Judul Buku: Musnahnya Sengkuni
Penulis: Suwito Sarjono
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: I, Januari 2013
Tebal: 352 Halaman
"Politik Para Sengkuni." Demikian status yang
ditulis oleh mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam personal message blackberry messenger-nya.
Setelah itu, nama Sengkuni sontak menjadi menjadi perbincangan banyak orang di
negeri ini dan lebih populer dibanding sebelumnya dalam pentas politik Tanah
Air.
Memang, Sengkuni yang menjadi penasihat para Kurawa
tersebut, dikenal akan kelihaian muslihat serta kelicikannya dalam memenuhi
segala ambisinya. Lalu seperti apakah jejak yang ditorehkan sosok yang satu ini
secara lebih utuh? Buku berjudul Musnahnya Sengkuni ini, berusaha menarasikannya kembali dengan
gaya yang disesuaikan dalam konteks saat ini.
Nama aslinya adalah Trigantalpati alias Suman alias
Suwalaputra. Anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan penguasa
Palasajenar, Raja Suwala dan Permaisuri Gandini. Ia adalah anak tertampan dari
tiga saudara laki-laki lainnya; Gendara, Gajaksa, dan Sarabasanta. Sedang
seorang kakak perempuannya bernama Gendari.
Sebenarnya ia adalah raja sah Plasajenar, menggantikan
Gendara sang kakak yang tewas di tangan Pandu, raja Astina dalam perkelahian
perebutan Kunti. Namun setelah Gendari dinikahi Destarata, Trigantalpati lebih
memilih menjadi seorang Senapati kerajaan Astina, yang jauh lebih besar dan
menjadi adi daya dunia.
Karir politiknya menanjak secara drastis, setelah dengan
kelicikannya ia mengadu domba antara Pandu dengan penguasa Pringgadani yang
berwujud raksasa Prabu Trembaka, sehingga menciptakan ketegangan antar keduanya.
Beruntung Pandu pun lebih memilih damai sehingga ia mengirimkan Patih Gandamana
sebagai duta perdamaian, menemui Trembaka dengan pasukannya di wilayah perbatasan.
Rupanya, inilah yang diinginkan Trigantalpati. Ia menjebak
Gandamana dan menguburnya hidup-hidup. Secara meyakinkan, ia kemudian kembali
ke Astina untuk melaporkan kepada Pandu bahwa Gandamana telah berkhianat dan menyeberang
ke pihak musuh. Pandu yang tengah labil, serta dipengaruhi suami-istri
Destarata dan Gendari, segera mengangkat Trigantalpati sebagai patih baru.
Siapa sangka, Gandamana ternyata masih hidup dan muncul kembali
ke Astina. Tanpa mampu mengendalikan diri, dengan mengerahkan kesaktian yang
dimilikinya ia menghajar Patih Astina yang baru diangkat tersebut di depan
semua orang, hingga babak belur.
Meski para tabib terbaik istana berusaha memulihkan
kondisinya, wajahnya tetap tidak bisa seperti semula, malah seperti orang tua.
Bibirnya yang semula kecil dan terlihat menarik, menjadi dower dan terlihat
menyebalkan saat berbicara. Cara berjalannya tidak tegak lagi, tetapi agak
bungkuk. Sehingga ia diberi nama Sengkuni, berasal dari kata saka dan uni,
yang bermakna "dari ucapan". Artinya, ia menderita cacat buruk rupa
hasil ucapannya sendiri. (Halaman 70)
Insiden tersebut rupanya tidak membuat Sengkuni jera, setelah mendapat
pengampunan bahkan gelar Patih tetap disematkan padanya serta dipercaya untuk
membimbing para Kurawa, kelicikannya semakin menjadi-jadi. Mulutnya yang keji
dan berbisa seolah tak pernah lelah meracuni anak-anak Destarata. Dapat
dikatakan, Sengkuni-lah otak dari kerusakan mental dan moral para Kurawa.
Beberapa peristiwa penting yang memicu kemelut berkepanjanang antara pihak
Kurawa dan Pandawa berhembus dari otak dan mulut Sengkuni. Sebut saja misalnya
terusirnya para anak Pandu dari Astina akibat Puntadewa alias Yudistira kalah
berjudi dalam permainan dadu.
Ide jahat Sengkuni memuncak ketika ia menghasut Duryudana untuk mengkhianati
perjanjian antara Kurawa dan Pandawa. Dengan kekuatan logika dan retorikanya
yang menyesatkan, Sengkuni sangat mahir membolak-balikan fakta sehingga sesuai
dengan apa yang dikehendakinya. Perjanjian yang sejatinya mengharuskan
Duryudana mengembalikan tahta Astina ke tangan Yudistira ini pun gagal.
(Halaman 314)
Sehingga jalan perang akhirnya menjadi satu-satunya solusi untuk mengatasi
kebuntuan tersebut. Perang besar yang kelak terjadi selama dua belas hari.
Sebuah peperangan yang bukan hanya memakan ratusan ribu nyawa prajurit biasa,
tetapi juga para ksatria dari kedua belah pihak, terutama musnahnya Kurawa.
Termasuk Sengkuni itu sendiri.
Selain agama, dunia pewayangan beserta karakter tokoh
serta idiomatiknya kerap digunakan para politisi dalam panggung politik negeri
ini. Meski secara realitas-politik hal tersebut merupakan simplifikasi. Faktanya,
jika dalam pewayangan kita dapat menemukan mana Pandawa mana Kurawa secara
mudah, lain halnya dengan jagat politik.
Meski sama-sama Kurawa, bisa saja seseorang menyebut
dirinya sebagai Pandawa yang terzalimi. Pula, jika karakter-karakter dalam
Kurawa dan Pandawa senantiasa ajeg,
Kurawa selalu salah dan Pandawa selalu benar, maka realitas yang kita temukan dalam
kehidupan nyata, terutama dunia politik, sikap dan keberpihakan seseorang
sangat cepat berubah dan sulit ditebak kebenarannya. Teriakan M. Nazarudin
menjadi bukti akan hal itu.
Meski demikian, filosofi yang terkandung dalam
cerita-cerita dalam dunia pewayangan, sejatinya bersifat universal yang bisa
ditemukan di mana saja dan pada siapa saja. Layaknya sebuah lakon tentang
kehidupan manusia, kemampuan pembaca dalam menangkap pesan serta kearifan di
dalamnya sangat menentukan apakah cerita tersebut memiliki nilai-nilai moral yang
luhur atau sekadar dongeng pengantar tidur semata. Selamat membaca.
No comments:
Post a Comment