Koran Jakarta, 14 Juli 2015
Judul Buku: Janma Tan Kena Kinira; Mutiara
Kebajikan Para Leluhur Jawa
Penulis: Gesta
Bayuadhy
Penerbit: Laksana
Cetakan: I, Januari
2015
Tebal: 240 Halaman
Suku Jawa merupakan suku
dengan populasi terbesar di Indonesia. Fakta ini semakin diperkuat dengan
posisi pulaunya yang menjadi Ibukota negara, sekaligus pusat berkumpulnya
manusia dan berputarnya uang. Tidaklah mengherankan jika semua aspek kebudayaan
Jawa mampu mewarnai peradaban Indonesia saat ini.
Dengan modal demografis dan
geografis yang dimilikinya, etnis Jawa juga selalu diperhitungkan dalam setiap
perhelatan pesta demokrasi di negeri ini. Fakta juga menunjukkan bahwa hampir
semua presiden yang pernah memerintah negeri dengan beraneka suku ini, berasal
dari suku Jawa.
Besarnya pengaruh Jawa juga
dapat terbaca dari begitu familiarnya peribahasa, jargon, dan filosofi manusia Jawa
di telinga masyarakat Indonesia secara luas. Salah satunya adalah istilah Tepa Salira. Menurut buku berjudul Janma Tan Kena Kinira; Mutiara Kebajikan
Para Leluhur Jawa ini, tepa salira berarti tenggang rasa atau toleransi.
Secara luas diartikan
sebagai segala tindakan manusia berdasarkan kenyataan diri untuk merasakan apa
yang dirasakan orang lain. Dengan menerapkan tepa salira orang akan selalu bertenggang rasa dengan sesamanya.
Sebelum bertindak apapun, dia akan menimbang rasa terlebih dahulu. (Halaman
126) Misalnya, sebelum memukul dia akan berusaha merasakan sakitnya dipukul
sehingga tidak jadi melakukan pemukulan.
Sikap toleransi dan tenggang
rasa ada bukan untuk menghilangkan perbedaan. Antara satu dan yang lain tetap
saja berbeda, tetapi saling bertenggang rasa, tepa salira, sehingga kedamaian
dapat selalu terjaga. Inilah cara pandang peradaban yang luhur dan dewasa,
bukan cara pandang yang menolak perbedaan dan menyetujui penyeragaman. (Halaman
127)
Penghargaan leluhur Jawa
terhadap manusia lain juga ditunjukkan dengan istilah Janma Tan Kena Kinira. Sebuah konsep yang memandang bahwa setiap
manusia unik karena ia ciptaan Tuhan yang paling mulia. Makhluk yang dilengkapi
fasilitas secara lengkap; akal, fisik, jiwa, dan perasaan.
Dengan fasilitas tersebut
manusia menjadi makhluk yang memiliki kemungkinan yang tak terkira dan tak
terduga. Hal apa pun yang berkaitan dengan manusia, mulai dari pemikiran,
keinginan, perasaannya, sampai tindakan yang akan dilakukan, semuanya serba tan kena kinira. Selemah apa pun
manusia, ia tetap memiliki kelebihan atas yang lainnya. (Halaman 29)
Bukan hanya menyangkut
wilayah sosial, peradaban Jawa juga dikenal memiliki fiosofi spiritual yang
adiluhung. Mereka sangat pandai menarik konklusi dari sebuah peristiwa dan
mengkaitkannya kepada Tuhan. Misalnya saja, dalam istilah datan serik lamun ketaman lelakon yang berarti tidak merasa sakit
hati ketika mendapat cobaan dari Tuhan.
Suka atau tidak suka atas
takdir yang digariskan-Nya, manusia tetap harus menerimanya secara legawa.
Karena manusia hidup jangan mudah mengeluh, nanti akan bertambah kesusahannya
akibat keluhan itu. Sikap pasrah atas putusan Tuhan akan membawa pada sikap
tabah, yang senantiasa ingat akan peranan Tuhan dalam hidupnya.
Kalau pun toh manusia diuji
dengan kesusahan, maka apa yang dilakukan-Nya atas manusia pasti ada
batas-batasnya. Karena Gusti Maha Pirsa
atau Tuhan Maha Mengetahui. Toh pada dasarnya semua peristiwa dalam kehidupan
ada hikmah di baliknya, atau kabeh
lelakon ana undere. (Halaman 197-204)
Buku setebal dua ratus empat
puluh halaman ini, menjadi penting sebagai upaya untuk menghidupkan dan
mengingat kembali petuah para leluhur Jawa yang selama ini telah terlupakan
oleh banyak kalangan, terutama generasi muda. Padahal, dalam petuah tersebut
tersimpan makna dan nilai yang luhur serta sarat akan kebajikan.
Apa yang dilakukan oleh
Gesta Bayuadhy dalam buku ini, seyogyanya diikuti oleh penulis-penulis lain.
Baik dari kalangan Jawa maupun dari suku dan etnis yang berbeda yang ada di
Nusantara ini dengan mengedepankan kebajikan para leluhurnya masing-masing. Hal
ini selain dimaksudkan untuk melestarikan tradisi lokal, pula dibarengi dengan
harapan agar para pembaca dapat meresapi nilai-niali adiluhung yang terkandung
di dalamnya serta mengaplikasikannya secara nyata. Selamat membaca.
No comments:
Post a Comment