Jawa Pos 19 Februari 2012
Judul Buku: Gilad Atzmon
Penulis: Ahmad Syafii Maarif
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Februari 2012
Tebal: 147 Halaman
Berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948 yang diarsiteki kaum Zionis, disponsori Inggris, dan dilegalisasi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membuat kawasan Palestina tak henti bergejolak hingga kini, dan darah rakyat Palestina mengalir deras setiap hari membanjiri setiap jengkal tanahnya.
Setidaknya, 780.000 rakyat Palestina terusir dari tanah kelahirannya di tahun pertama negara Israel berdiri. Tahun 1980-an, jumlah tersebut mencapai 2 juta orang dan diperkirakan saat ini melonjak setidaknya dua kali lipat. Tidak sedikit pula yang dibunuh, dihalau, dan dibinasakan oleh pendatang Yahudi dari berbagai negara yang mengklaim bahwa Tanah Palestina adalah milik moyang mereka.
Rupanya, tidak semua keturunan Yahudi memiliki konsepsi yang sejalan dan setuju dengan semua kekejaman tersebut. Salah satunya bernama Gilad Atzmon, yang kemudian menjadi judul buku ini yang merupakan catatan reflektif seorang Ahmad Syafii Maarif, atas percakapan virtualnya dengan seorang Yahudi eks-serdadu Zionis tersebut.
Lahir di Tel Aviv pada 9 Juni 1963 dalam lingkungan keluarga Yahudi agak sekuler, Gilad memiliki seorang kakek Zionis tulen yang kharismatik, mantan komandan sayap kanan organisasi teror Israel, Irgun. Sikap politik sang kakek pada awalnya berpengaruh besar pada pandangan Gilad, hingga pada tahun 1982, mata Gilad terbuka dan membawanya pada kesimpulan bahwa Israel berdiri di atas tanah curian. (Halaman 49)
Tidak hanya itu, Gilad juga melancarkan gugatannya atas legitimasi keagamaan superioritas Yahudi, mengkritik sakralisasi Holocaust, serta menilai Zionisme sebagai bentuk rasisme yang bertentangan dengan semangat Peradaban Eropa pasca-pencerahan, dan menolak eksistensi negara Israel. Menurutnya, wacana anti-semitisme telah sengaja diciptakan untuk menjustifikasi eksistensi Zionisme.
Musisi jazz kelas dunia berkewarganegaraan Inggris ini, tanpa rasa sungkan maupun takut mempertanyakan ulang kredo Zionisme serta menyuarakan kemerdekaan negara Palestina. Berbeda dengan arus besar opini publik dunia yang menginginkan solusi dua negara; Israel dan Palestina, Gilad ngotot dengan pendiriannya bahwa hanya ada satu negara yang boleh berdiri di tanah Palestina, Negara Palestina. Dan Israel dengan ideologi zionismenya harus angkat kaki dari sana.
Sikap kukuh tersebut diambilnya karena dua alasan; pertama, tanah tempat berdirinya Israel adalah tanah curian dari bangsa Palestina. Kedua, Gilad tidak percaya bahwa Zionisme akan mengalami proses metamorfosis, yaitu berubah menjadi ideologi biasa sebagai bagian dari hasil peradaban umat manusia selama Israel tetap berpegang pada politik identitas Yahudi yang rasis dan congkak. (Halaman 117)
Kehadiran sosok Gilad seolah meneguhkan adanya pandangan berbeda dari minoritas Yahudi dengan mainstream mengenai Zionisme. Meminjam istilah Kevin Barret, Gilad ibarat Musa yang mengimbau umatnya untuk keluar dari Mesir, dari nasionalisme dan rasialisme yang bodoh, dari paham eksepsionalisme dan perasaan manusia terpilih menuju suatu bentuk universalisme humanisme.
Jauh sebelum Gilad berteriak mengenai kepalsuan Zionisme, para rabi Yahudi sedunia yang dikenal dengan rabi ortodoks pernah meneriakkan hal yang sama. Para rabi tersebut, berdasarkan pemahaman mereka atas Kitab Taurat dan Talmud, telah berusaha meyakinkan dunia bahwa ideologi Zionis yang rasis berlawanan dengan Yudaisme. Bahkan, Grand Rabbi Joel Teitelbaum dengan tegas mengatakan bahwa zionisme adalah pekerjaan setan, pembangkangan, dan penghujatan terhadap Tuhan.
Selain itu, menurut Abdillah Toha dalam pengantar buku ini, nama-nama seperti George Steiner, Eric Hobsbawm, Norman Finkelstein, Richard Falk, Noam Chomsky, Harold Pinter, Ken Loach, Mike Leigh, Ilan Pappe, Stephane Hessel dan lain-lain, merupakan bagian dari minoritas Yahudi yang sadar bahwa eksistensi dan perilaku rezim Israel di tanah Palestina melanggar semua hukum moral, kemanusiaan, internasional, dan bahkan hukum agama mereka sendiri.
Kehadiran buku setebal 147 halaman ini, menurut penulisnya, sangat penting terutama bagi masyakat Indonesia, yang sebagian belum paham benar mengapa rakyat Palestina tidak pernah menyerah dalam menuntuk kemerdekaan tanah airnya yang telah dirampas dan dirampok oleh kaum Zionis dengan cara-cara biadab dengan tidak menghiraukan sisi-sisi kemanusiaan dan hukum Internasional.
Keberadaan sosok Gilad Atzmon, seorang Yahudi yang pembelaannya terhadap rakyat Palestina jauh melebihi kebanyakan bangsa Arab itu sendiri, dengan jelas membawa pesan kepada pembaca buku ini bahwa konflik yang terjadi di tanah Palestina saat ini, bukanlah konflik antaragama maupun ras. Melainkan, masalah keserakahan sekelompok orang yang memanipulasi agama dan memanfaatkan kepicikan pemeluknya yang merasa sebagai “Bangsa Pilihan” untuk menjarah tanah orang lain.
No comments:
Post a Comment