Judul Buku: Sufi-sufi Diaspora; Fenomena Sufisme di Negara-negara Barat
Penulis: Jamal
Malik & John Hinnels
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, April 2015
Tebal: 380 Halaman
Membanjirnya
para imigran dari negara-negara dunia ketiga memasuki Eropa merupakan hal yang
lazim disaksikan pada abad 21. Ekonomi menjadi salah satu faktor utama yang
memantik kedatangan mereka secara besar-besaran. Negara-negara maju membutuhkan
tenaga kerja dengan upah murah, sedangkan para imigran memerlukan pekerjaan
yang tidak tersedia di negara asal.
Proses
ini banyak terjadi di negara yang sebelumnya dikenal sebagai kolonialis, sebut
saja misalnya Inggris, Prancis, dan Belanda. Sedangkan para imigran mayoritas berasal
dari negara-negara bekas jajahan mereka yang ada di Asia dan Afrika, seperti
India, Maroko dan Aljazair. Selain Eropa, Amerika juga menjadi tujuan favorit para
imigran.
Mereka
datang dengan turut serta membawa budaya dan keyakinan dari daerah asal.
Seiring dengan semakin meningkatnya populasi mereka, akhirnya terbentuklah komunitas-komunitas
yang disatukan oleh beragam identitas; negara, etnis, agama, maupun sekte.
Salah satunya adalah munculnya perkumpulan-perkumpulan kaum sufi.
Buku
berjudul Sufi-sufi Diaspora; Fenomena Sufisme di
Negara-negara Barat ini, menghadirkan fenomena keberadaan komunitas-komunitas sufi di dua
benua; Amerika dan Eropa yang pada awalnya terbentuk, dikenalkan dan berkembang
di tangan para imigran asal berbagai negara.
Ditulis oleh para akademisi
Barat yang secara intens mengkaji dinamika Islam terkini di negeri Barat. Salah
satunya adalah Marcia Hermansen. Gerakan sufisme di Amerika, menurut Guru Besar
Kajian Keislaman di Jurusan Teologi, Loyola University, Chicago ini, memiliki
tiga tipe; perenial, hibrida, dan cangkokan. (Halaman 62)
Tipe perenial adalah
gerakan-gerakan di mana identifikasi dan muatan Islam secara spesifik tidak
ditekankan karena lebih condong kepada pandangan yang ‘perenialis’,
‘universalis’, ataupun ‘tradisionalis’. Contoh gerakan ini adalah The Sufi
Order International, yang dipimpin Pir
Vilayat Khan dan Zia Inayat Khan.
Istilah hibrida disematkan
kepada gerakan-gerakan yang mengidentifikasi lebih dekat dengan sumber dan
muatan Islam. Tipe ini umumnya didirikan dan dipimpin oleh imigran Muslim yang
lahir dan dibesarkan dalam masyarakat muslim. Contoh tipe ini yang paling
populer adalah tarekat Naqsyabandi-Haqqani yang dipimpin oleh guru asal Cyprus,
Syaikh Nazim.
Mayoritas anggota kedua tipe
tersebut cenderung berkulit putih dari kelas menengah atau kelas menengah ke
atas. Berasal dari generasi akhir 1960-an dan 1970-an, meski memang tampak ada
lapisan muda yang kini menaruh minat, khususnya pada gerakan-gerakan hibrida.
Sedangkan Cangkokan adalah
istilah yang digunakan untuk mengacu kepada gerakan sufi yang berlangsung di
lingkar-lingkar kecil imigran dengan lebih sedikit beradaptasi dalam konteks
Amerika.
Menariknya, sebagaimana
dikatakan David W. Damrel, kalangan yang memusuhi kaum sufi di Amerika dan
Eropa bukanlah dari pemerintah setempat maupun kalangan non-muslim. Resistensi justru
muncul dari kaum Salafi-Wahhabi dengan menyebut sufisme sebagai perilaku yang
sesat. Mereka bahkan melancarkan kampanye fitnah yang jahat dan licik terhadap
Tarekat Naqsyabandi-Haqqani dan Syaikh Hisyam Kabbani. (Halaman 214)
Kebencian tersebut memuncak setelah
Syaikh Hisyam menyebut bahwa ekstremisme telah disebarkan kepada 80 persen kaum
Muslim Amerika dan mayoritas masjidnya dijalankan dengan ideologi ekstremis.
Pernyataan tersebut melahirkan sikap boikot dari berbagai kelompok Islam di
Amerika terhadap aktivitas Haqqani.
Aksi tersebut tidak
menyurutkan kelompok sufi ini. Bahkan, di Amerika Utara mereka sukses
mendapatkan pengikut dalam jumlah yang cukup besar, terutama dari kalangan
muallaf, hanya dalam waktu sepuluh tahun. Para pengikutnya juga sebagian besar
berasal dari kalangan Muslim Amerika non-imigran.
Serangan sengit atas sufisme
bukan hanya terjadi di Amerika, namun juga di berbagai belahan dunia termasuk
Inggris. Di negeri Ratu Elizabeth ini, menurut Ron Geaves, Naqsyabandi-Haqqani
belum mampu mengembangkan sistem pendidikan atau menciptakan struktur
organisasi secara solid sebagaimana di Amerika. (Halaman 272)
Hal ini disebabkan semangat
lokal/teritorial masih sangat kuat pada komunitas islam tradisionalis Inggris.
Upaya untuk menyelenggarakan konferensi pun banyak ditentang oleh para syaikh
lokal beserta murid-muridnya, yang tampaknya menganggap kedatangan Syaikh Nazim
ke wilayah benteng mereka sebagai gangguan.
Informasi dan data
dihadirkan secara menarik dalam buku setebal tiga ratus delapan puluh halaman
ini. Kolaborasi antara Jamal Malik dan John Hinnels dalam menyeleksi dan
mengkoreksi berbagai makalah pada sebuah lokakarya di Inggris berhasil
menghadirkan topik sufisme dengan isu-isu yang beragam; aktor, sarana, media,
ide, dan kelembagaan sufisme dalam konteks diaspora.
Selain penting bagi para pengkaji sufisme dan dinamika Islam di negara-negara
Barat, buku ini juga sangat berharga bagi pembaca secara luas untuk menampilkan
wajah “lain” Islam yang selama ini dibajak kaum radikalis-teroris berkedok
agama (Islam) seperti ISIS. Selamat membaca.
Agen Bola Taruhan Online 988bet
ReplyDelete988Bet Trade In
988Bet Produk Asia77
988Bet Produk AsiaPoker77
988Bet Produk Asia8
988Bet Produk 1sCasino
988Bet Produk 338a
988Bet Produk IBCBET
988Bet Produk SBOBET
Prediksi Bola 988Bet
Tebak Bola 988
Panduan Bermain 988