Judul Buku: Ulama dan Kekuasaan
Penulis: Jajat Burhanudin
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, 2012
Tebal: 481 Halaman
Ulama
memiliki peran sentral dalam komunitas Islam, terutama Islam Indonesia. Pada
masa lalu, merekalah yang menjadi tempat bertanya sekaligus berkeluh kesah
umat. Sehingga ulama memiliki peran istimewa, mereka adalah guru agama, dukun,
motivator, psikolog serta aneka atribut lain yang dilekatkan.
Kiprah ulama
di Indonesia dapat dilacak hingga pada awal Islamisasi, yang berlangsung
bersamaan dengan berkembangnya ekonomi dan pembentukan kerajaan-kerajaan Islam.
Merekalah yang mengenalkan dan
menyebarkan Islam secara massif hingga kemudian menjadi agama mayoritas yang
dianut seperti saat ini.
Namun, aktivitas
mereka tidak hanya sebatas dalam wilayah sosial-keagamaan semata, melainkan juga
memainkan posisi sangat vital dalam wilayah politik. Hal demikian sebagaimana
dipaparkan dalam buku berjudul lengkap Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia ini, yang berusaha menelusuri
rekam-jejak para ulama Indonesia dalam membangun peran dan legitimasi
sosio-kultural dan politik.
Hal ini terbukti dengan fakta
bahwa Islam memiliki sumbangsih pada pembentukan kerajaan-kerajaan absolutis di
Nusantara pra-kolonial, dan para ulama-lah pemberi legitimasi keagamaan untuk
meningkatkan absolutisme kerajaan tersebut. Pola hubungan antara ulama dan raja
ini tetap terpelihara hingga panorama politik Nusantara berubah. (Halaman 59)
Munculnya Islam-berorientasi
raja tentunya bukan hal mengejutkan. Ia berasal dari gagasan sufi tentang
“Manusia Sempurna” (insan kamil), dan karenanya memberi kontribusi bagi
Islamisasi Nusantara. Islam sejak awal terintegrasi dalam sistem politik lokal
yang berpusat pada raja. Dengan menerima Islam, basis ideologis kerajaan sama
sekali tidak terancam.
Berdasarkan sumber-sumber
historis yang tersedia, para sejarahwan berkesimpulan bahwa Samudera Pasai adalah
kerajaan Islam pertama yang bediri di Nusantara pada akhir abad ke-13.
Kesimpulan ini berdasarkan nisan pada makam Malik al-Saleh. Sebagaimana
dikatakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai, Malik al-Saleh, sultan pertama
Samudera Pasai, ketika masih bernama Marah Silu bermimpi berjumpa dengan nabi
Muhammad Saw. yang memintanya untuk mengucapkan kalimat syahadat. Nabi kemudian
memberinya nama Malik al-Saleh. (Halaman 17)
Di Jawa, Demak merupakan
kerajaan pertama yang didirikan para Ulama pada akhir abad ke-16, dengan Raden
Fatah sebagai raja pertamanya. Selain Demak, kerajaan-kerajaan Islam lain yang
memiliki peranan penting adalah Banten dan Cirebon di Jawa Barat yang berkaitan
erat dengan sosok Sunan Gunung Jati, salah seorang dari Sembilan wali utama
penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang wafat pada 1570 M.
Sayangnya,
badai kolonialisasi melanda dunia, termasuk Indonesia. Hal ini berakibat pada
lumpuhnya peran ulama di pentas politik, terpinggirkan hanya pada bidang agama an sich. Ulama akhirnya menjadi figur
mandiri yang berbeda dari elit agama yang didukung Belanda, penghulu. Hasilnya,
jumlah institusi pendidikan Islam semisal pesantren, surau, dan dayah, justru
tumbuh secara pesat.
Meski demikian, perlawanan secara
fisik juga terjadi dibanyak tempat. Perang Jawa yang terjadi tahun 1825-1830 M
dipimpin Pangeran Diponegoro adalah peperangan terbesar dan terlama yang
dialami Belanda melawan pribumi yang didukung ulama. Perang Aceh juga secara
jelas bentuk perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda dari komunitas
ulama. (Halaman 143)
Awal abad 20 nuansa perlawanan
secara fisik relatif sepi, beralih dengan tumbuh suburnya organisasi keagamaan.
Adalah Muhammadiyah dan Syarikat Islam (SI), dua organisasi yang pertamakali terbentuk
dengan mendefinisikan Islam sebagai kemajuan. Meskipun pada akhirnya
Muhammadiyah lebih berorientasi pada ide-ide reformasi keagamaan sedangkan SI
cenderung politis.
Namun, berdirinya Nahdlatul
Ulama (NU) pada tahun 1926 merupakan klimaks dari gerakan para ulama yang
didefinisikan secara tradisionalis, yang mempertahankan ritualitas dan
nilai-nilai tradisi dan melakukan polarisasi atas gerakan pembaharuan
Muhammadiyah atau gerakan lain yang umumnya disebut reformis dan modern.
(Halaman 338)
Karya Jajat Burhanudin ini, menawarkan
sejarah sosial dan intelektual, yang relatif terabaikan dalam studi-studi
terdahulu tentang ulama Indonesia. Kedalaman tema serta keluasan referensi yang
digunakan, barangkali menjadi semacam jaminan tentang keseriusan penulisnya
atas data yang dipaparkan dalam riset ini.
Bukan sekedar catatan sejarah
yang hendak ditawarkan oleh buku setebal 481 halaman
ini, melainkan juga mengajak pembaca untuk memikirkan tentang
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para
pewaris nabi ini dalam konteks modern. Fakta bahwa kalangan ulama
senantiasa terlibat dalam setiap proses politik di Indonesia memantik siapa
saja untuk turut andil dalam menjaga eksistensinya di tengah zaman yang tengah
berubah secara cepat dan mengglobal.
No comments:
Post a Comment