Tuesday, January 18, 2011

Segenggam Asa atas Indonesia

Judul Buku: Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa
Penulis: Jimmy B. Oentoro
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: 413 halaman

17 Agustus 2010 lalu, tepat Republik Indonesia merayakan dirgahayu kemerdekaannya yang ke-65. Untuk ukuran manusia, usia tersebut termasuk masa senja dimana ia bisa berleha dan pensiun menikmati hasil. Namun dalam konteks nation-state, tidaklah tergolong tua, walaupun juga tidak dapat dikategorikan seumur jagung. Pada titik ini, idealnya sebuah negara telah memiliki catatan atas capaian-capaian yang telah diraih atau minimal memiliki agenda konkrit yang menjadi pijakan kemana arah bangsa ini ke depan.

Sayangnya hal demikian nampaknya masih sekedar angan-angan utopis. Menilik dinamika Indonesia kini yang penuh tragedi. Bukan hanya disebabkan oleh banyaknya bencana alam yang seolah sedang mengantri berdesakan untuk menampilkan diri. Namun juga fenomena runtuhnya tatanan sosial masyarakatnya yang selama ini diagungkan sebagai ciri watak bangsa berbudaya adiluhung seperti gotong royong dan toleransi.

Kondisi demikian semakin diperparah dengan perilaku elit politiknya yang seolah-olah tengah berlomba untuk menginjak-injak pasal-pasal yang termaktub dalam dasar negara dengan menghalalkan segala cara dalam menggapai maupun melanggengkan kekuasaan.

Bagaimana sejatinya Indonesia dewasa ini? Mengapa di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi dengan kekayaan alam yang terhampar disetiap jengkal tanah maupun lautnya ini, kemiskinan begitu ganas menggerogoti rakyatnya berbanding lurus dengan kerakusan elitnya yang membiasakan korupsi layaknya makan nasi beserta rengekan fasilitas mewah yang dibiayai oleh uang rakyat tanpa diiringi prestasi yang berarti? Adakah setitik cahaya dan segenggam asa yang dimiliki Indonesia dalam menyongsong masa depannya? Itulah pertanyaan yang hendak dikuak dalam buku ini.

Mengusung judul Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa: Membangun Bhineka Tunggal Ika di Bumi Nusantara. Buku ini berisi kumpulan bunga rampai dua puluh delapan cendekiawan lintas disiplin keilmuwan namun memiliki concern yang sama besar atas negeri yang dicintainya. Sebagaimana yang tertera pada judul besarnya, buku ini hendak menegaskan kembali tentang sosok Indonesia yang saat ini seolah-olah identitasnya terkoyak akibat tarik menarik kepentingan berbagai kalangan yang ada di dalamnya.

Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan yang terbentang luas dari ujung barat Sumatera hingga pegunungan Papua. Di dalamnya ditaburi pulau-pulau dengan beragam ukuran. Secara demografis Indonesia memiliki ribuan bahasa daerah dan ratusan suku dengan ragam budayanya yang beraneka. Semuanya harus diterima sebagai kenyataan bangsa Indonesia. Keaneka-ragaman tersebut ibarat pedang tajam bermata dua yang mampu menebas leher musuh tetapi juga dirinya. Menjadi kekuatan dan berkah atau justru malapetaka bagi kebhinekaan yang menjadi pondasi bernegara.

Terbentuknya Indonesia bukan didasarkan sekedar atas alasan golongan, ras, suku maupun agama yang sama. Namun justru oleh adanya persamaan pengalaman kolektif sejarah yang sama berupa pengorbanan yang telah dialami dan penderitaan yang telah dirasakan di masa lalu. Negara ini pada dasarnya dibangun dengan kesadaran para pemimpinnya akan sebuah kepercayaan bahwa dalam sebuah negara yang majemuk hanya mungkin dipersatukan dengan ikrar yang meneguhkan persatuan. Disinilah pentingnya Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai alat pemersatu tersebut.

Dengan demikian, bagi Indonesia yang merupakan negara paling plural di dunia, pluralisme merupakan prasyarat eksistensinya. Sayangnya realitas ini kini mendapat tantangan dari segelintir kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu untuk memaksakan kehendaknya terhadap agama maupun kelompok yang berbeda. Sedangkan keberadaan sumber daya alam yang melimpah justru lebih banyak dikuasai asing. Rakyatnya dibiarkan tetap dalam keadaan miskin. Sehingga perahu besar bernama Indonesia ini terancam pecah dan karam.   

Daftar panjang keterpurukan Indonesia tidak berhenti sampai disitu, para Tenaga Kerja Indonesia yang berada di negeri asing kerap mendapatkan perlakuan buruk disiksa dan diperlakukan layaknya seorang budak. Sedangkan pemerintahnya hanya memberi perhatian sebatas menjuluki sebagai pahlawan devisa. Meskipun manusia Indonesia merupakan jenis yang pantas menjadi kesebelasan dunia, tak urung hal tersebut membuat trenyuh dan miris bagi siapapun. 

Disinilah posisi penting buku ini. Tidak sekedar menghembuskan angin pesimisme, namun justru layaknya pelita yang menerangi dan membimbing gelapnya masa depan Indonesia dengan optimisme yang diusungnya. Kehadirannya juga membawa misi menjaga akal sehat Indonesia yang tengah sakit terancam stroke.  

Indonesia Satu dimaksudkan sebagai komitmen bersama, melalui Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika untuk bersatu membangun kekuatan dalam keberagaman. Indonesia Beda merupakan realitas faktual yang memperkaya kehidupan berbangsa. Sedangkan Indonesia Bisa dimaksudkan sebagai keyakinan para kontrbutor buku ini bahwa Indonesia mampu mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa: menuju Indonesia Jaya.   

Sehingga buku setebal empat ratus tiga belas halaman ini dapat dikatakan sebagai suara profetik dari Tuhan atas Republik Indonesia. Keberadaannya diharapkan mampu menggugah siapapun, terutama pengambil kebijakan di Republik ini dalam mengayuh sauh bangsa. Dengan potensi besar yang ada, seharusnya dapat membawa perubahan ke arah lebih baik dari saat ini. Jika mereka memiliki responsibilitas layaknya seorang pemimpin.  

Karena, meski didedikasikan sebaga kado ulang tahun emas Jimmy B. Oentoro, namun di dalamnya mengupas tuntas kegelisahan para penulisnya atas segala problematika yang menyelimuti Republik Indonesia dewasa ini. Namun kegelisahan tersebut diiringi dengan tawaran-tawaran yang solutif sehingga bermanfaat bagi siapapun yang membacanya, juga dimaksudkan sebagai upaya menyemaikan benih segenggam asa atas Indonesia masa depan. Sehingga diharapkan mampu membawa Indonesia ke posisi paling terhormat di pentas dunia.     

No comments:

Post a Comment