Penulis: Mujamil Qomar
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Desember 2012
Tebal: 286 Halaman
Sejarah mencatat bahwa Islam secara gemilang masuk dan
menyebar ke Nusantara dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Terlebih, datangnya
Islam tersebut tidak melalui invasi militer maupun paksaan politik penguasa,
melainkan dengan pendekatan kultural dan jalan damai.
Hasilnya, saat ini Islam bukan hanya menjadi agama
mayoritas yang dipeluk oleh masyarakat Nusantara, terutama Indonesia, bahkan
menurut Azyumardi Azra, Islam di kawasan ini telah diakui sebagai salah satu
wilayah kebudayaan yang cukup berpengaruh dari tujuh wilayah kebudayaan di
dunia.
Kendati demikian, secara realistis komunitas Islam di
Indonesia masih menjadi konsumen terhadap produk-produk pemikiran tokoh-tokoh
Islam dari luar. Para pemikirnya masih menjadi pemikir pemamah atau pemikir
konsumen lantaran cenderung menerima dan mengadaptasi pemikiran-pemikiran dari
luar, sehingga mematikan kreativitas mereka untuk mandiri dan orisinil.
(Halaman 171)
Demikianlah kegelisahan utama Mujamil Qomar yang
dituangkan dalam buku berjudul Fajar Baru Islam Indonesia ? ini. Guru Besar Pemikiran Islam ini, mencoba menawarkan langkah-langkah
strategis disertai landasan epistemologis demi mewujudkan Indonesia
sebagai kiblat pemikiran sekaligus pemimpin dunia Islam.
Hal ini bukannya tanpa alasan, sebagai negara dengan
populasi penduduk muslim terbesar di dunia, sangatlah wajar jika Indonesia
menjadi tumpuan harapan banyak kalangan untuk menjadi mercusuar baru dunia
Islam. Meski secara Faktual, negeri ini masih dirundung berbagai masalah
krusial; jumlah rakyat miskin yang banyak, tingkat pendidikan yang rendah,
serta persoalan korupsi yag seperti kanker menggerogoti kesehatannya.
Akan tetapi di sisi lain, kekayaan budaya yang dimiliki
Islam Indonesia dapat menjadi modal besar untuk bangkit. Mengingat Islam
Indonesia adalah Islam yang dikemas secara kreatif hasil padupadan dengan
tradisi lokal. Daya kreativitas tersebut bisa dilihat dalam bermacam tradisi
yang dihidupinya; peringatan maulid Nabi, halal bihalal, ketupat, beduk,
tahlilan, yasinan, istighatsah, manaqib, tawasul, pembacaan Diba,
pembacaan Barjanji, haul, dan
lain-lain. (Halaman 22)
Penampilan Islam Indonesia yang penuh warna tradisi itu, selain
menjadi indikator kekayaan pemikiran, juga merupakan hasil pemahaman dan
penafsiran terhadap substansi Islam yang ditransformasikan secara aplikatif
dalam konteks budaya Indonesia. Bukan mengubah, namun menerjemahkan Islam ke
dalam bahasa kebudayaan Indonesia.
Transformasi dalam konteks Indonesia tersebut menjadikan
Islam Indonesia kaya pemahaman, pemaknaan, penafsiran, dan penampilan. Luwes
dan fleksibel baik terhadap tradisi, budaya, maupun perkembangan zaman,
sepanjang tidak menghancurkan substansi Islam itu sendiri. Karakter demikian
juga menjadikan Islam Indonesia sangat terbuka terhadap pemikiran dari luar.
Salah satu contohnya adalah gagasan fiqh Indonesia,
sebuah bangunan ilmu fiqh yang senantiasa mendasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah
dengan menangkap pesan-pesan substantifnya, kemudian didialogkan dengan
berbagai realitas di Indonesia untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang
sesuai dengan kondisi Indonesia. Sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap
akselerasi kemajuan peradaban Islam, peradaban Indonesia, maupun peradaban
Islam Indonesia. (Halaman 74-75)
Oleh karenanya, kecenderungan meniru dan menjadi konsumen
pemikiran luar harus segera ditransformasikan menjadi kecenderungan baru yang
bersifat mandiri, kreatif, dan alternatif. Intelektual Islam Indonesia harus
berani mengubah substansi pemikiran maupun model-model pemikiran yang mandiri
tanpa terpengaruh oleh pemikiran tokoh-tokoh lain, sehingga hasil pemikirannya
orisinil.
Untuk mewujudkan idealisme pemikiran ini, maka
kreativitas pemikiran dan mengeksplorasi hal-hal yang sama sekali baru dan
objek pemikiran yang belum digarap oleh tokoh lain, mutlak diperlukan. Sehingga
pemikiran alternatif tersebut bukan hanya “laku” di tingkat nasional, namun
juga internasional.
Mujamil menawarkan empat strategi mewujudkan Indonesia menjadi
pemimpin dunia Islam; Pertama,
membangun pemikiran yang inovatif-konstruktif, yaitu pemikiran yang bersifat
pembaruan sekaligus membangun. Kedua,
membudayakan tindakan kreatif-produktif. Ketiga,
menciptakan kebijakan strategis-transformatif. Keempat, melaksanakan pembangunan secara kolektif-sinergis.
(Halaman 206-247)
Tawaran konseptual yang tertuang dalam buku yang memiliki
ketebalan 286 Halaman ini, diharapkan memiliki kontribusi positif khususnya
bagi para pemikir Islam, peneliti, dosen, mahasiswa, dan pembaca umum yang
memiliki perhatian dan kepedulian terhadap masa depan Indonesia sebagai negara
subyek, negara produsen, sekaligus negara percontohan bagi negara-negara muslim
lainnya. Dengan kata lain, semangat utama yang tersimpan dalam buku ini adalah
menjadikan Islam Indonesia sebagai kiblat baru pemikiran Islam.
No comments:
Post a Comment