Pikiran Rakyat, 10 Januari 2013
Judul Buku: Keselarasan
& Kejanggalan
Penulis: Savitri
Scherer
Penerbit: Komunitas Bambu
Cetakan: I, November
2012
Tebal: 259 Halaman
Akhir abad 19, menjadi
babakan baru dalam sejarah pendidikan kaum pribumi seiring banyaknya para
priyayi Jawa yang belajar di sekolahan Belanda. Mulai dari sekolah dasar, ELS,
hingga sekolah kedokteran, STOVIA. Sebuah
sekolah yang bukan saja secara formal kelembagaan mengikuti model Barat, namun
juga menyesap ide-ide dan pemikirannya.
Hasilnya, bak jamur di
musim hujan, banyak bermunculan kaum muda pribumi yang bukan hanya
berpendidikan dan melek pengetahuan Barat, namun juga memiliki kesadaran
politik dan organisasi. Puncaknya, pada tahun 1908, kalangan priyayi muda ini
membentuk Boedi Oetomo, yang dimaksudkan sebagai wadah bersatunya kaum priyayi,
guru, dan dokter di tanah Jawa.
Organisasi ini menjadi
kawah candaradimuka bagi para priyayi terpelajar tersebut untuk menempa diri. Momentum
ini juga tonggak kebangkitan kebudayaan Jawa, dimana seluruh aspirasi dan
perwujudan di dalamnya menggambarkan persepsi-persepsi priyayi. Aspirasi utama
Boedi Oetomo sendiri adalah menciptakan keserasian dalam tatanan masyarakat
Jawa yang pada saat itu tengah mengalami pergeseran dalam nilai-nilai sosial
dan kebudayaannya. (Halaman 22)
Buku berjudul Keselarasan
& Kejanggalan ini, berusaha
melacak jejak pemikiran tiga pionir terkemuka Boedi Oetomo; Soetomo, Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat mengenai awal Indonesia modern dan
bangkitnya nasionalisme di awal abad 20. Ketiganya dianggap sebagai
pembawa gerbong lokomotif bagi nasionalisme Indonesia kelak, terutama oleh para
pemimpin yang lebih muda seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir.
Soewardi
Soerjaningrat lahir pada 2 Mei 1889 dari keluarga aristokratis Yogyakarta, Paku
Alam. Dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, ia merupakan orang yang pertamakali
menganjurkan tindakan politik sebagai alat untuk melakukan pembaruan sosial. Dalam
sebuah tulisan berjudul Sekiranya Saya seorang Belanda, ia secara cerdas
menggunakan sudut pandang seorang Belanda yang menolak upacara peringatan
kemerdekaan Belanda di Jawa, karena akan “…membangunkan keinginan dan aspirasi
mereka demi terwujudnya kemerdekaan di masa mendatang…”. (Halaman 37-51)
Tulisan
tersebut, menempatkan Soewardi sebagai cendekiawan pribumi yang pertamakali
melancarkan kritik secara terbuka terhadap Pemerintah Belanda. Mengingat selama
ini, kritik terhadap kolonial hanya menjadi bahan diskusi terbatas kaum terpelajar
dengan menggunakan bahasa Belanda, sedangkan artikel tersebut secara sengaja
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan dibagikan ke tengah-tengah masyarakat.
Selain
itu, artikel tersebut dianggap sebagai tulisan yang paling berkesan, tajam dan
provokatif yang pernah ditulis pribumi saat itu. Pandangan-pandangan yang
diungkapkan di dalamnya dianggap melampaui zaman, lebih maju daripada
cendekiawan kebanyakan di masanya. Karena ditulis oleh seorang
aristokrat-intelek Jawa, kritikan tersebut juga memiliki gaung yang dahsyat di
masyarakat.
Tjipto Mangoenkoesoemo
adalah dokter kesehatan pribumi Indische
Arts salahsatu lulusan terbaik STOVIA dan terkenal dengan dengan jiwa
sosialnya yang tinggi. Ketika terjadi wabah penyakit pes (menular) di Malang
pada tahun 1910-1911, ia mengajukan diri untuk turun langsung membantu
masyarakat. Tidaklah mengherankan jika kemudian namanya diabadikan menjadi nama
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Yogyakarta.
Meski demikian, ketika
berhadapan dengan kepentingan Belanda, lelaki kelahiran 1896 ini dikenal garang
dalam pidato dan tulisannya. Tidak seperti priyayi pada umumnya, Tjipto dikenal
sosok yang cenderung membenci konsep-konsep hak istimewa kalangan priyayi. Imbasnya,
ia bukan hanya dianggap ancaman oleh Belanda, namun juga oleh pihak-pihak yang
diuntungkan oleh sistem tersebut. (Halaman 76)
Berbeda dengan rekan-rekannya
sesama nasionalis yang mendasarkan ideologi politiknya pada konsensus
masyarakat, Tjipto sosok yang berani berbeda pendapat dengan mainstream.
Sumbangannya terhadap pembentukan nasionalisme Indonesia terletak dalam watak
pribadinya yang keras kepala, tidak mementingkan diri sendiri, berwibawa,
jujur, idealis dan revolusioner, yang diakui oleh Hatta dan Sjahrir, di
pembuangan, memiliki pengaruh terhadap keduanya.
Terbentuknya Boedi
Oetomo, diyakini oleh Tjipto dan Soetomo sebagai media yang penting untuk
melakukan perubahan pada masyarakat. Meski pada akhirnya Tjipto memilih keluar
karena melihat organisasi tersebut hanya mengakomodir kepentingan priyayi
semata, Soetomo memilih tetap berada di dalamnya. Sosok Tjipto yang keras,
bertolakbelakang dengan karakter Soetomo yang akomodatif.
Pria kelahiran 30 Juli
1888 ini, tipe manusia khas Jawa yang nrimo,
ia tidak pernah melancarkan kritikan terhadap pemerintah Belanda, juga
terhadap sistem sosial masyarakat. Tujuannya “hanyalah” membawa kesejahteraan sosial
dan kemakmuran kepada masyarakat tanpa “peduli” apakah peratuan-peraturan yang
berlaku itu adil dan benar atau sebaliknya. (Halaman 142)
Sebagaimana Soewardi dan
Tjipto, Soetomo juga memiliki sumbangan besar terhadap jurnalisme Indonesia.
Meski demikian, tulisan-tulisan dan pemikirannya lebih bersifat informatif
alih-alih provokatif sebagaimana para seniornya. Kesejahteraan dan kebahagiaan
rakyat lebih penting baginya, daripada konsep kemerdekaan yang abstrak dan
samar. Bekerja demi kemuliaan bangsa, lebih utama daripada demi kemerdekaan
yang terbatas.
Buku setebal 259 Halaman
ini, bukan saja memberikan informasi berharga kepada para pembaca muda
Indonesia kini perihal pemikiran tiga tokoh peletak dasar kebangsaan di atas,
namun lebih dari itu, karya ilmiah Savitri Scherer berupa tesis pada
Universitas Cornell ini juga melecut kesadaran kita, betapa gagasan-gagasan
yang mereka miliki begitu maju dan melampaui zamannya dengan penuh semangat
egalitarian. Selamat membaca.
No comments:
Post a Comment