Judul Buku: Berguru ke Kiai Bule
Penulis: Sumanto Al-Qurtuby, dkk.
Penerbit: Noura Books
Cetakan: I, 2013
Tebal: 275 Halaman
Selama ini,
seolah ada asumsi pada sebagaian besar kalangan muslim Indonesia bahwa
ilmu-ilmu keislaman hanya layak dipelajari di Timur-Tengah, seperti Mesir, Arab
Saudi, dan negara-negara Arab lainnya yang pernah menjadi pusat kebudayaan
Islam seperti Baghdad dan Qum.
Sedangkan
negara-negara Barat di benua Eropa dan Amerika, seperti Amerika Serikat,
Kanada, dan Jerman jangankan menjadi tempat studi Islam, bahkan gambaran umum
umat Islam saat ini saja masih menganggap bahwa belahan dunia tersebut bukan
merupakan tempat tinggal yang ideal bagi mereka.
Alih-alih
menjadi seorang yang taat beragama, orang Islam yang datang ke Amerika akan
luntur keimanannya, tergerus dan tergoda oleh gemerlap kehidupan duniawi, jatuh
ke dalam pergaulan bebas, alkohol, dan obat-obatan terlarang. Sedangkan makanan
yang halal dan masjid untuk sholat berjamaah sulit didapat sebagaimana perempuan
yang mengenakan jilbab sulit mendapat pekerjaan.
Rupanya asumsi
tersebut tidak sepenuhnya benar, setidaknya menurut penuturan Fachrizal Halim,
salah satu kontributor dalam buku berjudul Berguru ke Kiai Bule ini. Menurutnya, stereotif yang terbentuk
saat ini lebih dikarenakan adanya kesalahpahaman yang bersumber dari rasa
curiga umat Islam terhadap nilai-nilai sekularisme yang berlaku dalam
masyarakat Barat, khususnya Amerika. (Halaman 240)
Terlebih kesalahpahaman dan rasa curiga tersebut kemudian dibumbui
dengan romantisme dan rasa superioritas berlebihan umat Islam terhadap
masyarakat ideal Islam masa lalu yang tercermin dalam pandangan bahwa umat
Islam seharusnya hidup dalam masyarakat yang islami dan diatur dalam sistem
pemerintahan Islam.
Faktanya, Ismail Fajrie Alatas justru menemukan kembali khazanah
intelektual Islam di negeri Paman Sam. Tepatnya pada departemen studi Timur
Tengah, University of Michigan. Uniknya, Profesor Bonner, salah satu
pengajarnya, bahkan menggunakan sistem pengajaran yang mirip sekali dengan
tradisi pesantren-pesantren kuno di Jawa, terutama kalangan Nahdlatul Ulama
(NU), yakni sistem sorogan.
Pada saat kelas dimulai, sang profesor akan menunjuk seorang murid untuk
mulai membaca teks yang kita pelajari secara lantang, dan disimak oleh murid
yang lain. Jika terdapat kesalahan dalam pembacaan, baik dari segi makhraj
ataupun pemberian harakat pada teks, dia akan bertanya pada murid mengapa
demikian. Dan jika tidak dapat dijawab barulah Prof. Bonner membeberkan
kesalahan serta koreksinya. (Halaman 80)
Selain itu, tidak sedikit majelis-majelis taklim dan dzikir yang
bertebaran senatero Amerika. Kebanyakan didirikan oleh warga muslim Amerika
yang pernah menimba ilmu di Tarim, Yaman. Setiap minggu mereka mengadakan
pembacaan maulid. Sebuah pemandangan yang meruntuhkan persepsi orang tentang
Amerika Serikat yang penuh seks bebas dan kekerasan sebagaimana terdapat dalam
film-film Hollywood.
Beragam alasan
kenapa para intelektual muda ini lebih memilih untuk menjadi santri para kiai
bule di Barat. Mulai dari adanya beasiswa yang memungkinkan mereka untuk
bersekolah gratis, pengalaman yang baru di negara maju, atau sebagaimana yang
dikemukakan oleh Al Makin, yaitu karena semangat, atau sebagian semangat, dari
kota Muslim zaman klasik, sekarang diwarisi kota-kota Barat.
Di Universitas,
para akademisi terus menerus melakukan riset, berpikir, mengkritisi teori
terdahulu, dan mengeluarkan pendapat baru, seperti tampak dalam dinamika mazhab
Maliki, Syafi’i, Hambali, Hanafi; seperti dinamika Kharijiyah, Qadariyah,
Ahlissunnah, dan Mu’tazilah. Semua masih tetap memegang semangat dinamis, tidak
berhenti seperti kebanyakan negeri-negeri muslim. (Halaman 50)
Kehadiran buku
setebal 275 halaman ini mampu mengajak pembaca menelusuri percikan cahaya
keislaman dalam lorong-lorong peradaban Barat nan jauh di sana. Pergumulan
dengan kultur yang berbeda dengan tempat tiga belas santri ini lahir dan dibesarkan,
tetap bisa berjalan mesra.
Sebagaimana
dikatakan oleh Sumanto Al-Qurtuby dalam pengantar, kehadiran buku ini berangkat
dari sebuah premis dan spirit bahwa jika kita ingin dihargai negara, bangsa,
dan agama lain, amak kita juga harus menghargai negara, bangsa, dan agama lain
itu.
Prinsip saling
menghargai tersebut tentu saja berlaku dimana saja dan bagi siapa saja. Karena
dengan sikap itulah proses dialog yang dapat memperkaya wacana serta wawasan
antar manusia dengan tradisinya dapat terjadi. Sedangkan sikap pongah dan rasa
curiga berlebihan hanya membuat kita teralienasi dari dunia yang terus
bergerak.
mantap.
ReplyDelete