Judul Buku: Happines Cafe; Kisah Inspiratif Orang-orang Yang Bahagia
Penulis: Arvan
Pradiansyah & Hermawan Aksan
Penerbit: Pustaka Inspira
Cetakan: I, Mei 2015
Tebal: 301 Halaman
Siapa yang tidak mengenal
nama Ludgwig van Beethoven di jagat musik dunia ? Salah satu komponis terbesar
dunia dan tokoh penting di masa peralihan antara Zaman klasik dan Zaman
Romantik. Pria kelahiran 16 Desember 1770 ini berhasil menggelar konser
pertamanya pada usia tujuh tahun.
Ia diramalkan oleh guru
komponis pertamanya, Christian Gottlob Neefe, akan menjadi sosok sehebat Mozart
seandainya Beethoven meneruskan karirnya. Mozart yang diidolakannya pun
terkagum-kagum dengan permainan pianonya ketika keduanya bertemu untuk pertama
kalinya di Wina, Austria.
Jalan takdir rupanya tak
semulus yang dibayangkan. Pada pertengahan 1801, daya pendengaran Beethoven
mulai berkurang akibat otoslerosis. Sebagai seorang musikus yang keindahan
nadanya hanya dapat dinikmati oleh indera pendengar, penyakit ini sama saja
kematian bagi karirnya.
Karenanya, ia sempat putus
asa, depresi, minder dari pergaulan sosial, bahkan berpikir untuk bunuh diri. Tetapi
akhirnya ia memutuskan untuk berkarya betatapun sulitnya. Terkadang ia
menempelkan telinga ke piano agar tetap merasakan getarannya. Namun dalam
keadaan tuli ia justru kemudian banyak melahirkan karya monumental seperti Fur Elise.
Faktor apakah yang membuat
sosok Beethoven mampu bertahan hidup sampai 27 tahun setelah dia tuli total dan
tetap bisa menghasilkan berbagai karya yang indah sampai akhir hayatnya ?
Menurut Arvan Pradiansyah
dalam buku berjudul Happines Cafe; Kisah
Inspiratif Orang-orang Yang Bahagia ini, ketahanan mental yang dimiliki
Beethoven merupakan buah dari mindset
serta keyakinannya bahwa ia benar-benar diutus Tuhan ke dunia ini untuk
berkontribusi kepada kebaikan orang banyak melalui musik yang indah dan
mencerahkan. (Halaman 292)
Ia berusaha mengembangkan
potensinya secara maksimal dengan berguru pada banyak komponis dan musikus
besar, termasuk Mozart. Ia juga ingin memastikan bahwa semua potensinya telah
termanfaatkan, telah berubah bentuk menjadi karya yang dapat dinikmati orang
banyak sebelum ia meninggal.
Pejuang Yang Bahagia
Selain kisah dan perjuangan
Beethoven, buku yang ditulis bareng dengan penulis dan wartawan senior Hermawan
Aksan ini menyuguhkan pengalaman sepuluh tokoh lainnya. Semuanya memiliki
benang merah yang sama: orang-orang yang memiliki tekad perjuangan luar biasa
dan menjalani hidup dengan penuh bahagia, meski memiliki keterbatasan secara
fisik (disabilitas).
Sebut saja misalnya sosok
Helen Keller. Terlahir sebagai bayi sehat di Alabama, Amerika Serikat pada 27
Juni 1880, namun kemudian penyakit yang menyerangnya ketika usianya belum genap
19 bulan menyebabkan Helen menjadi bocah perempuan yang buta, tuli, dan bisu.
Para dokter bahkan memprediksi nyawanya tidak akan bertahan lama.
Dalam dunia yang gelap dan
hening, ia menjadi sulit berkomuniasi dengan sekitar. Keluarganya pun
menganggapnya sebagai anak yang sulit dan bodoh yang memiliki kecerdasan
seperti hewan dan tidak akan dapat belajar apa pun dan menjadi apa pun.
Sehingga mereka putus asa dan berniat menaruhnya di sebuah panti tempat
anak-anak disabilitas dirawat. Namun sang ibu menentangnya. (Halaman 147)
Helen beruntung, ia berada
di bawah bimbingan Anne Mansfield Sullivan, seorang guru penyabar, pejuang dan
mengetahui apa yang harus dilakukan terhadap anak seperti dirinya. Sang guru
mengubah hidupnya dengan cara mengajarinya nama-nama benda dengan mengejanya ke
atas tangannya.
Tidak butuh waktu terlalu
lama, Anne kemudian mengajari Helen membaca, pertama-tama dengan huruf timbul,
lalu dengan Braille, dan menulis dengan mesin tik biasa dan Braille.
Keinginannya untuk terus belajar semakin tak terbendung. Ia kemudian belajar
mengenal suara pada Sarah Fuller, sekaligus berbagai macam pelajaran seperti
aritmetika, fisika, geografi, bahasa Prancis dan Jerman.
Helen kemudian menjadi orang
buta-tuli pertama yang meraih gelar bachelor
of arts dan lulus dengan predikat magna
cum laude. Ia juga dikenal sebagai seorang penulis yang melahirkan 12 buku
yang diterbitkan, seorang aktivis politik, dosen, dan advokat bagi para
disabilitas.
Suguhan Bergizi
Disuguhkan ke tengah pembaca
dengan gaya bahasa bercerita dan bertutur, membuat buku setebal tiga ratus satu
halaman ini dapat dikunyah dan dinikmati pembaca dari beragam generasi dan
segala lapisan sosial. Meski demikian, menu yang dihidangkannya tetap sarat
gizi yang dapat menyehatkan jiwa.
Selain perjuangan sosok
Ludgwig van Beethoven dan Helen Keller, kisah-kisah luarbiasa dari Jessica Cox,
Nick Vujicic, Ben Underwood, Randy Pausch, Lee Hee-ah, Bethany Hamilton, Temple
Grandin, Qian Hongyan, dan Steven Hawking turut pula dihadirkan oleh duo
penulis Arvan Pradiansyah dan Hermawan Aksan di dalamnya.
Kesebalas tokoh yang
dikisahkan merupakan orang-orang yang telah menemukan tujuan hidupnya yang
ditugaskan Tuhan. Menurut Arvan, Kita dikirim Tuhan ke dunia ini dengan satu
maksud, dengan sebuah misi suci, dan tugas kita adalah menemukan masing-masing
misi yang ditugaskan dan menjalankannya. Sehingga dengan demikian kehadiran
kita akan menjadi manfaat bagi umat manusia. Itulah kebahagiaan sejati.
(Halaman 19) sebagaimana yang telah ditemukan oleh sebelas tokoh di atas.
No comments:
Post a Comment