Judul Buku: Menyoal Status Agama-agama Pra Islam
Penulis: Sa’dullah
Affandy
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, April 2015
Tebal: 282 Halaman
Jamak diyakini
bahwa kedatangan Islam dengan diturunkannya wahyu kepada nabi Muhammad saw.
secara otomatis mengganti dan menghapuskan (abrogasi) syariat-ajaran yang diturunkan
Tuhan dan berlaku sebelumnya pada agama-agama langit; Yahudi dan Kristen.
Keyakinan demikian
tentu bukanlah monopoli kaum muslim, karena dalam tradisi Krisitiani terjadi
hal yang sama. Mereka meyakini ajarannya sebagai “teologi penggantian” dan supersessionisme atas agama yang lahir
sebelumnya, Yahudi. Meski kemudian dianulir oleh Nostra Aetea dari Konsili vatikan Kedua.
Dinamika penafsiran
pun bukannya tidak terjadi dalam kalangan ilmuwan muslim. Keberadaan teori naskh (abrogasi) yang bersumber pada
penafsiran QS Al-Baqarah ayat 106 turut memantik perdebatan para ulama selama
berabad-abad. Sebagian mengakui keberadaanya, sebagian lagi menolak.
Menurut Sa’dullah Affandy dalam buku
berjudul Menyoal Status Agama-agama Pra
Islam ini, pada mulanya konsep abrogasi terbatas pada masalah fikih yang
bersifat intra-Qur’anik, namun kemudian seiring berjalannya waktu dan perkembangan
dinamika keilmuan, tema naskh menjadi
luas cakupannya hingga menjadi pembatalan wahyu pra-Qur’an (ekstra-Qur’anik).
Sa’dun sendiri secara tegas
menyatakan menolak kedua jenis konsep abrogasi tersebut. Penolakan ini
dilandasi oleh pandangan bahwa Islam merupakan agama yang hadir sebagai
penyempurna dan penutup agama samawi sebelumnya. Sehingga tidak dimaksudkan
untuk menganulir atau membatalkan keabsahan agama-agama pra-Islam.
Sebaliknya, pandangan
pengabrogasian bertentangan dengan realitas kontinuitas wahyu yang turun kepada
Nabi saw. sebagai kelanjutan dari ajaran nabi-nabi sebelumnya. Al-Qur’an
diturunkan justru untuk membenarkan, melanjutkan, dan menjaga paralelitas
kitab-kitab suci sebelumnya. (Halaman 237)
Lalu bagaimana
dengan surat Al-Baqarah ayat 106 di atas, yang dijadikan legitimasi keberadaan naskh terutama yang bersifat ekstra
Qur’anik ? Dengan mengutip pandangan
beberapa ulama progresif seperti Rasyid Rida, Wahbah Zuhaili, Sayyid Qutb, Jalaluddin
Rakhmat, dan Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, penulis berkesimpulan bahwa
penafsiran tersebut tidaklah tepat, karena akan dihadang oleh ayat-ayat lain
yang substansinya senada.
Q.S. al-Baqarah
ayat 62 menegaskan bahwa orang-orang mukmin, Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in, yang
beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan beramal saleh, akan menerima pahala
dari Tuhan. Akan tetapi ayat ini kemudian, menurut sebagian penafsir yang pro-abrogasi,
dianulir oleh Q.S. Ali Imron ayat 85 yang menyatakan hanya Islam yang diterima.
Hal ini dibantah penulis
dengan menghadirkan tiga bukti. Pertama,
naskh hanya diterapkan pada ayat-ayat
hukum, seperti halal dan haram, bukan pada kabar atau berita. Kedua, Allah menurukan QS al-Ma’idah
ayat 69 dan al-Hajj ayat 17, yang secara substansi dan redaksi senada dengan
Q.S. al-Baqarah ayat 62, setelah Q.S. Ali Imron ayat 85 turun.
Ketiga, pandangan
abrogasi yang dikemukakan sebelumnya, dengan sendirinya terbantahkan.
Penyebutan ayat tersebut dengan tema yang sama selama tiga kali di surah yang
berbeda, dengan redaksi yang hampir sama, mengindikasikan informasi penting
yang patut menjadi perhatian umat. Kekuasaan dan kehendak Allah melampaui
kehendak manusia. (Halaman 145-147)
Bukanlah hal yang
mudah untuk berseberangan pendapat dengan para ulama klasik yang pemikirannya
telah mapan diterima oleh mayoritas umat Islam di Indonesia seperti
At-Thabrani, Ibnu Katsir, hingga Syaikh Nawawi Al-Bantani yang meyakini adanya
abrogasi. Keberanian Sadun patut diapresiasi.
Lebih jauh, ia
berkeyakinan bahwa agama sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, hanya satu
disebut Islam, sedangkan ajaran-ajarannya berjalan dinamis. Artinya, jika agama
bersifat universal dan meliputi sekian banyak syariat, maka syariat bersifat
temporer. Syariat dalam tiap-tiap agama adalah pararel dan tidak ada perbedaan
fundamental.
Benang merah yang
menyambungkan seluruh agama, mengutip Farid Esack, terletak pada misi yang
dibawanya. Agama apa pun memiliki ajaran dan misi menegakkan keadilan dan
membela kaum tertindas. Begitu pula Islam hadir melakukan advokasi dan
membebaskan manusia dari ketimpangan sosial, menolak tirani, eksploitasi,
dominasi, dan hegemoni. (Halaman 55)
Sebagai buah karya
intelektual penulisnya ketika menyelesaikan program Doktoral (disertasi) di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, buku setebal dua ratus delapan puluh dua halaman
ini tentu telah melewati proses panjang yang serius dan melelahkan. Ratusan catatan
kaki bertebaran memenuhi tiap halamannya demi memperkuat teori yang dibangun
penulis.
Hasilnya, buku ini
dijejali dengan kutipan pemikiran dari para ulama dan intelektual Islam, dari
disiplin ilmu tafsir hingga hukum Islam, yang secara intens membahas tema
abrogasi baik yang setuju, maupun menolak keberadaan teori tersebut. Tentu saja
dengan penjabaran yang menarik dan meyakinkan.
Secara umum,
keberadaan buku ini sangat berguna, dalam konteks mewujudkan harmonisasi umat
beragama. Sebagai fondasi penting yang memungkinkan terjadinya dialog antara
Islam dan agama-agama lain, terutama agama-agama dalam lingkungan tradisi
semitik; Yahudi dan Kristen.
Hanya saja, tentu
tidak semua orang dapat memahami gaya bahasa dan tema bahasan yang terdapat di
dalamnya, mengingat buku ini sedari awal ditulis dengan bahasa yang sangat
akademik. Sehingga ke depan, diharapkan tema seperti ini dapat dikupas secara
lebih “sederhana”, dan dapat menjangkau ke berbagai lapisan masyarakat.
Setidaknya masyarakat Islam tradisional, darimana Sadun berasal. Selamat
membaca.
No comments:
Post a Comment