Monday, March 23, 2015

Pedoman Spiritual Peradaban Galau

Jateng Pos, 15 Maret 2015
 
Judul Buku: Reclaim Your Heart
Penulis: Yasmin Mogahed
Penerbit: Zaman
Cetakan: I, Desember 2014
Tebal: 297 Halaman

Kemampuannya dalam mengurai persoalan serta mendedah solusi patut diacungi jempol. Posisinya sebagai seorang muslimah yang taat tidak serta-merta mengaburkan perspektif. Sebaliknya, pesan moral yang didengungkannya dapat dirasakan getarannya oleh seluruh lapisan pembaca  dari beragam kalangan dengan berbagai latar belakang keimanan.

Kaya akan analogi yang mudah dipahami, sarat makna yang dapat diserap, dihadirkan ke tengah pembaca tanpa gaya bahasa yang menggurui namun menawarkan cara pandang tentang cinta, kehilangan, kebahagiaan, dan rasa sakit yang baru. Itulah kesan dan apresiasi atas buku karya Yasmin Mogahed ini.         

Apa yang dibidik dan menjadi fokus kajian perempuan keturunan Mesir yang lahir di Amerika Serikat dalam buku berjudul lengkap Reclaim Your Heart; Wawasan Mencerahkan tentang Cinta, Duka, dan Bahagia ini merupakan bagian fundamental manusia yang menurut sabda Muhammad sang nabi sendiri sangat menentukan baik buruknya manusia, yaitu hati.   

Hati merupakan perangkat istimewa yang menentukan kondisi emosional. Ia juga sebuah “jimat” yang berpengaruh besar terhadap perjalanan hidup seseorang. Karena peran dan posisinya yang istimewa itulah, maka hati menjadi sasaran bagi jebakan perbudakan kehidupan dunya

Padahal jika seseorang membiarkan dunya memiliki hati, maka ia akan mengambil alih. Ia akan tenggelam ke laut, menyentuh dasar laut dan merasa berada di titik terendah. Terperangkap oleh dosa-dosa dan cinta akan kehidupan ini. Merasa hancur, dikelilingi oleh kegelapan. Itulah hebatnya dasar laut. Tak terjangkau cahaya.

Tapi untungnya terkadang transformasi dimulai dengan kejatuhan. Jadi, jangan pernah mengutuk kejatuhan. Tanah adalah tempat tinggal kerendahan hati. Raihlah. Belajarlah dari situ. Setelah itu, kembalilah dalam keadaan lebih kuat, lebih rendah hati, dan lebih sadar akan kebutuhan kita akan Tuhan. (Halaman 72)

Ketika kembali pada Allah, mencari pengampunan-Nya, kita berpotensi untuk menjadi lebih kaya dibanding sebelumnya. Setan bersukacita ketika Adam jatuh dari surga. Tetapi, setan tidak tahu ketika seorang penyelam tenggelam ke laut, ia mengumpulkan mutiara dan kemudian naik lagi.

Keterikatan hati manusia dengan dunya memang akan menghancurkannya. Karena definisi dunya sebagai sesuatu yang sementara dan tidak sempurna, bertentangan dengan segala sesuatu yang diciptakan untuk manusia dambakan. Hanya ketika manusia berhenti menaruh harapan pada dunya, barulah kehidupan ini akhirnya berhenti mematahkan kita. 

Artinya, bila kita memiliki teman, jangan mengharapkan mereka mengisi kekosongan kita. Bila menikah, jangan mengharapkan pasangan untuk memenuhi setiap kebutuhan kita. Bila seorang aktivis, jangan menaruh harapan pada hasil. Bila dalam kesulitan, jangan bergantung pada diri sendiri. Jangan bergantung pada manusia. Bergantunglah pada Tuhan. (Halaman 23)

Manusia hanyalah alat, suatu sarana yang dipergunakan oleh Tuhan. Tapi, manusia bukanlah sumber bantuan, pertolongan, atau keselamatan apa pun. Hanya Allah yang mampu melakukannya. Manusia bahkan tidak bisa menciptkan seekor lalat. Karena itu, ketika kita berinteraksi dengan manusia, arahkan hati kita pada Tuhan.

Sebaliknya, orang-orang yang telah membuat kita kecewa tidak dapat dipersalahkan, sama seperti gravitasi yang tak bisa dipersalahkan karena menjatuhkan dan memecahkan jambangan. Kita tidak bisa menyalahkan hukum fisika ketika sebatang ranting patah karena kita bersandar padanya. Karena ranting tak pernah diciptakan untuk menahan beban kita. 

Selain mengupas persoalan hati dan psikologi, responnya atas berbagai isu aktual serta pemikiran dan gugatannya yang tajam namun menyegarkan ia tuangkan pula dalam beberapa bab di dalam buku ini. Yasmin misalnya menolak stereotype yang diciptakan orang-orang Barat mengenai Islam menjadi fundamentalis, moderat, tradisionalis, dan lain-lain. (Halaman 245-249)

Labelisasi atas Islam pada dasarnya hanya langkah pertama untuk mengadu domba. Padahal umat Islam tidak butuh label apapun, termasuk moderat. Karena dari definisinya, Islam adalah moderat. Semakin ketat kita patuhi fundamental-nya, semakin moderat kita jadinya. Dari sifatnya Islam tak lekang waktu dan universal. Jadi, semakin kita pegang aturan keislaman, kita akan selalu menjadi modern. 

Sayangnya, Yasmin melupakan bahwa labelisasi dan stigma negatif tersebut muncul karena perilaku sebagian orang yang mengaku beragama Islam itu sendiri ternyata bukan hanya berkebalikan dengan semangat fundamental Islam, namun sudah menjadi ancaman nyata bagi perdamaian peradaban manusia. 

Meski demikian, kehadiran buku setebal dua ratus sembilan puluh tujuh halaman ini ibarat dian yang menerangi kegelapan hati pembacanya yang paling pekat sekalipun, terutama kaum yang mudah galau. Kelenturan bahasanya mampu menyigi lubang terdalam pembaca yang boleh jadi terbentuk akibat beragam pengalaman pahit dalam hidup serta bergunung kekecewaan karena realitas yang tidak sesuai dengan ekspektasi.

Secara lembut namun menyegarkan, Mogahed menempatkan sudut pandang teologis dalam fragmen kajian psikologi yang notabene merupakan keahliannya. Hasilnya, ia secara gemilang sukses memadukan antara dua disiplin keilmuan tersebut sehingga buku ini selain termasuk kategori buku self-help juga laksana sebuah pedomanan laku spiritual bagi para Salik.

No comments:

Post a Comment