Majalah Bhakti, Edisi Februari 2012
Judul Buku: Al-Zaytun; The Untold Stories
Penulis: Tim Peneliti INSEP
Penerbit: Alvabet
Cetakan: I, September 2011
Tebal: 238 Halaman
Sangat musykil, ketika menyebut Ma’had Al-Zaytun asumsi kita tidak tergiring untuk mengkaitkannya dengan sebuah gerakan underground yang dianggap berbeda, bahkan menyimpang dari mainstream yang ada.
Asumsi tersebut semakin kuat menjadi sebuah fakta, mengingat apa yang terpapar dalam buku berjudul lengkap Al-Zaytun; The Untold Stories; Investigasi Terhadap Pesantren paling Kontroversial di Indonesia ini. Secara benderang, dikatakan bahwa eksistensi pesantren yang terletak di Haur Geulis, Indramayu Jawa Barat ini memiliki jejak genealogis yang bersumber pada Negara Islam Indonesia (NII).
Sebenarnya, gerakan NII pasca wafatnya Kartosuwiryo sendiri merupakan periode-periode yang sulit diketahui. Sejak tertangkapnya Kartosuwiryo pada 4 Juni 1962 dan adanya “ikrar bersama” sebagian mantan komandan Tentara Islam Indonesia (TII) untuk setia pada UUD 1945 dan Pancasila pada 1 Agustus 1962, gerakan tersebut bahkan dianggap sudah tamat.
Kendati demikian, semangat dan cita-cita mendirikan Negara Islam nampaknya tidak pernah padam pada sebagian simpatisan NII, meskipun secara ideologi, NII terpecah setidaknya menjadi dua kelompok; Pertama, kelompok yang dikenal dengan sebutan Fiah fi Sabilillah, yaitu kelompok yang terus berjuang mewujudkan cita-cita berdirinya NII melalui perjuangan bersenjata. Kedua, kelompok yang disebut Fiah fi Allah, yaitu kelompok yang berjuang mewujudkan Negara Islam melalui dakwah dan masuk ke dalam sistem pemerintahan negara Republik Indonesia.
Pasca kematian Kartosuwiryo sejarah NII berkaitan erat dengan perdebatan di kalangan kadernya mengenai masalah kepemimpinan. Hal ini disebabkannya minimnya pemahaman warga dan aparat terhadap ketatanegaraan NII serta perbedaan dalam memahami dan menafsirkan Qanun Asasi NII, hingga memunculkan banyak faksi yang berebut klaim atas kepemimpinan NII.
Namun dari sekian banyak faksi dan kelompok di dalamnya, yang paling berpengaruh adalah Komandemen Wilayah IX (NII KW9), yang meskipun bergerak di bawah tanah namun menggunakan strategi dakwah sebagai pola dan rekruitmen anggota. Sebagian besar orang tertarik masuk kelompok ini pun, justru karena terpesona dengan metodologi dakwah dan doktrin-doktrin yang diperkenalkan.
NII KW9 popularitasnya semakin berkibar di bawah kepemimpinan Abu Toto alias Syaikh AS Pandji Gumilang seiring dengan berdirinya Ma’had Al-Zaytun. Adalah Al-Chaidar orang pertama yang mengkaitkan AS Pandji Gumilang dan Al-Zaytun dengan NII. Ia menyebut dalam salah satu bukunya bahwa Al-Zaytun merupakan sarang NII yang ajarannya bertentangan dengan Islam. Sedangkan pemimpinnya, AS Panji Gumilang, adalah pemimpin NII KW9.
Kesimpulan yang serupa dilaporkan pula oleh Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) melalui penelitian Amin Djamaluddin. Umar Abduh bahkan dalam risetnya menyebut bahwa modal awal pendirian Ma’had Al-Zaytun adalah hasil kejahatan dan hasil mendzalimi anggota NII KW9. Lebih jauh, Umar Abduh menuduh Abu Toto telah melakukan kesesatan dan penyesatan dalam akidah, akhlak dan syariat.
Pendirian Ma’had Al-Zaytun sendiri, konon merupakan hasil renungan di Multazam sekelompok tokoh NII serta hasil diskusi sekelompok mahasiswa ITB mengenai masa depan umat Islam. Bisa jadi pembentukan wacana ini dilakukan untuk menutupi kecurigaan masyarakat mengenai hubungan Ma’had Al-Zaytun dan NII.
Meski demikian, menelusuri sejarah gerakan NII yang mengalami pasang-surut, juga dalam hal gagasan, doktrin, kontinuitas para tokohnya, hingga berdirinya Al-Zaytun yang dipaparkan dalam buku hasil riset tim peneliti Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP) ini, maka sukar dibantah bahwa pesantren yang bercita-cita membentuk lulusannya yang basthatan fil ‘ilmi wal jismi ini memiliki jejak genealogis kepada NII.
Dengan kata lain, di satu sisi pendirian Al-Zaytun merupakan kelanjutan ide DI/TII untuk mewujudkan NII (perspektif historis), dan di sisi lain pesantren ini juga merupakan salah satu instrumen gerakan keagamaan NII (Perspektif religious movement). Jadi secara historis, ada dua dimensi DI/TII/NII sekaligus dalam eksistensi Al-Zaitun; berlanjutnya ide pendirian NII (history of idea) dari DI/TII yang merupakan bagian dari gerakan keagamaan (religious movement) orang-orang DI/TII menuju Madinah Indonesia.
Dilihat dari sejumlah kriteria, Al-Zaytun memang lebih memenuhi kategori counter culture (kontrakultur) yang berlawanan dengan mainstream yang ada, tinimbang ciri-ciri subkultur layaknya pesantren pada umumnya. Misalnya, secara fisik baik luas bangunan maupun bentuk serta tata letak bangunan megah yang dimiliki Al-Zaytun tidaklah lazim untuk sebuah pesantren, baik dilihat dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Terlebih, seluruh kompleks pesantren yang dilengkapi dengan sarana modern dari cuci pakaian hingga lapangan sepakbola berstandar internasional dibangun dan dikembangkan dalam tempo relatif singkat, hanya kurang lebih lima tahun saja.
Kondisi demikian, memunculkan kecurigaan sehingga melahirkan dua sikap yang berlawanan atas eksistensi Al-Zaytun: di satu sisi menimbulkan resistensi sebagian masyarakat muslim terhadap pesantren ini karena dicurigai berpaham keagamaan sesat, sementara di sisi lain Al-Zaytun sebagai pusat pendidikan Islamyang bercorak modern dan unggul adalah asset umat Islam yang harus dijaga dan dipertahankan.
Diharapkan dengan kehadiran buku setebal dua ratus tiga puluh delapan halaman ini, mampu membantu mengurai kabut tebal dibalik tembok megah al-Zaytun. Dengan pendekatan yang jernih dan kritis, buku ini mampu mengurai secara detail jejak genealogi dan perkembangan terkini Al-Zaytun. Sayangnya informasi terkait kegiatan santri every hour tidak terungkap dalam buku ini, di samping porsi informasi terkait pola hidup dan belajar santri relatif lebih sedikit dibanding informasi tentang doktrin gerakan NII KW9, sehingga mengurangi kelengkapan analisis mengenai hal tersebut.
No comments:
Post a Comment