Monday, April 8, 2013

Pelita bagi Indonesia

Kompas.com, 9 April 2013

Judul Buku: Indonesia Jungkir Balik
Penulis: Adhitya Mulya, dkk.

Penerbit: Noura Books

Cetakan: I, Desember 2012

Tebal: 177 Halaman


Menyaksikan “wajah” Indonesia dewasa ini, terutama melalui media televisi, nyaris tidak ada yang membanggakan, bahkan cenderung membuat miris. Betapa tidak, kasus pembunuhan, pemerkosaan, narkoba hingga penyakit kronis bernama korupsi, seolah berdesakan menampilkan negatifitas sosok Indonesia.  


Sedangkan acara “siraman rohani”-nya, kebanyakan diisi para ustad genit dan disaksikan ibu-ibu majelis ta’lim yang lebih mirip cheerleaders. Ustadz-ustadz mudanya, yang mengajari hidup sederhana dan bersabar menghadapi berbagai ujian Tuhan, tetapi kehidupan mereka sendiri kelewat glamour bak gaya hidup orang kaya baru kesurupan.


Celakanya lagi, idiomatik religious-keagamaan seperti “assalamualaikum”, “subhanallah”, “astagfirullah”, insya Allah” atau kalimat-kalimat berbahasa Arab lainnya yang menjadi parameter kesalehan seseorang di permukaan, hanya sekedar tempelan bagi percakapan yang sama sekali tidak memiliki nuansa rohani dan lebih kentara hipokrisi.


Demikianlah salah satu ungkapan kegalauan Fahd Djibran sebagaimana dituangkan dalam buku berjudul Indonesia Jungkir Balik ini. Fahd tidak sendirian, dalam buku yang dikemas secara unik dan menarik ini, ada sembilan penulis lainnya yang menyuarakan unek-unek mereka atas Indonesia dengan segenap problematika. Mereka adalah Adhitya Mulya, Bre Redana, Boim Lebon, Prie GS, Beby Haryanti Dewi, Ainun Chomsun, Iwok Abqary, Muhammad Yusran Darmawan, dan Edhie Prayitno Ige.


Buku yang terdiri dari dua bagian dimana satu bagian dengan bagian lainnya dibuat secara terbalik ini, memaparkan sosok Indonesia yang jungkir balik secara lugas dan apa adanya berdasarkan sudut pandang penulisnya yang beragam serta pengalaman mereka masing-masing. Mulai dari agama, pendidikan, politik, hukum, dan lain-lain.


Adhitya Mulya misalnya, berusaha mengurai benang kusut yang menyebabkan maraknya korupsi di negeri ini. Padahal, seratus persen manusia Indonesia memiliki agama yang nota bene mengharamkan pratik korupsi. Sebaliknya, Swedia yang 23% penduduknya ateis, justru dikenal lebih bersih dari korupsi dan menempati peringkat ketiga dunia, jauh di atas Indonesia yang menempati peringkat ke-100. (Halaman 36)       


Dua solusi ditawarkannya untuk mengatasi tersebut; Pertama, metode pendidikan agama yang harus dibenahi. Agama bukan hanya dipahami sebatas hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga manusia dengan sesamanya. Kedua, mengkaji dan menyaring kembali cerita rakyat, dengan hanya memeberikan cerita yang baik dan bermanfaat.


Pada bagian lain, carut-marutnya pendidikan di Tanah Air juga menjadi perhatian Edhie Prayitno Ige, yang menyimpulkan tidak adanya kesungguhan dari pengelola negeri (pemerintah) sebagai biang kerok persoalan tersebut. Dua puluh persen APBN dan APBD untuk pendidikan lebih banyak digunakan untuk kegiatan “meningkatkan kapasitas” guru.


Padahal, lebih dari separuhnya adalah untuk honor panitia dan uang saku serta konsumsi dan akomodasi panitia. Sedangkan hal yang lebih urgen dibutuhkan dalam pendidikan anak seperti adanya riset mengenai kebutuhan anak untuk kemudian disusun program yang sesuai dengan kebutuhan mereka, malah tidak pernah dilakukan secara serius. (Halaman 11-13)      


Indonesia Jungkir Balik dapat dipahami sebagai Indonesia yang penuh paradoks. Mulai dari yang negatif hingga positif. Kaya secara sumber daya alam, namun miskin secara ekonomi masyarakatnya. Kaya akan kebudayaan dan kearifan lokal, namun lebih menyukai kebudayaan dari luar. Dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan toleran, tapi kerusuhan massa akibat sentimen SARA masih kerap terjadi. 100 persen masyarakatnya beragama, namun korupsi merajalela.


Tak pelak, suara pesismis lebih kerap terdengar jika memperbincangkan masa depan Indonesia. Melihat tanda-tandanya, beberapa kalangan bahkan menyebut Indonesia terancam menjadi negara gagal (failed state). Meski demikian, sebagaimana dikatakan Prie GS, betapa pun ruwet keadaan negara ini, betapa pun mengecewakan perilaku politisinya, namun pintu kebahagiaan selalu terbuka di dalamnya.


Buku setebal 177 halaman ini berusaha menyalakan pelita bagi Indonesia dengan mengobarkan semangat optimisme atas masa depannya kepada pembaca. Paparan, keluh kesah serta kritikan tajam yang terdapat di dalamnya merupakan ekspresi optimisme sekaligus cinta dari para penulisnya terhadap Indonesia saat ini dengan cara menyuguhkan potretnya yang serba kekurangan untuk kemudian melakukan langkah-langkah konkrit untuk bangkit.


Dengan kata lain, karya gotong royong ini mencoba membaca Indonesia dari beragam sudut kebudayaan, ekonomi, padangan politik, serta social dari masing-masing penulisnya yang berbeda-beda. Akan tetapi perbedaan tersebut memiliki satu benang merah yang sama; kecintaan terhadap negeri bernama Indonesia.       



No comments:

Post a Comment