah Nusantara tidak lebih dari
40 tahun.
Pada masa berlakunya undang-undang Tarif Hindia Belanda
(1873), negara-negara di nusantara dipandang sebagai subjek istimewa hukum
internasional yang dilengkapi dengan kedaulatan atau hak-hak daulat, sehingga
tidak mengherankan jika banyak sarjana hukum memandang munculnya negara-negara
tersebut dalam latarbelakang hukum antarbangsa. (Halaman 249)
Menariknya, raja-raja Hindia bukan merupakan
kekuasaan-kekuasaan asing, tetapi sebagai raja-raja Pribumi merdeka dan
berswapraja dalam wilayah Hindia Belanda yang telah mengakui ketuanan Ratu
Belanda dan menjadi raja-raja bawahan beliau, misalnya; Surakarta, Yogyakarta,
Goa, Lombok, dan lain-lain.
Kedaulatan bukan hanya dimiliki oleh negeri-negeri yang
merdeka, tetapi juga oleh para raja dan negeri-negeri yang telah melakukan
perjanjian dengan Belanda dan mengakuinya sebagai penguasa tertinggi. Raja-raja
tersebut masih berdaulat di dalam wilayahnya masing-masing.
Bahkan, dengan mengutip Split, Resink menyatakan bahwa
baru setelah tahun 1881, secara bertahap pemerintah kolonial mengharuskan agar
bendera Belanda dikibarkan baik di darat maupun di laut. Sebelumnya,
kapal-kapal pribumi masih menggunakan bendera sendiri di lautan bebas. (Halaman
107-108)
Klaim Belanda atas lautan bebas, baru dimulai setelah
mereka menyadari akan kekayaan laut Nusantara, terutama mutiara. Meski demikian,
klaim tersebut hanya berlaku pada teritori Hindia Belanda, sedangkan perairan
lain tetap berada di bawah kekuasaan Negara yang masih eksis berdiri, seperti;
Bali, Jambi, Riau, Gunung Tabur (Kalimantan Timur), dan negeri-negeri di
Sulawesi Selatan.
Buku setebal 366 Halaman ini, berhasil mengubah pandangan
terhadap masa lalu, khususnya tentang keadaan Indonesia pada abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Selain itu, meski pada awalnya hanya mempelajari sejarah hukum
konstitusi, namun memberi implikasi lebih luas, yaitu memperjelas suasana serta
hubungan internasional di Kepulauan Nusantara antara negeri Hindia Belanda di
Batavia dengan negeri-negeri Pribumi.
Walhasil, sebagaimana
dikatakan oleh sejarawan Taufik Abdullah Resink “berjasa penting memperknalkan
pendekatan umum internasional dalam menelaah sejarah kolonialisme dan
kesimpulan dari penilitiannya kekuasaan Belanda yang dikatakan selama 350 tahun
di Kepulauan Indonesia sebenarnya tak lebih dari mitos politik belaka yang tak
bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah
No comments:
Post a Comment