Sunday, June 22, 2014

Menanti Implementasi Pancasila

Jawa Pos, 22 Juni 2014
 
Judul Buku: Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan
Penulis: Yudi Latif
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Maret 2014
Tebal: 672 Halaman

Aksi kekerasan fisik yang dilakukan oleh sekelompok orang yang bermaksud memaksakan kehendaknya secara inkonstitusional serta melanggar hukum terhadap pihak dan kelompok lain, akhir-akhir ini marak terjadi dan menghiasi berbagai pemberitaan media massa di Tanah Air.

Salah satunya adalah penyerangan terhadap rumah seorang warga yang menggunakan rumahnya sebagai tempat ibadah di Sleman, Yogyakarta. Bahkan sebuah makam yang ramai diziarahi warga juga menjadi sasaran perusakan beberapa orang yang tidak bertanggungjawab di kota yang sama.

Apapun motif dan dalihnya, pemaksaan kehendak tidak dapat dibenarkan. Terlebih jika berbenturan dengan landasan dasar berbangsa dan bernegara bernama Pancasila. Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

Singkat kata, Pancasila menjadi dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Sehingga pengingkaran terhadap Pancasila dapat dikatakan sebagai pengingkaran terhadap eksistensi Republik Indonesia itu sendiri.

Akan tetapi, tumbuhnya kelompok-kelompok yang secara terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap Pancasila harus disikapi secara serius oleh pemerintah yang berkuasa. Setidaknya menjadi cermin atas pengejawantahan nilai-nilai yang dikandung Pancasila yang luhur tersebut dalam implementasinya sehari-hari.

Faktanya, beragam rezim yang silih berganti berkuasa di negeri ini tidak ada satu pun yang benar-benar mampu mewujudkan nilai-nilai Pancasila secara ideal. Entah karena Pancasila sendiri yang teramat tinggi “terbangnya” sehingga sulit dijangkau, atau justru karena minimnya tingkat keseriusan para penguasa untuk mengimplementasikan daya linuwih Pancasila itu sendiri.

Bahkan, semenjak bergulirnya reformasi 1998, citra Pancasila semakin memudar seiring lebarnya jurang pemisah antara nilai-nilai ideal yang dikandungnya, dengan realitas sosial yang terjadi. Selain itu, pemerkosaan atas Pancasila pada masa Orde Baru, yang menjadikannya sebagai alat represi, memunculkan phobia pada sebagian masyarakat.

Padahal ketika nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut diaktualisasikan dalam perbuatan oleh para pemimpin dan panutan masyarakat, maka selain dapat menjaga wibawa Pancasila itu sendiri, juga dapat menginspirasi banyak orang terutama para pemuda dan pelajar akan nilai-nilai Pancasila secara konkrit.

Upaya itulah yang dicoba dihadirkan oleh Yudi Latif, seorang intelektual yang produktif dalam buku berjudul Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan ini. Sebuah ekspresi kecintaan terhadap ideologi dasar bangsa sekaligus merefleksikan kekhawatirannya atas realitas yang terjadi pada masyarakat dewasa ini yang ternyata jauh dari nilai-nilai yang dikandung Pancasila.

Disusun berdasarkan tema utama yang diusung dalam lima sila dari Pancasila. Yudi mendedah secara mendalam realisasi nilai-nilai dalam tiap tema tersebut dalam konteks berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Urutan butir-butir setiap sila disusun secara sequential, bahwa suatu butir (pokok pikiran) dengan sendirinya secara logis akan diikuti oleh butir lain sebagai konsekuensinya.

Sederet tokoh tidak lupa dihadirkan sebagai contoh pelaksana Pancasila yang dapat dijadikan teladan. Dari kalangan agamawan sebagai mata air keteladanan dalam pengamalan ketuhanan muncul nama-nama seperti; K.H. Hasyim Asyari dan putranya Wahid Hasyim, Ahmad Dahlan, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Hamka, Albertus Sugijapranata, Todung Sutan Gunung Mulia, dan Bhikku Ashin Jinarakkhita. (Halaman 99)

Sila kedua yang disebutnya mengandung visi yang humanis, dengan komitmen besar untuk menjalin pergaulan dunia serta dalam pergaulan antar sesama anak negeri berlandaskan nilai keadilan dan keadaban yang memuliakan HAM, ia menghadirkan sosok seperti Tan Malaka,  Munir, Yap Thiem Hein, Hoegeng, Baharudin Lopa sebagai panutan yang layak diapresiasi.

Berbagai tindakan dan kebijakan yang bertentangan dengan perikemanusiaan seharusnya tidak mewarnai perilaku aparatur negara dalam kehidupan publik. Kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan harus dihapuskan dari perikehidupan berbangsa. Penegakan Hak Asasi Manusia tidak terbatas pada pemuliaan hak politik, melainkan juga hak ekonomi dan budaya. (Halaman 242)  

Sebagaimana sila pertama dan kedua, tiga sila berikutnya diuraikan secara jernih dan dalam. Kemasannya yang apik, ringan dan reflektif membuat pembaca dapat dengan mudah mengikuti tiap tema dan bab yang disajikan.

Sedikit menjadi perdebatan ketika Yudi menyebut nama-nama yang saat ini tengah popular di masyarakat seperti Joko Widodo dan walikota Surabaya, Tri Rismaharini sebagai contoh pemimpin yang menunaikan pertanggungjawaban publik. Mengingat kedua sosok yang disebut tersebut hingga saat ini masih eksis berproses sebagai pejabat publik.

Penyebutan keduanya, berpotensi meruntuhkan kepercayaan pembaca atas obyektifitas Yudi dalam menulis buku setebal 672 halaman ini jika di kemudian hari tokoh-tokoh tersebut melakukan kebijakan dan berperilaku yang kontraproduktif dengan yang ditafsirkannya sebagai pemimpin yang Pancasilais dan bertanggungjawab.

Meski demikian, secara keseluruhan upaya meneguhkan kembali nilai-nilai Pancasila serta menghadirkannya ke tengah masyarakat patut diapresiasi. Terlebih ketika terjadi banyak peristiwa dan kelompok yang secara terang-terangan melakukan penolakan bahkan serangan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara yang telah terbukti mampu menyatukan beragam kelompok menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Setidaknya di masa lalu.     
       

No comments:

Post a Comment