Judul Buku: Mata Penakluk: Manakib Abdurrahman Wahid
Penulis: Abdullah Wong
Penerbit: Expose
Cetakan: I, Januari 2015
Tebal: 295 Halaman
Abdurrahman
Wahid merupakan salah satu tokoh bangsa yang unik sekaligus menarik. Demikian
pula dengan kisah-kisah yang mengitari hidup. Beragam identitas, gelar serta
julukan melekat pada sosok yang senantiasa mengenakan kacamata tebal ini. Mulai
dari yang positif hingga negatif.
Sebut saja
misalnya, ia dikenal sebagai pembela kaum minoritas, lokomotif demokrasi dan
HAM di Indonesia, bapak pluralisme, kyai kharismatik, hingga sebagian orang
menganggapnya sebagai salah seorang wali Allah.
Secara
genealogis ia keturunan orang-orang besar di negeri ini, terutama dari lingkungan
pesantren yang menjadi pilar penjaga Islam di Indonesia selama ratusan tahun.
Kakeknya dari ayah adalah Hadratusy-syaikh Hasyim Asy’ari, ulama kharismatik
dan pendiri organisasi terbesar di Dunia bernama Nahdlatul Ulama (NU).
Sedangkan kakek
dari ibu adalah KH Bisri Syansuri, murid sekaligus sahabat Hasyim Asy’ari
seorang ulama yang memiliki andil besar dalam sejarah pergerakan bangsa. Sang
ayah sendiri merupakan tokoh nasional yang telah dikukuhkan menjadi pahlawan
nasional, mantan menteri Agama pada era Soekarno bernama Wahid Hasyim.
Meski
demikian, pergaulan Gus Dur tidak melulu dalam lingkaran kaum santri. Ia
dikenal luas di lintas batas komunitas, etnis, ras, bahkan agama. Berkarib
bukan hanya dengan para kyai, namun juga pendeta dan rabi Yahudi. Pun bacaannya
bukan hanya kitab suci dan kitab kuning yang menjadi menu wajib pesantren,
tetapi juga Das Kapital, karya “nabi”nya
kaum marxis, Karl Marx.
Ia memiliki
kemampuan mengutip ayat-ayat suci, hadis nabi, atau fatwa para ulama klasik sefasih
mendedah pemikiran para Filosof Dunia. Yang bisa disesapnya bukan hanya
keindahan alunan musik klasik karya komponis dunia sekelas Beethoven dan Mozart,
namun juga suara merdu Umi Kultsum, penyanyi legendaris asal Mesir atau grup
Nasida Ria asal Semarang.
Beragam
jabatan dan aktivitas pernah dilakoninya. Sebelum menjadi Presiden dan ketua
umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 1984, Gus Dur
pernah menjadi penjual kacang dan es di sela-sela aktivitas menulisnya. Siang
hari, ia bisa saja tengah berdebat secara ilmiah mengenai demokrasi, sedang
malam harinya ziarah di makam para ulama dan wali.
Tidak ada
yang meragukan kecerdasan serta daya ingatnya yang cemerlang. Sebuah karunia
yang sudah terlihat sejak ia masih semenjana, sebagaimana dikisahkan dalam buku
berjudul Mata Penakluk: Manakib
Abdurrahman Wahid ini. Menghadirkan sosok Gus Dur kecil dengan segenap kisahnya yang penuh
warna.
Abdurrahman
A-Dakhil, demikian nama kecilnya pemberian sang Ayah, yang berarti seorang
hamba yang penuh welas sekaligus Sang Penakluk. Nama itu terinspirasi dari
seorang panglima perang dinasti Umayyah yang tanpa rasa takut menaklukan
kerajaan Spanyol hanya dengan tujuh ribu pasukan. Thariq bin Ziyad, demikian
nama populernya.
Ketegaran hati
Gus Dur yang seperti batu karang. Tangguh dan kokoh, meski badai kerap
menerjangnya. Berani mengambil tindakan yang diyakininya benar, meski caci maki
dan hinaan harus diterimanya dari orang-orang yang tidak sepaham dengan
gagasan-gagasannya, boleh jadi sedikit banyak terinspirasi oleh tokoh yang
diidolakan sang ayah tersebut.
Disuguhkan
kehadapan pembaca dalam bentuk sebuah novel dengan menggunakan sudut pandang
“aku”, Abdullah Wong, penulis buku ini, berhasil membawa pembaca seolah-olah
mendengarkan penuturan Gus Dur secara langsung.
Tidak
sedikit buku yang telah mengupas sosok Abdurrahman yang lebih memilih nama sang
ayah, Wahid, di belakang namanya ini. Mulai dari pemahaman keagamaan, wawasan
kebangsaan, laku spiritual, hingga kumpulan humor yang pernah dilontarkannya.
Namun buku
ini tetap memiliki kelebihan karena menghadirkan sosok Gus Dur secara lebih
manusiawi dan utuh. Gus Dur yang menangis di usia tiga belas tahun ketika
menyaksikan sang ayah terluka parah akibat kecelakaan hebat hingga menyebabkan
kematian. Gus Dur yang nakal dan usil terhadap para santri dewasa serta teman
sebayanya. Gus Dur yang tergila-gila dengan buku.
Abdurrahman
Wahid mungkin sudah terbaring dengan tenang di samping keluarganya. Namun
semangat, pengabdian, keberanian, serta pemikiran-pemikirannya yang selalu
menyegarkan akan tetap utuh dalam memori orang-orang yang mencintainya.
Terlebih dengan maraknya literatur yang mengabadikan namanya dalam prasasti
sejarah.
Keberadaan
buku yang mengangkat kisah para tokoh yang memiliki kontribusi besar terhadap
masyarakat dan bangsa sudah sepatutnya diapresiasi. Bukan hanya sebagai upaya
melestarikan kenangan atas kisahnya semata, atau sekedar sebagai amal jariyah
penulisnya. Lebih dari itu, keberadaannya turut memperkaya literatur yang dapat
dinikmati pembaca secara luas, terutama kaum muda. Sehingga kisahnya dapat diteladani
sekaligus menginspirasi bagi setiap generasi.
No comments:
Post a Comment