Wednesday, March 7, 2012

Antara HAM, Agama dan Kebudayaan

Harian Jogja, 8 Maret 2012

Judul Buku: Hak-hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2011
Tebal: 159 Halaman

Hak asasi manusia (HAM) ibarat mantra yang kerap dirapal bibir para aktivis maupun elit politik di Indonesia, namun mantra tersebut sepertinya belum terbukti keampuhan dan kemanjurannya untuk mengejawantah dalam realitas kenegaraan dan kemasyarakatan.

Hal ini terbukti dengan masih berjibunnya kasus pelanggaran atas hak asasi manusia yang melanda negeri ini, sebut saja yang masih hangat jadi pembicaraan adalah kasus Mesuji di Sumatra, kasus Bima di Nusa Tenggara Barat, dan pembakaran pesantren Syi’ah di Madura.

Ironisnya, hambatan penegakan HAM tidak hanya disebabkan sikap pemerintah yang terkesan setengah hati mengimplementasikannya, tetapi ide HAM juga kerap menimbulkan polemik ketika berhadapan dengan kebudayaan, agama, dan masyarakat yang disebabkan adanya stigmatisasi dan tematisasi bahwa HAM hanyalah produk Barat yang tidak sesuai dengan kebudayaan masyarakat setempat.  

Padahal, semenjak dideklarasikan pada 10 Desember 1948 lalu, hampir semua negara di planet bumi ini mengakui HAM sebagai bagian hakiki konstitusi mereka. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, sebuah sistem nilai menjadi universal. Karena HAM merupakan aspirasi semua kebudayaan untuk melawan represi, diskriminasi, dan marginalisasi.  

Fakta inilah yang hendak digali oleh buku berjudul Hak-hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan ini. Terdiri dari enam tulisan yang merupakan hasil penelitian seorang filosof Indonesia, F. Budi Hardiman, selama lebih dari satu dasawarsa. Terhimpun dalam satu tema besar; polemik antara HAM dengan agama dan kebudayaan.

Pada ranah agama, polemik kerap muncul ketika memperbincangkan gagasan HAM dengan Islam, sebagai sebuah agama. HAM seharusnya tidak asing bagi kultur manapun termasuk Islam, karena jika demikian maka klaim universalitas nilai yang terkandung dalam HAM dapat dipatahkan. Artinya HAM hanya berlaku pada wilayah kultur tertentu yang cocok dengan tumbuh kembangnya, dalam hal ini kultur Barat.

Memang, dari tradisi pemikiran Barat-lah konsep-konsep kunci yang membentuk rumusan HAM lahir, seperti; person, individu, otonomi, hak-hak kodrati, dan lain sebagainya. Konsep-konsep tersebut pada dasarnya diadopsi dari kultur Kristiani Barat, yang sulit ditemukan dalam tradisi-tradisi lain. Ide hak-hak kodrati yang tak dapat dialienasikan, juga berasal dari agama Kristen dan filsafat Stoa.

Meski demikian, HAM merupakan konsep yang sama sekali modern dan bahkan tak jarang dianggap sebagai antikristen dan sekularistis. Ide HAM Barat sebagaimana yang terlihat pada model Prancis, Amerika, dan akhirnya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dari PBB tidak sekalipun mempersoalkan gambaran manusia. Kecuali manusia sebagai individu yang bebas, setara dan menentukan dirinya sendiri, termasuk peralihan agama.

Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu resistensi di kalangan Islam, sehingga menganggap HAM sebagai produk sekularisme dan liberalisme Barat. Puncaknya, Dewan Islam Eropa (Islamic Council for Europe) kemudian memaklumkan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Islam pada tanggal 19 September 1981.             

Adanya kecurigaan pasca kolonial yang meyakini bahwa HAM adalah sebuah konsep dari Barat yang eurosentris dan tidak cocok untuk masyarakat lain, merupakan salah satu kendala untuk penegakan HAM. Persepsi tersebut diperkuat dengan sikap arogansi negara-negara Barat yang kerap menggunakan isu HAM sebagai alat penekan untuk memaksakan kepentingannya ke negara-negara lain.  

Selain itu, adanya anggapan bahwa HAM bertentangan dengan agama atau dengan “hak-hak Allah” merupakan tantangan lain penegakan HAM. Di tengah kebangkitan agama-agama, terdapat sikap ambivalensi terdapat HAM; satu sisi dianggap sebagai sebuah sistem nilai yang dapat melindungi individu dan kelompok dari teror dan radikalisme, tetapi di lain pihak ia dianggap sebagai sistem nilai sekuler yang sulit didamaikan dengan agama.

Buku setebal seratus lima puluh tujuh halaman ini, berusaha memetakan lima topik polemik seputar HAM; polemik yang berlangsung dalam diskursus filosofis Barat antara kubu liberalisme dan republikanisme, tentang asal-usul historis HAM, bersangkutan dengan subyek HAM, HAM dalam konteks-konteks kebudayaan non-Barat, khususnya Asia, dan konsep antara hak dan kewajiban.       

Simpul utama yang melandasi buku ini adalah bahwa tuntutan untuk melindungi manusia dari pengalaman-pengalaman negatif tidak boleh direlatifkan, meski dengan dalih-dalih kekhasan agama atau kebudayaan sekalipun; sebaliknya, agama dan kebudayaan yang berbeda-beda seharusnya mendukung tuntutan etis universal tersebut.

Selain itu, hak-hak asasi manusia hanyalah semacam bendungan kecil -namun sangat diperlukan- untuk menghindarkan manusia dari gelombang peristiwa-peristiwa negatif sebagaimana terjadi pada masa lalu. Dengan demikian, HAM berfungsi sebagai proteksi yang dihormati oleh semua bangsa dunia.   

No comments:

Post a Comment