Judul Buku: 121 Indonesia’s Scandals
Penulis: Afred Suci
Penerbit: Loveable
Cetakan: I, 2014
Tebal: 494 Halaman
Jalan pantai
utara Jawa atau biasa disebut Pantura, merupakan jalur primadona para
pengendara kendaraan bermotor di pulau Jawa. Terutama para pemudik menjelang
lebaran Idul Fitri tiba. Jutaan manusia yang mengadu nasib dan mengais rejeki dari
berbagai kota besar, terutama terpusat di Jakarta dan sekitarnya,
berduyun-duyun pulang mudik ke asal kampung halaman masing-masing.
Sebagian
menggunakan transportasi umum massal, sebagian lagi mengendarai kendaraan
pribadi mulai dari roda dua hingga empat. Kebanyakan menuju berbagai kota kecil
yang tersebar di pulau Jawa, tempat orang tua anak sanak famili yang masih
hidup tinggal. Mereka menyemut memadati jalur Pantura hingga kemacetan menjadi
ritual tahunan yang tak terhindarkan.
Perbaikan rutin
dengan dana jumbo jalur sepanjang 1.400 km tersebut menjadi salah satu isu yang
dibahas dalam buku berjudul 121 Indonesia’s
Scandals ini. Menurut Afred Suci,
penulisnya, tercium aroma manipulasi dan kospirasi yang remang-remang bak
kompleks pelacuran yang dilakukan para oknum terkait atas proyek kosmetika
permukaan aspal Pantura.
Skandal
lain yang disorotnya adalah intervensi asing atas kebijakan minyak dan gas
(migas). Pascareformasi, pemerintah dan legislator Indonesia secara sengaja dan
sadar masuk ke kubangan neo-liberalisme buta. Semua untuk kepentingan asing.
Tentu dengan narasi yang dipermanis untuk mengelabui logika rakyat.
UU
No.22 Tahun 2001 Tentang Migas dalam periode rancangannya sarat dengan
pesan-pesan Amerika serta negara-negara kaya lainnya yang berkepentingan dengan
mengintervensi sejumlah pasal-pasal di dalamnya, yang pada intinya bertujuan
meliberalkan pengelolaan migas nasional, mulai dari hak produksi hilir hingga
penyerahan harga minyak kepada mekanisme pasar. (Halaman 109)
Persoalan
migas menjadi semakin kompleks ketika terbukti keberadaan mafia migas di negeri
ini begitu nyata dan menggurita. Migas adalah kran uang yang sangat deras bagi
kekuatan politik yang menjadi penguasa. Sindikasi antara orang RI-1, pejabat
lembaga terkait migas, dan poros pedagang minyak mentah sejak Orde Baru telah
terbentuk menentukan harga yang harus ditebus rakyat.
Istana,
Kementerian ESDM, Menko Perekonomian, SKK Migas, Petral, dan ranting-ranting
Global Energy Resource milik godfather migas saling berkelindan
membentuk pusaran konspirasi yang sangat sulit ditembus dan dibuktikan meskipun
bau busuknya dapat dihirup bersama-sama seluruh rakyat.
Bahkan
maraknya politik uang dalam setiap Pemilihan Umum diduga sebagian besar dananya
berasal dari para mafia Migas yang menjadi Bandar bagi calon tertentu
sebagai bentuk investasi demi memuluskan dan mengamankan kejahatannya di masa
depan. Sehingga, kolaborasi antara penguasa dengan pengusaha hitam ini menjadi
sulit untuk dilawan.
Isu-isu
di dunia selebritis pun tak luput dari bidikan Afred. Sebut saja misalnya isu
keberadaan para artis nasional, terutama artis dangdut yang bisa dibooking
para pejabat dengan tarif selangit. Mulai dari Rp.25 juta hingga Rp. 250 juta.
Skandal politisi-pejabat-pengusaha dengan para penyanyi dan artis kerap
menghiasi berbagai pemberitaan media massa.
Bahkan,
setiap kali seorang tokoh politik atau figur penting tertangkap terkait
korupsi, yang justru menarik bukan kasus korupsinya itu sendiri, tapi kemana
aliran duit kotor itu mengalir ke sejumlah perempuan muda nan cantik, semok,
dan tentu saja seksi. Sebagian bahkan tidak jarang merupakan artis-artis
terkenal. (Halaman 468)
Sebut
saja nama-nama yang saat ini menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) seperti Akil Mukhtar dan Wawan. Berdasarkan pengakuan keduanya, tidak
sedikit uang hasil korupsi mereka yang mengalir para artis cantik di negeri
ini, tentu saja dengan beragam alasan dan motif.
121 isu yang
tersebar sepanjang sejarah Indonesia dihimpun dan dikelompokkan menjadi enam
tema besar dalam buku setebal 494 halaman ini; Agama dan Budaya, Ekonomi, Hukum,
Polisi, Militer, dan Intelejen, Sejarah dan Politik, serta Selebritis. Semua
konspirasi yang dihadirkan merupakan fakta media yang sejatinya sudah dulu
tersebar menjadi konsumsi publik.
Meski
demikian, upaya Alfred untuk menghimpunnya dalam satu buku yang utuh patut
diapresiasi. Terlebih istilah konspirasi menjadi mengemuka dan digunakan oleh
penulisnya untuk menyebut isu-isu yang ada mengingat isu tersebut hingga hari
ini masih terselubung tabir pekat. Sehingga upanya layak disebut untuk melawan
lupa atas aneka skandal dan konspirasi.
No comments:
Post a Comment