Malang Post, 10 Maret 2013
Judul Buku: Tipuan Bloomberg
Penulis: A. Zulvan Kurniawan
Penerbit: Indonesia Berdikari
Cetakan: I, Desember 2012
Tebal: 92 Halaman
“Jika mau mencalonkan diri menjadi aparat pemerintah,
akan lebih baik menjadi miliarder dulu, sehingga Anda bisa fokus dalam
bekerja.” (Michael Bloomberg)
Selama satu dekade terakhir, sosoknya menjadi
perbincangan berbagai kalangan, baik politik, ekonomi, media, bahkan
kebudayaan. Nama, sikap, pernyataan, dan visinya melampaui posisinya sebagai pemimpin
kota megapolitan Amerika Serikat bernama New York. Dialah sosok bernama lengkap
Michael Rubens Bloomberg.
Kakeknya bernama Alexander “Elick” Bloomberg, seorang
imigran Yahudi-Rusia yang bekerja sebagai agen properti. Ia dilahirkan pada
tanggal 14 Februari 1942 di Boston, Amerika, dari rahim seorang perempuan
keturunan imigran Rusia bernama Charlotte, istri dari Willliam Henry Bloomberg.
Jejak genetika tersebut menyebabkan ia beserta
keluarganya diperlakuan secara diskriminatif. Sang ayah bahkan pernah dilarang
menginap di sebuah hotel setelah ketahuan berdarah Yahudi. Pengalaman inilah
yang membentuknya menjadi pribadi yang egaliter dan senang berbaur dengan siapa
pun tanpa memandang perbedaan status, kelas, ras, etnis, dan agama.
Buku berjudul lengkap Tipuan Bloomberg; Mengungkap
Sosok Agen Industri Farmasi di Balik Filantropi Kampanye Anti-Rokok ini, berusaha menyuguhkan kisah sosok
Michael Bloomberg sebagai Yahudi, pengusaha, politisi, filantropis, dan elit
ternama. Pembaca akan diajak untuk menelusuri asal-usul keluarga, kekayaannya
yang melimpah, juga sepak terjang usahanya dalam membangun gurita bisnis yang
sukses.
Jauh hari sebelum menjadi orang nomor satu di Big Apple, julukan New York, Bloomberg
pernah ditanya tentang cita-citanya setelah sukses menjadi pebisnis. Ia
menjawab: ”Hanya tiga hal yang ada dalam benak saya. Pertama, menjadi Presiden Amerika Serikat. Kedua, Sekretaris Jenderal PBB. Ketiga,
menjadi wali kota New York.”
Ia nampaknya terlahir sebagai politisi oportunis namun
memiliki insting yang tajam. Terbukti, pilihannya untuk membelot dari Partai
Demokrat yang semula didukungnya, dan memutar haluan menjadi Republikan berasil
mewujudkan salah satu impiannya tersebut di tahun 2001. (Halaman 15)
Peringkat pertama dalam daftar “The World’s Richest
Politicans” versi majalah Forbes pada 2012 ini, menggelontorkan 85 juta dollar
untuk kampanye pada pemilihan wali kota tahun 2005. Angka tersebut membengkak
menjadi 102 juta dollar atau 959,3 miliar rupiah ketika untuk ketiga kalinya ia
maju dalam pemilihan.
Angka tersebut terbilang sedikit jika dibandingkan dengan
total dana yang disumbangkannya untuk pendidikan, penelitian medis, dan
pengembangan seni. Melalui Bloomberg Family Foundation, jumlah sumbangan yang
dikeluarkannya adalah 138 juta dollar (2004), 144 juta dollar (2005), 165 juta
dollar (2006), dan 205 juta dollar. Tidaklah mengherankan jika Bloomberg disebut
sebagai filantrofis ketujuh terbesar di Amerika Serikat.
Ketika ditanya seputar kesuksesan dalam kehidupannya,
baik sebagai politisi maupun pebisnis, Bloomberg mengungkapkan rahasianya
karena ia melakukan segala sesuatunya dilakukan secara bertahap dan jangan
pernah menyerah. So, let’s just do it !.
Meski demikian, reputasi yang dibangun nampaknya tidak
mampu membendung kritik terhadapnya. Dukungannya terhadap pernikahan sesama
jenis, pajak tinggi terhadap rokok, dukungannya secara terbuka terhadap Israel,
serta sikap paranoidnya terhadap komunitas muslim New York, menjadi kontroversi
selama memimpin. (Halaman 40)
Akan tetapi, tuduhan yang paling serius adalah kampanye
anti-rokok serta Perang Nikotin yang dikobarkannya dicurigai memiliki motif
demi memenangkan perusahaan-perusahaan farmasi yang menjual obat-obat untuk
berhenti merokok. Konspirasinya bersama keluarga Rockefeller, Carnegie, Ford,
Morgan, Gates, dan sebagainya, membuat sejumlah perguruan tinggi, pusat riset,
lembaga pemerintah, organisasi sosial, dan badan-badan internasional merilis
aturan serta kebijakan kapitalistik yang dibalut kampanye kesehatan serta
filantropi.
Hasil kampanye anti-rokok secara besar-besaran itu
kemudian berimplikasi penting pada produk terapi dan obat berhenti merokok.
Pada 2007, Chantix yang diproduksi Pfizer terjual senilai 883 juta dollar. Klinik-klinik
terapi berhenti merokok, yang notabene dimiliki Rockefeller-Morgan, banyak
didirikan. (Halaman 71)
Buku setebal 92 halaman ini, mengurai
hubungan antara sang filantropis dengan kalangan farmasi, berdasarkan fakta
bahwa Bloomberg Initiative merupakan lembaga penyalur dana kepada negara dan
lembaga yang sepat untuk mengkampanyekan gerakan anti-tembakau. Hasilnya,
Bloomberg disimpulkan sebagai tokoh yang tidak bebas-kepentingan, sebagaimana
tujuan para kapitalis lainnya, yaitu mengeruk keuntungan finansial
sebesar-besarnya.
Thanks infonya. Oiya ngomongin Michael Bloomberg, dia pernah memberi masukan kepada generasi muda yang mau sukses dalam kehidupan. Wejangan itu ia berikan saat jadi pembicara dalam sebuah acara yang berlangsung di Harvard Business School. Penasaran apa yang disampaikan? Cek di sini ya: Pesan Michael Bloomberg kepada generasi muda jika mau sukses
ReplyDelete