Sunday, July 5, 2015

Geliat Sufisme di Negeri Barat

Majalah Gatra, Edisi XXI No. 35 1 Juli 2015

Judul Buku: Sufi-sufi Diaspora; Fenomena Sufisme di Negara-negara Barat
Penulis: Jamal Malik & John Hinnels

Penerbit: Mizan

Cetakan: I, April 2015

Tebal: 380 Halaman


Membanjirnya para imigran dari negara-negara dunia ketiga memasuki Eropa merupakan hal yang lazim disaksikan pada abad 21. Ekonomi menjadi salah satu faktor utama yang memantik kedatangan mereka secara besar-besaran. Negara-negara maju membutuhkan tenaga kerja dengan upah murah, sedangkan para imigran memerlukan pekerjaan yang tidak tersedia di negara asal.


Proses ini banyak terjadi di negara yang sebelumnya dikenal sebagai kolonialis, sebut saja misalnya Inggris, Prancis, dan Belanda. Sedangkan para imigran mayoritas berasal dari negara-negara bekas jajahan mereka yang ada di Asia dan Afrika, seperti India, Maroko dan Aljazair. Selain Eropa, Amerika juga menjadi tujuan favorit para imigran.

Mereka datang dengan turut serta membawa budaya dan keyakinan dari daerah asal. Seiring dengan semakin meningkatnya populasi mereka, akhirnya terbentuklah komunitas-komunitas yang disatukan oleh beragam identitas; negara, etnis, agama, maupun sekte. Salah satunya adalah munculnya perkumpulan-perkumpulan kaum sufi.


Buku berjudul Sufi-sufi Diaspora; Fenomena Sufisme di Negara-negara Barat ini, menghadirkan fenomena keberadaan komunitas-komunitas sufi di dua benua; Amerika dan Eropa yang pada awalnya terbentuk, dikenalkan dan berkembang di tangan para imigran asal berbagai negara.


Ditulis oleh para akademisi Barat yang secara intens mengkaji dinamika Islam terkini di negeri Barat. Salah satunya adalah Marcia Hermansen. Gerakan sufisme di Amerika, menurut Guru Besar Kajian Keislaman di Jurusan Teologi, Loyola University, Chicago ini, memiliki tiga tipe; perenial, hibrida, dan cangkokan. (Halaman 62)


Tipe perenial adalah gerakan-gerakan di mana identifikasi dan muatan Islam secara spesifik tidak ditekankan karena lebih condong kepada pandangan yang ‘perenialis’, ‘universalis’, ataupun ‘tradisionalis’. Contoh gerakan ini adalah The Sufi Order International, yang dipimpin Pir Vilayat Khan dan Zia Inayat Khan.


Istilah hibrida disematkan kepada gerakan-gerakan yang mengidentifikasi lebih dekat dengan sumber dan muatan Islam. Tipe ini umumnya didirikan dan dipimpin oleh imigran Muslim yang lahir dan dibesarkan dalam masyarakat muslim. Contoh tipe ini yang paling populer adalah tarekat Naqsyabandi-Haqqani yang dipimpin oleh guru asal Cyprus, Syaikh Nazim. 


Mayoritas anggota kedua tipe tersebut cenderung berkulit putih dari kelas menengah atau kelas menengah ke atas. Berasal dari generasi akhir 1960-an dan 1970-an, meski memang tampak ada lapisan muda yang kini menaruh minat, khususnya pada gerakan-gerakan hibrida.


Sedangkan Cangkokan adalah istilah yang digunakan untuk mengacu kepada gerakan sufi yang berlangsung di lingkar-lingkar kecil imigran dengan lebih sedikit beradaptasi dalam konteks Amerika.


Menariknya, sebagaimana dikatakan David W. Damrel, kalangan yang memusuhi kaum sufi di Amerika dan Eropa bukanlah dari pemerintah setempat maupun kalangan non-muslim. Resistensi justru muncul dari kaum Salafi-Wahhabi dengan menyebut sufisme sebagai perilaku yang sesat. Mereka bahkan melancarkan kampanye fitnah yang jahat dan licik terhadap Tarekat Naqsyabandi-Haqqani dan Syaikh Hisyam Kabbani. (Halaman 214)


Kebencian tersebut memuncak setelah Syaikh Hisyam menyebut bahwa ekstremisme telah disebarkan kepada 80 persen kaum Muslim Amerika dan mayoritas masjidnya dijalankan dengan ideologi ekstremis. Pernyataan tersebut melahirkan sikap boikot dari berbagai kelompok Islam di Amerika terhadap aktivitas Haqqani.


Aksi tersebut tidak menyurutkan kelompok sufi ini. Bahkan, di Amerika Utara mereka sukses mendapatkan pengikut dalam jumlah yang cukup besar, terutama dari kalangan muallaf, hanya dalam waktu sepuluh tahun. Para pengikutnya juga sebagian besar berasal dari kalangan Muslim Amerika non-imigran.


Serangan sengit atas sufisme bukan hanya terjadi di Amerika, namun juga di berbagai belahan dunia termasuk Inggris. Di negeri Ratu Elizabeth ini, menurut Ron Geaves, Naqsyabandi-Haqqani belum mampu mengembangkan sistem pendidikan atau menciptakan struktur organisasi secara solid sebagaimana di Amerika. (Halaman 272)


Hal ini disebabkan semangat lokal/teritorial masih sangat kuat pada komunitas islam tradisionalis Inggris. Upaya untuk menyelenggarakan konferensi pun banyak ditentang oleh para syaikh lokal beserta murid-muridnya, yang tampaknya menganggap kedatangan Syaikh Nazim ke wilayah benteng mereka sebagai gangguan.


Informasi dan data dihadirkan secara menarik dalam buku setebal tiga ratus delapan puluh halaman ini. Kolaborasi antara Jamal Malik dan John Hinnels dalam menyeleksi dan mengkoreksi berbagai makalah pada sebuah lokakarya di Inggris berhasil menghadirkan topik sufisme dengan isu-isu yang beragam; aktor, sarana, media, ide, dan kelembagaan sufisme dalam konteks diaspora.


Selain penting bagi para pengkaji sufisme dan dinamika Islam di negara-negara Barat, buku ini juga sangat berharga bagi pembaca secara luas untuk menampilkan wajah “lain” Islam yang selama ini dibajak kaum radikalis-teroris berkedok agama (Islam) seperti ISIS. Selamat membaca.     



1 comment: