Sindo, 18 Maret 2012
Judul Buku: Jiwa yang Merajut Nusantara
Penulis: Irman Gusman
Editor: Hasril Chaniago
Penerbit: Ghalia Indonesia
Cetakan: I, Februari 2012
Tebal: 520 Halaman
Beragam alasan dan motivasi yang melatarbelakangi penulisan autobiografi. Mulai sekedar untuk berbagi pengalaman hidup, konfirmasi atas berbagai peristiwa masa lalu yang memicu kontroversi, sarana politik pencitraan, hingga media untuk menyampaikan sebuah gagasan yang dianggap lebih komprehensif dan tepat sasaran.
Sedemikian besarnya pengaruh sebuah buku, tidak mengherankan jika belakangan ini semakin banyak selebriti, politisi, pejabat publik maupun tokoh masyarakat yang menuangkan kisah hidupnya dalam buku. Tercatat mantan Presiden BJ Habibie, mantan ketua MPR Amien Rais, Letjen Purn Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan, dan lain-lain melakukan hal serupa.
Kini, muncul satu lagi buku autobiografi sejenis, berjudul Irman Gusman; Jiwa yang Merajut Nusantara. Sebagaimana tertera pada judulnya, buku ini menceritakan sosok Irman Gusman yang notabene seorang Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. Mulai dari perjuangan di tanah kelahiran, pendidikan, aktivitas bisnis, kiprahnya dalam bidang sosial, serta sepak terjangnya dalam dunia politik.
Pria kelahiran Padang Panjang lima puluh tahun silam ini, merupakan sosok yang tidak asing dalam dinamika perpolitikan Indonesia pascareformasi, terutama bagi warga Sumatera Barat. Maklum, pada era inilah karir politik Irman dimulai, tepatnya pada tahun 1999 ketika ia menjabat sebagai anggota MPR RI periode 1999-2004 Utusan Daerah dari Sumatera Barat, tanah kelahirannya.
Setelah itu, karir jebolan Graduate School of Business, University of Bridgeport, Amerika Serikat ini, kian menanjak seiring dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk menjabat sebagai Wakil Ketua DPD RI periode 2004-2009 dengan Ginanjar Kartasasmita sebagai ketuanya. Kini, ia diamanahi posisi sebagai ketua pada lembaga yang sama untuk masa bakti 2009-2014.
Ide penulisan buku setebal 520 halaman ini pada dasarnya berawal dari ketakjuban Irman terhadap Tanah Air yang disebutnya sebagai “Negeri Mukjizat”. Betapa tidak, Indonesia adalah bangsa yang besar yang dapat bersatu meski memiliki keanekaragaman agama, suku, bahasa, dan adat istiadat yang beraneka. Lalu, apa kiranya yang menjadi alat perekat yang demikian kuat di Indonesia ?
Menurut Irman, hal ini dikarenakan adanya ikatan kebangsaan yang kuat. Kesadaran sebagai satu bangsa dan satu negara mampu meredam segala potensi disintegrasi dan konflik secara lebih luas. Sebagai perbandingan, Mikhail Gorbachev dengan Glasnost dan Perestroika-nya tak mampu membendung disintegrasi Uni Sovyet, padahal masyarakatnya lebih homogen dibanding Indonesia yang heterogen.
Demikian pula yang terjadi di jazirah Arab. Meski berpijak di atas hamparan tanah yang sama, berasal dari suku bangsa yang satu, berbicara dalam satu bahasa, dan memiliki kultur dan adat istiadat yang serupa, namun sangat sulit dipersatukan dalam sebuah panji kenegaraan. Bahkan, pertikaian dan peperangan seolah menjadi hal lumrah sehingga tercerai berai menjadi puluhan negara. Menyoal masa depan Palestina pun tidak satu suara.
Keberadaan jiwa-jiwa yang mampu merajut Nusantara, yang secara tepat dan lugas diistilahkan dengan Bhineka Tunggal Ika, seolah menjadi nubuat bahwa dengan segala keanekaragamannya, Indonesia justru memiliki modal lebih dari cukup baik secara spiritual, kultural, sosial, maupun historis untuk bersatu dalam payung Republik Indonesia, bukan sebaliknya.
Nampaknya, semangat persatuan, kesatuan, kebersamaan sekaligus kebanggan menjadi manusia Nusantara, adalah pesan utama yang hendak disampaikan buku yang diluncurkan bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-50 Irman Gusman ini, tentu saja dari kacamata penulisnya yang memiliki pengalaman kaya, pengetahuan yang mumpuni serta jiwa yang mencintai negaranya, Indonesia.
Namun, cinta seorang Irman bukan cinta monyet seorang remaja yang membabi-buta, ia sangat menyadari bahwa negara yang dicintai tidaklah sempurna dalam realitasnya. Penegakan hukum yang masih lemah, korupsi yang merajalela, konflik agraria yang menyimpan bara, kesenjangan sosial ekonomi adalah hal yang harus segera diatasi secara serius. Sehingga terciptanya masyarakat yang adil dan makmur tidak hanya berhenti sebatas cita-cita kemerdekaan.
Keberadaan autobiografi sosok yang dikenal kreatif, inovatif dan selalu optimis dalam memandang masa depan Indonesia ini, selain semakin memperkaya khazanah literasi Tanah Air, juga diharapkan mampu menyampaikan pengalaman serta gagasan yang dimiliki untuk disebarluaskan ke khalayak. Kehadiran buku ini juga menambah deretan politisi yang menuliskan pengalaman dan impiannya dalam sebuah buku. Semoga bukan hanya untuk tujuan jangka pendek atau strategi politik penciraan. Selamat membaca.
No comments:
Post a Comment