Judul Buku: Nalar Ayat-ayat Semesta
Penulis: Agus Purwanto
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, 2012
Tebal: 480 Halaman
Al-Qur’an memiliki posisi istimewa dalam Islam. Semua
orang yang meyakini keesan Tuhan serta kenabian Muhammad saw. dapat dipastikan
pula meyakini kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an yang nota bene berisi himpunan wahyu yang
diterima nabi terakhir tersebut dari Tuhan.
Dengan kata lain, apapun yang
termaktub dalam al-Qur’an, semua muslim niscaya meyakininya sebagai sebuah
kebenaran absolut. Meski demikian, perbedaan penafsiran atasnya bukanlah hal
yang aneh, mengingat sebagai firman-Nya al-Qur’an diyakini mampu menjawab
berbagai persoalan umat, mulai dari aspek eskatologik, politik, hingga wilayah
saintifik.
Buku berjudul Nalar Ayat-ayat Semesta ini, merupakan salah satu ikhtiar sarjana muslim
dalam menafsirkan al-Qur’an. Ditulis oleh Agus Purwanto, seorang doktor fisika partikel teoretik lulusan Universitas
Hiroshima Jepang, sekaligus seorang pengkaji
al-Qur’an
secara serius. Dengan modal keilmuan yang digelutinya, Agus berusaha menjadikan
al-Qur’an sebagai basis konstruksi bagi ilmu pengetahuan.
Sebagaimana karya sebelumnya yang
berjudul Ayat-ayat Semesta: Sisi-sisi
al-Qur’an yang Terlupakan, karya ini memiliki semangat yang sama yakni
membangun sains dengan paradigma baru nonpositivistik, yakni sains berbasis
wahyu khususnya 800 ayat kauniyah yang terkandung dalam al-Qur’an, artinya
wahyu menjadi bagian dari epistemologi, ontologi, juga aksiologi, atau yang
dikenal dengan sebutan Sains Islam. (Halaman 151)
Terdiri dari delapan bab, penulis
memulai pemaparannya dengan terlebih dahulu menengok pada masa lalu interaksi Islam
dan sains serta mengurai pola interaksi antara keduanya yang di fokuskan dalam
bab pertama. Lima bab berikutnya, ia memaparkan tafsirnya atas ayat-ayat
Kosmologi, Astronomi, Biologi, Kuantum, Estetika dan Teknologi.
Pada setiap pembahasan,
senantiasa di awali dengan melakukan analisa logis atas teks wahyu secara
singkat, sehingga pembaca dapat mengikuti logika penerjemahannya. Selanjutnya,
ia membandingkan penafsiran/penerjemahannya tersebut dengan pengamatan dan
pengetahuan atas alam, melalui nalar sederhana yang relatif mudah dipahami
orang awam.
Agus memberi contoh penerjemahan
atas al-Qur’an surat al-Naml ayat 18. Hampir semua terjemahan, menyatakan bahwa
semut yang berteriak mengingatkan kawanannya agar menghindar dari injakan kaki
Sulaiman dan para tentaranya hanyalah seekor semut. Padahal, menurut Agus, semut
merupakan makhluk yang memiliki kelamin jantan dan betina. Dan dalam konteks
ayat tersebut berjenis kelamin betina, alias Ratu Semut. (Halaman 362-364)
Lantas, apa hebatnya semut hingga
layak menjadi nama salah satu surat dalam firman-Nya ? Dengan mengutip Majalah Rider’s Digest, Agus menyodorkan
keistimewaan semut dibandingkan dengan hewan-hewan lain. Antara lain, komunitas
semut mempunyai sistem atau struktur kemasyarakatan lengkap, beserta pembagian
tugas masing-masing.
Gaya pemaparan yang sama, akan
kita temukan dalam semua subtema yang menjadi bahasan. Misalnya Agus
menafsirkan ayat-ayat berhubungan dengan penciptaan Langit dan Bumi atau teori big bang, tentang besi dan evolusi
bintang, struktur ruang dan waktu, posisi Bumi dalam semesta raya, struktur
interior Bumi, gempa dan tsunami, wajah Bulan, Langit dan hiasannya, Wedang
Jahe sebagai minuman di Syurga, tentang asimetri dan posisi Ka’bah, dan lain-lain.
Sebagai konstruksi Sains Islam
yang menjadikan wahyu sebagai basis epistemologinya, Agus berkeyakinan bahwa
penguasaan atas bahasa Arab menjadi sebuah keniscayaan. Mengingat bahasa Arab
sebagai bahasa al-Qur’an memiliki pesan-pesan yang spesifik dalam setiap huruf,
suku kata, atau kata dalam setiap kalimatnya. Sehingga ketidakpahaman pada
bahasa Arab berakibat pada ketidakutuhan dalam memahami al-Qur’an dan Islam.
(Halaman 128)
Dengan demikian, tegaknya konstruksi
Sains Islam jelas memerlukan waktu yang panjang serta kesabaran dan ketekunan.
Menumbuhkan kembali kecintaan komunitas muslim terhadap sains merupakan langkah
pertama yang harus dilakukan. Sebagaimana kecintaan terhadap al-Qur’an dan
bahasa Arab sebagai fondasi utamanya.
Menjadikan penemuan saintifik
yang cepat berubah dan terus terbarui sebagai penguji rasionalitas kitab suci
sangatlah riskan. Mengingat apa yang dikatakan ilmuwan hari ini, bisa jadi esok
lusa akan berubah sebagaimana konsep bentuk Bumi sebelum dan setelah era
Galileo. Akan tetapi, mempelajari dan memahami al-Qur’an sehingga memiliki
kontribusi lebih nyata bagi kehidupan saat ini sangatlah penting, bahkan
diperintahkan.
Menjelajahi lembar demi lembar
buku setebal 480 halaman ini membawa pembaca pada “realitas lain” yang
ditawarkan al-Qur’an, yakni muatannya yang bersifat kauniyah yang selama ini kerap terabaikan dan kalah
popular dengan dengan ayat-ayat bernuansa eskatologis dan ubudiyah. Hasilnya,
karya ini tidak menghadirkan al-Qur’an sekedar berisi katalog atau daftar
fasilitas setelah kematian, melainkan al-Qur’an yang yang berbicara dalam
realitas kekinian.
waaah, keren banget ini mas...
ReplyDeletedimuat dimana?
yang ini dimuat di blog ini saja mbak :-)
ReplyDelete