Kabar Madura, 31 Maret 2015
Judul Buku: Mimpi Bertemu
Nabi
Penulis: Juman Rofarif
Penerbit: Zaman
Cetakan: I, 2014
Tebal: 262 Halaman
Muhammad
saw. merupakan sosok yang keluhuran pekertinya menjadi pakem moralitas umat
Islam secara keseluruhan. Beliaulah manifestasi dari muatan al-Qur’an. Kekasih
Tuhan yang memilih hidup sederhana meski diberi pilihan untuk menjadi diraja dunia
serta kekayaan berupa emas bergunung-gunung.
Posisinya
sebagai rasul terakhir yang menyampaikan risalah Tuhan kepada manusia semakin
mengukuhkan cinta umatnya. Tidaklah mengherankan jika bermiliar orang dari
berbagai generasi setelahnya, begitu merindukan sosok agung tersebut. Pertemuan
dengan pribadi yang meneduhkan itu menjadi dambaan bagi mereka yang
mengimaninya, meski hanya dalam mimpi.
Padahal,
tidak ada potret gamblang yang menampilkan sosok utuh sang Nabi. Karena
mendokumentasikannya dalam sebuah gambar bagi umat Islam diyakini sebagai
sebuah larangan, meski tidak ada nash al-Qur’an dan hadis yang secara tegas mengharamkannya.
Sedangkan secara fisik Nabi sudah tiada empat belas abad yang lalu.
Beruntung,
para sahabat mewariskan deskripsi fisiknya. Menurut buku berjudul Mimpi Bertemu Nabi ini, Rasulullah memiliki
sosok yang gagah. Tongkrongannya berwibawa. Secara fisik ia sangat ideal. Tidak
memiliki cacat yang memungkinkannya menjadi bahan olok-olok orang-orang yang
memusuhi dan menentang risalah yang ia dakwahkan.
Secara
lebih detail, gambarannya sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan Imam Bukhari, Musim, al-Tirmidzi, dan Ahmad bin Hanbal adalah bermata
belo dengan hitam mata yang pekat dan putih mata yang bersih. Bulu mata yang
lentik dan tampak selalu memakai celak padahal tidak. Berjanggut lebat.
Memiliki dada yang bidang dan bahu yang tegap. Berkulit bersih. Lengan dan
kakinya tapak kokoh.
Postur
tubuhnya proporsional, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek. Tegap
jika berjalan. Dan jika ada yang memanggil, ia memiliki ciri yang khas, yaitu
akan menengok dengan menghadapkan seluruh tubuhnya. (Halaman 19-20) Hal
demikian tentu bukan karena lehernya kaku, namun sebagai bentuk penghormatan
kepada orang yang memanggilnya.
Meski demikian,
Nabi pernah mendapatkan dua kali teguran dari Allah yang kemudian diabadikan
dalam al-Qur’an. Yang pertama karena Rasulullah lupa menyematkan kata “insya
Allah” sebagai etika ketika berjanji dan berencana. Kedua ditegur ketika Nabi mengacuhkan
pertanyaan seseorang yang buta dan lebih memperhatikan kehadiran para tokoh
terpandang.
Buku ini
bukan melulu hanya menjelaskan deskripsi Nabi, namun juga menyajikan kisah-kisah
penuh hikmah yang menyelubungi seluruh hidupnya, para sahabat, serta
orang-orang saleh yang patut diteladani oleh para pembaca. Salah satu kisah
menarik dinukil dari sebuah kitab tasawuf yang telah berusia lebih dari seribu
tahun karya Abu Qasim al-Qusyairi.
Suatu
ketika, seorang sufi bernama Ma’ruf al-Karkhi sedang duduk-duduk bersama
murid-muridnya. Kemudian lewatlah rombongan yang tampaknya sedang merayakan
sesuatu. Mereka memainkan alat musik dan bernyanyi sambil meminum minuman keras.
Beragam
reaksi para murid sang guru sufi tersebut, namun secara garis besar mereka
mengecam perilaku tersebut. Namun apa kata-kata yang keluar dari Ma’ruf
al-Karkhi ? alih-alih murka dan mencela serta menyuruh para muridnya untuk
menyerbu dan menganiaya rombongan tersebut, ia malah berdoa: “Ya Tuhanku,
seperti mereka bisa bersenang-senang di dunia ini, buatlah mereka bisa
bersenang-senang di akhirat nanti.” (Halaman 129)
Buku yang bisa
dilahap dalam beragam waktu ini, tentu saja bukanlah sebuah buku hukum berisi
fatwa-fatwa yang sifatnya mengikat. Sebaliknya, ia justru menghadirkan sisi
lembut dalam beragama sebagaimana yang lazim ditemui dalam cara pandang kaum
sufi.
Simak saja
kisah ketika seorang Majusi bertamu kepada Nabi Ibrahim. Nabi bersedia menjamu
tamunya tersebut dengan syarat ia mau menyembah Allah. Namun si Majusi menolak
permintaan tersebut dan lebih memilih pergi mengurungkan niatnya bertamu.
Akibatnya,
Tuhan lalu menegur Nabi Ibrahim atas sikapnya tersebut dengan mengatakan:
”Dalam lima puluh tahun kekufurannya, Aku tetap memberi kehidupan kepada majusi
itu.” Disadarkan akan kekeliruannya, Ibrahim pun segera meminta maaf kepada si
Majusi. (Halaman 207-208)
Pesan-pesan
moral serta pedoman spiritual yang disuguhkan dalam buku setebal dua ratus enam
puluh enam ini dibungkus dengan kisah-kisah teladan dari sang Nabi serta
orang-orang yang menjadikannya panutan. Hasilnya, selain substansi yang ingin
disampaikan ke pembaca mudah dicerna, kesan yang dihasilkannya pun dapat
melekat kuat di dalam benak.
terima kasih, mas. mantap. (Y)
ReplyDelete