Koran Tempo, 12 Mei 2013
Judul Buku: Biografi Mahfud MD; Terus Mengalir
Penulis: Rita Triana Buadiarta
Penerbit: Konstitusi Press
Cetakan: I, Maret 2013
Tebal: 612 Halaman
Senin, 1 April 2013, pengabdian Mahfud MD pada Mahkamah
Konstitusi yang telah dijalaninya selama lima tahun secara resmi berakhir.
Publik pun menanti kiprah berikutnya pria berkaca mata ini. Maklum saja,
bersama dengan Joko Widodo dan Dahlan Iskan, namanya kerap disebut oleh berbagi
lembaga survey sebagai salah satu kandidat potensial presiden Indonesia tahun
2014.
Namanya mulai dikenal luas masyarakat setelah Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) yang kala itu menjadi Presiden RI mengangkatnya menjadi Menteri
Pertahanan pada tahun 2000. Buku berjudul Biografi Mahfud MD; Terus Mengalir
ini mengupas perjalanan hidup seorang Mahfud MD sejak masa kecil di Madura,
tumbuh dewasa di Yogyakarta, dan menjadi pejabat di Jakarta.
Ditulis oleh Rita Triana Budiarta yang setidaknya
menghabiskan waktu selama lima bulan untuk menyelesaikannya. Dua bulan pertama
dihabiskan Rita untuk melakukan
wawancara secara intensif dengan Mahfud dan mendatangi secara langsung
kampung, rumah, sekolah serta orang-orang sekitarnya. Selebihnya adalah proses
penulisan.
Dari Madura
Hingga Ibukota
Mohammad Mahfud lahir di Sampang Madura pada hari Senin
13 Mei 1957, anak keempat dari pasangan Mahmodin dan Siti Khadijah. Meski bukan
anak pertama, ia adalah anak laki-laki tertua dalam keluarga. Sehingga,
sebagaimana lazimnya dalam tradisi masyarakat Madura, Mahfud memiliki tanggung
jawab paling besar diantara saudara-saudaranya yang lain.
Anak keempat dari tujuh bersaudara ini menghabiskan masa
kecilnya di Kecamatan Waru, Pamekasan dalam suasana politik yang panas dan
penuh ketegangan. Saat itu, kubu Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh banyak
melakukan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap anggota Nahdlatul Ulama (NU)
salah satunya bernama Kyai Jufri.
Akibatnya, gelombang balas dendam pun meletus dan aksi
kekerasan memuncak. Peristiwa berikutnya adalah era represif Orde Baru. Bahkan
kali ini melibatkan sang ayah yang sempat ditahan aparat selama berhari-hari
karena lebih memilih Partai Nahdlatul Ulama daripada Golongan Karya (Golkar).
Untungnya peristiwa tersebut tidak mengganggu seluruh aktivitas belajarnya,
baik yang non-formal di langgar
(musholla) dan pesantren maupun sekolah formal di SDN Waru I.
Lulus dari SD ia berkeinginan masuk ke SMPN 1 Pamekasan,
sayangnya cita-cita tersebut kandas karena sang Ayah menginginkannya bersekolah
di Pendidikan Guru Agama (PGA) yang berjarak sekitar 35 km dari rumah. Di
sekolah inilah justru Mahfud memperoleh nama tambahan “MD” yang diakuinya
membawa lucky. (Halaman 33)
Penyebabnya, nama Mohammad Mahfud ternyata nama pasaran
di PGA. Sampai-sampai ada tiga murid bernama sama dalam satu kelas. Setiap kali
guru menyebut nama “Mahfud”, ketiganya langsung mengacung. Sang guru akhirnya
mengusulkan agar nama ayah disematkan di belakang nama mereka. Mahfud pun
menambahkan nama Modin yang kemudian agar lebih terlihat keren disingkatnya
menjadi MD.
Meski sejak kecil dikenal cerdas dan memiliki rasa ingin
tahu yang besar, akan tetapi ketertarikannya terhadap ilmu hukum dimulai ketika
ia menimba ilmu di Sekolah Guru dan Hakim Islam (SGHI) yang kemudian berubah
menjadi Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta. Sebuah sekolah yang
didirikan untuk memenuhi kebutuhan akan hakim-hakim agama pada saat itu.
Di kota pelajar, ia juga menimba ilmu pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia juga Sastra Arab UGM, lalu melanjutkan studi S2 pada
Ilmu Politik Pascasarjana UGM. Di almamater yang sama ia juga mengambil studi
doktoral dalam Ilmu Hukum Tata Negara. Selain secara akademis, Mahfud juga menggembleng
diri dalam berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ia juga berteman
dengan para intelektual Yogyakarta seperti Amin Rais, Syafi’i Ma’arif dan
Kuntowijoyo.
Barangkali, namanya akan dikenal hanya sebagai pakar
hukum dan guru besar di UII jika saja Abdurrahman Wahid tidak memanggilnya ke
Jakarta untuk menjadi menteri dalam kabinet pemerintahannya yang baru saja
terbentuk. Sayangnya tidak lama dan setelah Gus Dur dilengserkan, Mahfud
memilih bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan oleh
idolanya itu. (Halaman 336)
Setelah itu, berbagai jabatan diembannya seolah tak
terpengaruh perubahan rezim. Setelah menjabat sebagai menteri, Mahfud juga
pernah berkantor di Senayan mewakili PKB, hingga akhirnya terpilih menjadi
ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013.
Dengan kata lain, Mahfud merupakan sosok langka yang
pernah mengisi semua posisi dalam cabang-cabang yang dicetuskan oleh John Locke
dengan trias politica-nya, mulai dari
eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Semua dijalaninya dengan ikhlas dan
penuh dedikasi. Sehingga tidaklah mengherankan jika kini namanya disebut-sebut
sebagai kandidat presiden paling bersih di tahun 2014. (Halaman 605)
Kisah yang Belum
Selesai
Kehadiran buku setebal 612 halaman ini, selain sebagai
upaya mendokumentasikan kisah hidup salah satu tokoh terpopuler Indonesia saat
ini, juga diharapkan mampu memberi inspirasi kepada pembaca di tengah
kelangkaan figur yang dapat dijadikan panutan. Selain itu, pembaca juga akan
diajak menjelajahi dua kultur arus utama Islam di Indonesia, yaitu Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah secara sekaligus.
Mengingat suami dari Zaizatun Nihayati ini, sangat lekat
dengan dua ormas besar di Tanah Air tersebut. Cara belajar agama khas NU
dialaminya di Madura sehingga memberinya bekal materi yang sangat banyak. Akan
tetapi aktualisasinya dibangun di Yogya dan lingkungan Muhammadiyah. Belakangan
ia menjadi karib serta pengikut setia Gus Dur yang nota bene mantan ketua umum PBNU.
Meski demikian, sebagaimana kisah hidup seorang Mahfud MD
yang masih berjalan, demikian pula dengan kisah yang dituliskan mengenainya.
Walhasil, kita pun akan menyaksikan apa yang berikutnya akan tercatat dalam
lembar sejarah hidup penjaga konstitusi yang selalu bicara terbuka dan
sederhana ini.
No comments:
Post a Comment