Monday, March 21, 2011

Hibridisasi dalam Kisah Fantasi Modern

Judul Buku: The Iron King
Penulis: Julie Kagawa
Penerjemah: Angelic Zaizai
Penerbit: Kubika
Cetakan: Pertama, Desember 2010
Tebal: 462 Halaman

J.K. Rawling bisa jadi merupakan pendongeng terpopuler saat ini. Cerita Harry Potter yang dikarangnya berhasil merebut hati jutaan pembaca dari berbagai penjuru dunia. Kisah mengenai keberadaan dunia sihir yang pararel dengan dunia Muggle (manusia biasa) ini bahkan ketika diangkat ke layar lebar pun mendapat apresiasi luar biasa dari penonton.

Meski hanya sekedar sebuah cerita, Harry Potter tetap menyisakan tanda tanya besar, yakni jika para penghuni di dunia sihir sedemikian hebat kemampuannya, mengapa mereka tidak melakukan invasi ke dunia manusia? Inilah salah satu perbedaan antara Harry Potter karya J.K. Rawling dengan The Iron King ini, meskipun sama-sama mengakui keberadaan “dunia lain”.

Berkisah tentang seorang remaja bernama Meghan Chase. Sejak kecil tidak ada hal istimewa dalam hidupannya, kecuali hilangnya secara misterius orang yang dianggap ayah kandungnya, tepat di pinggir kolam renang belakang rumah mereka. Pasca peritiwa tersebut sang ibu kemudian memutuskan untuk migrasi dan menikah lagi. Hingga kini, saat usianya menjelang enam belas tahun Meghan tinggal bersama Ibu kandung beserta Luke ayah tiri dan Ethan adik tirinya.


Roda hidupnya mulai berubah secara drastis ketika terjadi peristiwa Changeling, yaitu proses pertukaran antara anak manusia, dalam hal ini terjadi pada Ethan adik tirinya dengan anak Faery dari dunia Nevernever. Sebuah dunia yang mendapat energi dari mimpi dan imajinasi para mortal (manusia). Penculikan ini diketahuinya dari mulut Robbie, satu-satunya sahabat yang ia miliki. Belakangan Robbie mengakui ia merupakan sebangsa Faery dengan nama asli Goodfellow alias Puck. Ia diutus oleh rajanya, Oberon, untuk menjaga Meghan dari ancaman kejahatan yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Oberon.

Walhasil, demi menyelamatkan Ethan, Meghan harus berani melakukan perjalanan berbahaya, memasuki dunia Nevernever dengan Puck yang menjadi pemandunya. Di dunia para faery ini, terdapat dua kerajaan besar yang tengah bersaing, Istana Terang dengan rajanya Oberon dan Istana Gelap yang dipimpin Ratu Mab. Mengingat Puck dari Istana Oberon, maka satu-satunya kecurigaan dialamatkan kepada Istana Mab yang dikenal jahat sebagai penculik Ethan.

Ternyata pencarian ini tak sesederhana yang dibayangkan, berkali-kali nyawa Meghan nyaris celaka oleh para penghuni Fearyland, sebutan lain untuk Nevernever. Ia bahkan hampir disantap hidup-hidup oleh kawanan Goblin. Namun Nevernever bukan sekedar menyambut Meghan dengan suguhan marabahaya, tetapi juga cinta dan persahabatan. Hal ini terbukti, selain Puck yang setia, dalam misinya mencari dan meyelamatkan Ethan ia dibantu oleh Grimalkin, kucing yang dapat bicara, bahkan hatinya pun tertambat pada salah satu feary bernama Pangeran Ash, putra bungsu Ratu Mab.    

Fiksi yang dibangun Julie Kagawa ini seolah hasil hibridisasi dari Harry Potter, Lord of The Ring, The Chronicles of Narnia, dan A Midsummer Night’s Dreams sekaligus. Keberadaan dua dunia yang berbeda secara pararel dengan trod sebagai penghubung mengingatkan kita pada Harry Potter-nya J.K. Rawling. Pengakuan terhadap Eksistensi makhluk-makhluk “aneh” seperti Ogre, Goblin dan setting yang dipentaskan sepadan dengan Lord of The Ring-nya Tolkien. Binatang-binatang yang bisa berbicara layaknya manusia sangat kental dengan nuansa The Chronicles of Narnia-nya C.S. Lewis, sedangkan nama-nama seperti Oberon, Puck dan Ratu Titania secara gamblang menegaskan keterpengaruhan dari A Midsummer Night’s Dreams karya William Shakespeare.   

Namun Kagawa tak sekedar melakukan hibridisasi, ia mampu membangun ceritanya sendiri dengan dahsyat dan memikat. Bahkan tidak seperti Rawling yang mengabaikan alasan keberadaan dunia sihir selain dunia manusia, Kagawa melakukan rasionalisasi atas hal itu. Ia misalnya mengungkap kenapa kaum feary tidak melakukan invasi terhadap para mortal yang disebabkan kemampuan bertempur, bahkan kehidupan mereka akan melemah dan binasa dalam dunia manusia yang dipenuhi logam.

Di sisi lain, cerita dalam buku ini penuh dengan metafora dan simbolisasi. Rasionalitas dan logika peradaban modern dalam bentuk teknologi, diandaikan sebagai sebuah ancaman bagi dunia Nevernever yang lahir buah rasa dan imaji manusia. Akan saya petikkan kata-kata Grimalkin kepada Meghan ihwal Nevernever yang diambang sekarat: “Mortal tak percaya pada apa pun selain ilmu pengetahuan. Bahkan anak-anak pun terpengaruh. Mereka mencemooh cerita-cerita lama dan lebih tertarik pada perangkat terbaru, Komputer atau video game. Mereka tak lagi mempercayai monster atau sihir. Ketika teknologi mengambil alih dunia, keyakinan dan imajinasi memudar, dan begitu juga kami” (hlm. 236).

Hal ini dikarenakan prinsip ilmu pengetahuan adalah untuk menjadikan semua hal dapat dijelaskan dan logis. Faery dan Nevernever bersifat magis, tidak logis dan tidak dapat dijelaskan, dengan demikian ilmu pengetahuan tidak dapat membuktikan keberadaan faery. Sehingga menurut ilmu pengetahuan faery tidak ada, dan ketidakpercayaan seperti itu berakibat fatal bagi eksistensi faery.

Menyusuri petualangan Meghan yang dituangkan dalam buku setebal empat ratus enam puluh dua halaman ini, bukan sekedar menawarkan eksotisme dunia faery yang mengundang decak kagum imajinasi pembaca lengkap dengan makhluk-makhluk aneh di dalamnya, bukan pula mengumbar kengerian maupun suspense bagi pembaca. Namun nilai-nilai luhur kekeluargaan yang perankan oleh Megan Chase maupun persahabatan dari Grimalkin, Puck dan Pangeran Ash menjadikan novel ini bukan sekedar menyuguhkan hibridisasi dalam kisah fantasi modern, namun penuh muatan moral yang hendak ditularkan. Terlebih terdapat gugatan yang dilayangkan terhadap absurditas peradaban modern, membuat buku ini memiliki nilai tambah sebagai sebuah bahan permenungan bagi pembaca.      

No comments:

Post a Comment