Majalah Gatra, Edisi 9-15 Februari 2012
Judul Buku: Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia
Penulis: Koh Young Hun
Penerbit: Gramedia
Cetakan: I, Desember 2011
Tebal: 407 Halaman
“Dia merupakan penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau malah satu abad.” Demikian pujian yang disematkan Arnold Teeuw, kepada seorang legenda sastra Indonesia bernama lengkap Pramoedya Ananta Toer.
Pujian dari guru besar Bahasa dan Kesusastraan Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden Belanda tersebut, hanyalah satu dari sekian banyak ungkapan penuh decak kagum yang disenandungkan orang sebagai bentuk apresiasi atas karya-karya seorang Pram. Berderet penghargaan diraihnya dari berbagai lembaga dan organisasi internasional, bahkan, berkali-kali ia sempat dinominasikan sebagai peraih Nobel di bidang sastra.
Uniknya, segala puja-puji dari luar negeri tidak berbanding lurus dengan perlakuan yang diterimanya dari pemerintah Indonesia. Pria kelahiran Blora 1925 ini begitu anomalistik; ia boleh dikata sebagai sastrawan Indonesia yang paling banyak menerima penghargaan dari dunia internasional, tetapi Pram juga salah satu sastrawan yang paling lama menghabiskan waktu di penjara, dan paling banyak melahirkan kontroversi. Karya-karyanya pernah dilarang beredar di Indonesia, dalam kurun waktu yang bersamaan ia kebanjiran puja puji dari luar negeri.
Buku berjudul lengkap Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia ini, berusaha mendedah karya-karya Pram sebagai sebuah hasil dari proses kreatif, sekaligus penuh intuitif dan kaya tafsir terhadap kehidupan yang mengitarinya. Namun, mengingat banyaknya karya Pram buku ini membatasi diri hanya pada seri novel yang berkesinambungan dalam penceritaannya; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Arus Balik, Arok Dedes, dan Gadis Pantai.
Orang sering menghubungkan keterlibatan Pram dalam Lekra yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai alasan mengapa ia menjadi bulan-bulanan penguasa Orde Baru pasca meletusnya peristiwa 30 September. Padahal, sebelum tragedi tersebut terjadi Pram sudah menjadi langganan bui karena sikapnya yang berani dalam menyuarakan hati nurani melalui tulisan. Seluruh kegelisahan, ia tumpahkan secara total melalui sikapnya yang terus terang.
Karya-karya Pram merupakan hasil seleksi pengalaman hidup yang pernah ditempuhnya. Ia sosok novelis yang mencurahkan pemikirannya di bawah naungan humanisme, dan ciri kemanusiaan merupakan landasan utama penciptaan seluruh karya sastranya. Hal inilah yang kemudian membuatnya kerap berseberangan dengan kepentingan para penguasa dari berbagai rezim. Pram harus menghabiskan tujuh belas setengah tahun hidupnya di penjara sebagai ganjarannya.
Kekecewaan demi kekecewaan yang dialami semasa hidup, tidak membuat seorang Pram kering, tandus lantas mati. Sebaliknya, ide-ide besar semakin deras lahir dari pengalaman pahitnya, hingga menghasilkan berbagai karya mumpuni, penuh energi dan daya gugat yang luar biasa sekaligus merefleksikan kecintaannya terhadap kemanusiaan, terutama dalam karya monumentalnya tetralogi Bumi Manusia.
Tetralogi Bumi Manusia, dapat dikatakan sebagai novel sejarah Indonesia yang mengandung wawasan baru. Di dalamnya, Pram menyentuh beberapa hal yang belum pernah dibicarakan sastrawan Indonesia lainnya. Ia begitu gamblang memaparkan pandangan mengenai citra pemberontakan atas kekuasaan kolonial, warisan budaya bangsa, gerakan kebangkitan bangsa di Tanah Air, dan peranan wanita dalam peralihan zaman. (Halaman 89)
Sebagai seorang pengarang, Pram mempunyai dimensi sensitivitas yang tajam untuk mengolah kembali pengalaman pribadinya dalam bentuk karya sastra. Kendati demikian, kepekaan tersebut seperti enggan diajak kompromi dengan ketidakadilan dan ketidakjujuran yang terjadi di depan hidungnya. Ia ibarat kuda liar yang sulit dijinakkan dengan bujuk rayu apa pun oleh siapa pun.
Sejak awal kiprah kepengarangannya, perhatian Pram lebih pada aspek manusia daripada peristiwa. Pram berpijak pada pemikiran, bahwa manusialah yang bertindak sebagai akar dan dasar untuk memajukan bangsa. Baginya, manusia adalah sumber kejahatan, tetapi juga kebaikan. Kemanusiaan merupakan dasar pemikiran Pram. (Halaman 341)
Buku setebal empat ratus tujuh halaman ini, mengajak pembaca untuk menjelajah cakrawala pemikiran seorang Pramoedya Ananta Toer tentang keindonesiaan dengan lugas, tajam dan penuh pertanggungjawaban akademik. Sekaligus berusaha menyelaminya dengan kedalaman makna, keunggulan, dan pesan tematik yang dikandungnya.
Seorang Pram bukan hanya sebuah narasi, tetapi juga elegi tentang perlakuan negara terhadap orang-orang hebat yang lahir dari perut Ibu Pertiwi. Pram hanya satu dari sekian banyak orang yang dimusuhi, diasingkan, dibungkam bahkan dihabisi oleh penguasa karena kecerdasan dan keberaniannya dalam menyuarakan nurani. Pram terbilang “beruntung”, selain sempat menghirup masa tua, jejaknya juga akan tetap terbaca dalam karya-karya yang dihasilkannya. Namanya tidak akan menguap begitu saja di udara. Selamat membaca.
No comments:
Post a Comment