Lampung Post, 13 Januari 2013
Judul Buku: Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi
Penulis: Sarlito Wirawan Sarwono
Penerbit: Alvabet
Cetakan: I, Juli 2012
Tebal: 168 Halaman
Asumsi sebagian kalangan bahwa pelaku terorisme adalah
orang-orang penyandang sakit jiwa, penderita gangguan kepribadian, pribadi yang
sadis, atau sebagaimana pendapat literatur Barat yang menganggap akibat libido
seksual yang tidak tersalurkan, nampaknya keliru.
Hasil penelitian terhadap pelaku Bom Bali I, dan sejumlah
mantan pelaku teror lain di Tanah Air mengungkapkan bahwa para pelaku teror tersebut
merupakan orang-orang biasa, bahkan beberapa diantaranya tergolong cerdas,
hanya saja memiliki ideologi yang menganggap dirinya paling benar dan ideologi
lain salah serta merusak sehingga dengan demikian harus diperangi.
Demikianlah menurut Sarlito Wirawan Sarwono, seorang
psikolog yang secara intens meneliti psikologi para pelaku teror, terutama Bom
Bali I, sebagaimana diungkapkan dalam buku berjudul lengkap Terorisme di
Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi ini.
Sebuah buku yang bukan sekedar didedikasikan untuk tujuan akademik, namun juga
memiliki fungsi aplikatif.
Secara kognitif, pemikiran yang dangkal dari para pelaku
terkait dengan struktur berpikir yang sederhana. Sebagian besar memiliki
pendidikan yang sangat terbatas dan hampir tak ada pengalaman di luar
komunitasnya. Bahkan, pelaku yang terdidik sekalipun, tidak menunjukkan
tanda-tanda memiliki pikiran yang luas. Tipikal semacam inilah yang paling
mudah dan rentan terkena virus radikalisme.
Beberapa di antara mereka mempercayai bahwa dengan
memperbaiki masyarakat melalui jihad, akan meningkatkan taraf hidup mereka
sendiri yang artinya mendapat keuntungan lebih besar di masa depan. Bagi para
pelaku, Islam bukanlah semata-mata sebagai agama, namun juga ideologi. Terlepas
dari adanya agama lain di Indonesia, negara ini harus diatur secara syariah. (Halaman
54)
Menariknya, di balik motif yang jelas dan terungkap
secara verbal tersebut terdapat pula beberapa motif implisit, seperti kebutuhan
atas identitas diri, kebutuhan untuk diakui, dan kebutuhan atas harga diri. Hal
ini tidaklah mengherankan, mengingat pelaku teror mayoritas berasal dari kelas
ekonomi menengah ke bawah tanpa pekerjaan permanen.
Untuk merekrut anggota baru, kelompok teroris menggunakan
pendekatan yang berbeda. Intinya adalah menyasar pada krisis identitas. Melalui
kerabat, teman ataupun guru, organisasi ini menawarkan informasi religius yang
dibutuhkan oleh calon anggotanya, atau komitmen untuk terlibat langsung dalam
upaya membela agama dan kesempatan membalas dendam atas kekejaman orang kafir.
Empat profil pelaku Bom Bali I; Imam Samudra, Ali
Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron, yang dideskripsikan pada bab 2, semuanya
memiliki rasa dan perasaan yang sama tentang ketidakadilan yang sedang terjadi
menimpa umat Islam saat ini serta ketidakberdayaan untuk melawan, sehingga
teror menjadi pilihan. Hanya Ali Imron yang kemudian merasa bahwa apa yang
telah dilakukannya adalah salah, dan menyesal. (Halaman 8-43)
Di sisi lain, perkembangan yang terjadi belakangan ini
semakin membuat kita miris mengingat pelaku teror saat ini sudah semakin
menyebar di luar “jalur tradisional”, yang selama ini tersimpan dalam file
polisi. Peristiwa teror penembakan Polisi di Solo dan ledakan bom di Depok 8
September 2012 lalu, yang nota bene
dilakukan anak-anak muda memperkuat kekhawatiran
tersebut.
Anak remaja yang masih awam pemahaman agama serta secara
psikologis tengah mencari identitas diri, nampaknya menjadi sasaran empuk bagi
para propagandis ideologi keras ini. Infiltrasi terhadap sekolah dan Perguruan
Tinggi pun dilakukan dengan memanfaatkan simbol, sentimen, dan baju Islam untuk
melakukan cuci otak (brainwash) untuk
tujuan yang justru merusak agama itu sendiri. (Halaman 120)
Buku setebal 168 Halaman ini, bukan sekedar menyuguhkan
profil para teroris kenamaan Indonesia, sekaligus juga mengupas kondisi
psikologis mereka, mulai dari pandangan keagamaan dan ideologi politik,
karakter, kebiasaan hidup, perilaku sosial, serta motivasi melakukan kekerasan.
Selain itu, karya mantan Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia ini, mendedah ciri serta karakteristik juru bicara serta
tutor ideologi teror tersebut. Seperti; selalu menamkan kebencian terhadap
negara dan pemerintahan dan menganggap pemerintah Indonesia sebagai thaghut, setan, karena tidak menjadikan
al-Qur’an sebagai dasarnya.
Sehingga dengan demikian, penulis buku ini tidak sekedar
mengutuk peristiwa teror yang terjadi,
akan tetapi juga memberikan parameter yang berfungsi sebagai deteksi dini
kepada pembaca perihal faktor-faktor serta kepribadian yang rentan memproduksi
jiwa penebar teror. Penulis juga menawarkan solusi yang diharapkan mampu
memutus mata rantai aksi serupa dikemudian hari.
wow, menarik. apalagi ditulis oleh pak sarlito sendiri.
ReplyDelete