Judul Buku: 693 KM; Jejak Gerilya Sudirman
Penulis: Ayi
Jufridar
Penerbit: Noura Books
Cetakan: I, Januari
2015
Tebal: 310 Halaman
Sejarah boleh jadi ditulis
hanya oleh para pemenang. Namun yang pasti, sejarah dikisahkan harus dengan
kejujuran sehingga dapat menjadi dian yang menyigi keremangan bagi generasi
mendatang, bukan mewariskan kabut gelap akan masa lalu. Karena rekayasa dan
kebohongan yang menyejarah, hanya menunggu waktu terkuak sebelum lonceng
kebenaran berdentang menghantam kesadaran zaman.
Selain itu, penulis yang
menarasikan sejarah dan menghadirkan tokoh masa lalu sebagai cerita, diharuskan
untuk melakukan riset secara mendalam sehingga memiliki wawasan yang cukup atas
sosok yang hendak disuguhkan. Minimnya informasi bukan hanya membuat kisah yang
ada menjadi miskin wawasan bagi pembaca, namun bangunan cerita juga akan
semakin jauh dari realita.
Hal demikian tidak berlaku
dengan novel berjudul 693 KM; Jejak
Gerilya Sudirman ini. Meski berbentuk novel, namun Ayi Jufridar,
penulisnya, berusaha keras untuk menggali informasi sebanyak mungkin mengenai
sosok Soedirman. Guna melengkapi pengetahuan yang sejak kecil mengendap di
kepala atas hikayat sang Jendral Besar, ia secara khusus mewawancarai dua
keponakan Soedirman. Padahal Ayi dapat saja berkilah, bahwa yang ditulisnya
cerita fiksi semata.
Sebagaimana tertera pada judulnya,
buku ini secara khusus menyuguhkan kisah perjalanan panjang suami Siti Alfiah
tersebut dalam memimpin perang gerilya. Sebuah perang yang lahir sebagai
respons atas agresi militer Belanda II yang berupaya menjajah kembali Republik
Indonesia yang baru merdeka sekaligus menduduki Ibukota Yogyakarta.
Bergerilya meninggalkan
anak-istri tercinta tentu bukanlah sebuah pilihan yang mudah bagi siapapun.
Terlebih Soedirman, yang kondisi fisiknya tengah menurun akibat penyakit Koch (TBC). Naik turun gunung, keluar
masuk hutan harus dirasakan lelaki kelahiran Purbalingga ini di atas “singgasana”
berupa tandu kayu, dengan paru yang tinggal satu.
Sebagai seorang panglima
Tentara Keamanan Rakyat (TKR), persoalan yang dihadapi Soedirman bukan sebatas
kondisi fisik yang lemah atau hal-hal yang bersifat personal lainnya, bukan
pula melulu soal perlengkapan militer musuh yang jauh lebih canggih dan pasukan
yang lebih terlatih dan terorganisir. Keberadaan Simon Spoor sebagai komandan
pasukan musuh yang menjadi otak Operasi Burung Gagak pun tidak pula
menggetarkan nyalinya.
Namun pengkhianatan dari sebagian
politisi Indonesia yang mewakili negara dalam berbagai perundingan, tapi justru
kerap merugikan pihak sendirilah yang justru meresahkannya. Tidak sedikit pula
orang Indonesia yang menjadi komprador, kolaborator bahkan menghamba Belanda
dengan menjadi anggota delegasi penjajah tersebut. (Halaman 54)
Keberadaan para pengkhianat bangsa
rupanya bukan monopoli kalangan politisi, namun tidak sedikit juga dari
kalangan militer dan rakyat yang berperan sebagai mata-mata musuh. Termasuk
dalam jalan panjang gerilya yang dilakukan Soedirman pada saat usianya yang relatif
masih sangat muda, 32 tahun, tersebut.
Banyaknya gedibal kolonial mengharuskan
ia lebih berhati-hati dalam mengambil rute perjalanan. Kerahasiaan menjadi
kunci kesuksesan perang gerilya. Semakin banyak orang yang tahu posisinya
berada, maka semakin besar bahaya dan kegagalan yang akan dihadapi. Karenanya,
penyamaran mutlak diperlukan.
Misalnya saja, di Bedoyo,
Soedirman harus berdiam diri ketika dikira sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
karena orang-orang yang bertemu dengannya mengira ia sebagai sosok penguasa
kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut. Hal ini dilakukan agar posisinya
sebagai panglima perang gerilya tidak terdeteksi musuh. (Halaman 106)
Keberadaan para pengkhianat
Ibu Pertiwi menjadi salah satu hal menarik dalam buku setebal tiga ratus
sepuluh halaman ini. Ayi bahkan mendeskripsikan salah satu tokoh yang berperan
penting dalam kemerdekaan namun dicurigai Soedirman sebagai sosok pengkhianat.
Pasalnya dalam beberapa kali
rapat, Soedirman menyebutkan rencana penyerangan ke beberapa markas Belanda di
depan tokoh tersebut. Ketika serangan dilakukan, Belanda sudah siap menyambut
tentara nasional. Kejadian itu bahkan terulang beberapa kali. Sayangnya, Ayi
tidak mengungkap nama tokoh yang dimaksud. (Halaman 274)
Sosok seperti Soedirman
mungkin tidak akan memiliki ganti. Kecanggihan strategi gerilyanya, semangat
juang, keikhlasan serta kecintaan terhadap negara dan bangsa patut menjadi
kebanggaan sekaligus teladan bagi siapa saja, terutama para prajurit Tentara
Nasional Indonesia (TNI) yang sangat beruntung memiliki panglima besar pertama
sepertinya.
Sosok Soedirman yang
religius dan nasionalis seharusnya menjadi cermin bagi segenap anak bangsa bahwa
antara agama dan nasionalisme tidak pernah ada pertentangan. Soedirman dan
tokoh-tokoh pejuang lain membuktikan hal itu.
Kendati demikian, buku ini tidak
dimaksudkan sebagai sebuah biografi maupun jejak gerilya Soedirman secara utuh.
Namun ditulis sebagai sebuah karya sastra yang hendak menularkan nyala api
semangat Soedirman kepada khalayak pembaca. Karenanya, untuk memperkaya
literasi, diperlukan melakukan pembacaan tambahan atas karya-karya sejenis lainnya.
693 Km itu ditempuh berapa hari oleh jenderal sudirman,dari kota apa ke kota apa.terimakasih.saya guru sejarah dibanjarmasin.tertarik dgn buku ini.cara membelinya bagaimana.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete