Judul Buku: Melukis Islam; Amal dan etika Seni Islam di Indonesia
Penulis: Kenneth M. George
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Maret 2012
Tebal: 246 Halaman
"Buat
saya, agama memiliki dua wajah: Ada wajah dalam bentuk ajaran agama. Tapi, ada
juga wajah dalam bentuk seni, wajah budaya, tempat hidup saya mendapatkan
ketenangan dan tempat saya dapat mempelajari Islam." (A.D. Pirous)
Demikian ungkapan Abdul Djalil
Pirous, seorang maestro seni rupa Islam Tanah Air yang lahir pada hari Jumat 11
Maret 1932 di Meulaboh, Aceh, perihal keyakinan yang dianutnya ihwal dunia seni
rupa. Sebagaimana yang dipaparkan dalam buku berjudul lengkap Melukis
Islam; Amal dan etika Seni Islam di Indonesia ini, yang ditulis oleh Kenneth
M. George, seorang profesor Antropologi Budaya Universitas Wisconsin,
Amerika.
Lahir di tengah keluarga
bangsawan Aceh pada tanggal 11 Maret 1932,
ayahnya, Mouna “Pirous” Noor Muhammad, meminta Fakih Nurdin, sang guru
agama keluarga, sebuah nama untuk sang bayi yang kemudian memberinya nama Abdul
Djalil. Sedangkan nama Pirous berasal dari silsilah sang ayah yang merupakan
cucu pedagang Gujarat, India, dan mendapat julukan Piroes karena tanda lahir
istimewa berwarna biru pirus di lengan kirinya. (Halaman 28)
Meski demikian, sang Ibu yang
bernama Hamidah dan Zainal Arifin, sang kakak-lah yang mendorong Pirous terjun
ke bidang seni. Sedangkan sang ayah justru berpandangan bahwa seni bertentangan
dengan Islam. Seni dianggapnya gangguan yang bisa mengalihkan perhatian dari
hal-hal yang lebih penting, sedangkah Hamidah melihat seni sebagai bagian dari
kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, pandangan sang ibulah yang dianut Djalil.
Pada 1958, dalam usia 18 tahun,
Pirous meninggalkan Aceh menuju ke Kota Medan untuk bergabung dengan kakanya
dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
menengah Atas (SMA) kelas satu. Selain bersekolah, ia juga bekerja dengan cara
menggambar. Reputasinya dibuktikan dengan menjuarai lomba gambar pelajar
Sumatera Utara.
Pirous akhirnya memutuskan pergi
ke Bandung, untuk menimba ilmu di bagian Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung
(ITB), dengan salah seorang pembimbingnya adalah seniman kubistis Belanda
bernama Ries Mulder. Saat ini, pertarungan ideologis perihal arah jagat seni
Indonesia tengah sengit terjadi antara kalangan realisme sosialis (Lekra),
modernis borjuis dari humanis universal, dan kalangan Islam. Pirous muncul
dengan tidak terpengaruh dengan segala perdebatan tersebut.
Pirous sangat yakin bahwa
identitas estetik Indonesia terletak dalam peradaban dan budaya Islam. Dengan
itu, ia kemudian memulai mengeksplorasi dan pemulihan estetika “Islam” puluhan
tahun lamanya. Dengan kata lain, persinggungannya dengan seni rupa Barat justru
membuat Pirous menemukan identitas keindonesiaan dengan unsur nasionalisme,
agama, etnisitas, dan wawasan global yang dimilikinya.
Sebagaimana dikatakan oleh Abdul
Hadi W.M. dalam pengantarnya, kaligrafi memang bukan mimesis dari alam atau
dunia objek-objek; begitu pula geometri, dan dalam jenjang tertentu, arabesque. Kaligrafi atau khat benar-benar ciptaan manusia, hasil
pencapaian akal-budi manusia. Ia adalah induk budaya baca-tulis, yang sangat
dianjurkan oleh Kitab Suci. Tidak mengherankan jika kaligrafi kemudian tampil
sebagai simbol utama seni rupa Islam.
Buku ini
mencoba membedah sosok Abdul Djalil Pirous dengan cara mensenyawakan pendekatan
antropologis dan sejarah seni. Memulainya dengan mengulas latar belakang
kehidupan sang maestro seni rupa Islam ini dari masa kecilnya di Aceh,
mengenyam seni rupa pendidikan modern, hingga menjadi salah seorang perintis
seni rupa Islam di Indonesia.
Sebagaimana
dikatakan oleh penulis buku ini, karya-karya Pirous merupakan suatu bentangan
besar kanvas kekuatan-kekuatan social dan cultural global. Kekuatan-kekuatan
tersebut dihasilkan dari percampuran agama, seni, nasionalitas, dan
kedirian.(halaman 5) Kendati demikian, buku ini bukanlah buku pegangan tentang Islam,
atau tentang al-Qur’an, melainkan buku yang menyajikan potret mengenai cara
gagasan dan pendirian islami dapat mewarnai dunia kehidupan eksperiensial dan
ekspresif orang beriman, dan menemukan salurannya di bidang seni.
Buku ini
tidak bertolak dari Islam versi ideal yang ditanamkan melalui gagasan-gagasan
para ahli teologi dan hukum islam, atau dari “seni Islami” versi ideal. Alih-alih
demikian, buku ini bertolak dari perjumpaan duniawi, dan melihat jerih payah
sang seniman yang bersifat praktis dan sehari-hari dalam improvisasi dan
penjelajahan etis, estetis, dan spiritual. Atau sebagaimana yang diutarakan
penulisnya, melukiskan Islam yang agak berbeda dengan mereka yang melihat agama
ini sebagai kekuatan atau tradisi digdaya yang secara kaku mendikte pandangan
dunia, subjektivitas, dan pilihan hidup para pengikutnya.
http://oase.kompas.com/read/2012/06/26/00551219/Maestro.Seni.Rupa.Islam
No comments:
Post a Comment