Judul Buku: Emong, Among, Pamong: Visi Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara
Penulis: Bartolomeus Samho
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2013
Tebal: 115 Halaman
Nama aslinya adalah Soewardi Surjaningrat yang lahir pada hari Kamis
Legi tanggal 2 Puasa 1818 atau tanggal 2 Mei 1889. Ayahnya adalah Kanjeng
Pangeran Harjo Surjaningrat, putra dari Sri Paku Alam III dengan permaisuri
kerabat keraton
Yogyakarta. Dengan demikian, secara genealogis ia adalah seorang ningrat.
Akan tetapi, sosoknya dihormati oleh segenap lapisan masyarakat
Indonesia sehingga tercatat dalam tinta emas sejarah bangsa bukan karena gelar
akademis maupun alasan genealogis tersebut, melainkan karena integritas,
totalitas, loyalitas dan komitmennya untuk memerdekakan bangsa dari berbagai
situasi tiranik.
Buku
berjudul lengkap Emong, Among, Pamong: Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara ini, berusaha menghadirkan gagasan dan
pemikiran dari sosok pemimpin, pejuang dan pendidik sejati bangsa Indonesia
yang dikenal dengan semboyan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani tersebut dengan interpretasi penulisnya.
Kepribadiannya yang rendah hati dan merakyat, membuat ia mengambil
keputusan pada tanggal 23 Februari 1928 atau tepat berusia 40 tahun untuk
mengganti nama dengan yang lebih “merakyat”, yakni Ki Hadjar Dewantara. Sejak
itu pula ia tidak menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Tujuannya
agar ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Karena pemikiran kritisnya yang tertuang dalam surat kabar de
Express Ki Hadjar harus rela menjalani hokum buang (internering) ke Pulau
Bangka. Hukuman tersebut kemudian dialihkan ke negeri Belanda setelah Ki Hadjar
bersama dua sahabat dekatnya dalam Tiga Serangkai; E.F.E Douwes Dekker dan
Tjipto Mangunkusumo mengajukan permohonan pemindahan. (Halaman
42)
Kiprah dan pengabdiannya tercatat dalam ranah politik, jurnalistik dan
pendidikan. Pengalamannya yang terasah dalam ketiga ranah tersebut membuatnya
semakin yakin bahwa kesadaran generasi muda Indonesia akan hak-haknya merupakan
aspek yang signifikan dan mendasar bagi upaya memperjuangkan kemerdekaan.
Berbekal pengalamannya yang luas tentang pendidikan, mantan anggota
radikal Indische Partij itu berani mengkritisi sistem
pendidikan yang dikembangkan dan dilaksanakan penjajah sebagai sistem
yang tidak tepat untuk orang-orang Indonesia. Menurutnya, sistem
pendidikan Belanda cenderung merugikan mentalitas, prinsip, dan identitas
rakyat jajahan.
Karena titik sentuh sistem pendidikan penjajah Belanda bukan demi
membangun mentalitas generasi muda Indonesia untuk menyadari kodrat
kemanusiaannya, tetapi demi membentuk mereka menjadi kaum elit pribumi yang
menguntungkan bagi pihak penjajah sendiri.
Bagi Ki Hadjar, sekolah-sekolah bentukan pemerintah kolonial semisal
HIS (Hollandsch-Inlandesch School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs),
OSVIA (Opleidingscholen voor Inlansche) dan STOVIA (School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen) tidak lebih sekedar sarana penjajah untuk mencitrakan diri
sebagai pemerintah yang penuh perhatian dan peduli kepada rakyat jajahannya.
(Halaman 68)
Selain itu, sistem dan model pendidikan dan pengajaran yang
dikembangkan di sekolah-sekolah penjajah Belanda tidaklah cocok untuk golongan
elit bumiputera karena praksisnya mengabaikan secara sengaja apa yang menjadi
ciri khas budaya Timur.
Konten pelajaran-pelajaran (bacaan) yang diberikan, misalnya, baik
secara implisit
maupun eksplisit merupakan upaya Pemerintah Kolonial mengindoktrinasi generasi
muda bumiputera secara sistematis agar mereka melupakan dan merendahkan diri
dan martabat kemanusiaan dan bangsanya sendiri.
Melalui program-program dan pelajaran di sekolah, Belanda berupaya
mengalihkan perhatian golongan bumiputera agar tidak melakukan pemberontakan
dan tidak mendirikan organisasi atau partai politik yang menentang pemerintahan
penjajah. Semua anak muda yang bersekolah dibentuk sedemikian rupa
mentalitasnya agar mereka sedapat mungkin tidak menjadi pemimpin pergerakan
bagi kemerdekaan bangsanya, tetapi menjadi pegawai bagi kepentingan Pemerintah
Kolonial.
Dengan kesadaran tersebut, Ki Hadjar akhirnya berinisiatif mendirikan
sekolah tandingan dengan nama Perguruan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di
Yogyakarta. Sebuah sekolah yang berusaha memadukan pendidikan gaya Eropa yang
modern dengan seni-seni Jawa Jawa tradisional serta mengajarkan rasa kebangsaan
kepada peserta didik.
Salah satu prinsip dasar yang dianut Taman Siswa dan Ki hadjar adalah
bahwa tak satu golongan atau ras manusia pun di planet bumi ini yang pantas
dihina, direndahkan dan dijajah oleh golongan atau ras lainnya. Prinsip
tersebut termanifestasikan melaui pendidikan dan pengajaran yang
humanis-nasionalis dan merangkul semua golongan. (Halaman
74)
Sedangkan
metode yang cocok untuk membentuk kepribadian generasi muda di Indonesia
menurutnya adalah yang sepadan dengan makna paedagogik, yakni Momong, Among
dan Ngemong yang berarti pendidikan itu bersifat mengasuh.
Ki Hadjar begitu yakin bahwa bila kemerdekaan adalah hal terpenting
dalam kehidupan manusia maka pendidikan adalah cara yang tepat dan manusiawi
untuk mencapai atau memilikinya. Dalam pengertian itu pula, pendidikan dapat
dimengerti sebagai wahana menuju kemerdekaan kemanusiaan dalam pengertian yang
luas.
No comments:
Post a Comment