Kompas.com, 10 Februari 2011
Judul Buku: Dialog Peradaban: Untuk Toleransi dan Perdamaian
Penulis: Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda
Penerjemah: Ayumi Shinoki & Urara Numazawa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Desember 2010
Tebal: xxvii + 310 Halaman
Peradaban merupakan fungsi penting kekhalifahan manusia. Progresivitas bagi sebuah peradaban tidak bisa dilakukan hanya dengan menunggu dan berdiam diri. Karena sejatinya peradaban sebuah bangsa merupakan sebuah hasil dialog dengan peradaban di sekitarnya maupun hasil pergumulan dengan peradaban-peradaban sebelumnya.
Karena itu, keterbukaan menjadi kata kunci penting. Tidak ada sebuah bangsa yang memiliki sebuah peradaban tinggi tanpa keterbukaan cara berpikir, mau memberi sekaligus menerima hal-hal baru selagi positif. Karena itu, dialog dan keterbukaan menjadi jalan yang harus ditempuh untuk membangun peradaban dan karakter sebuah bangsa.
Berbagai peristiwa terorisme dan konflik yang mewarnai Dunia, menunjukkan betapa dialog antarperadaban harus menjadi pola komunikasi baru antarwarga dunia. Benturan peradaban memang tak dapat disangkal secara empiris. Namun, warga dunia tak boleh menyerah pada realitas empiris dan harus terus memelihara harapan akan perwujudan perdamaiann abadi.
Dalam konteks seperti inilah, dialog yang dilakukan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Daisaku Ikeda menemukan relevansinya. Dua tokoh ini mempunyai asal-usul kebudayaan dan keyakinan keagamaan yang berbeda. Gus Dur yang berasal dari pesantren merupakan representasi kebudayaan Indonesia dan Islam moderat, sedangkan Daisaku Ikeda merupakan tokoh besar Jepang yang tetap setia dengan tradisi Buddha dan menjadi pemimpin Sokka Gakkai. Keduanya merupakan tokoh otentik yang mewakili kulturnya masing-masing.
Dialog tersebut pada akhirnya didokumentasikan menjadi sebuah buku yang berjudul Dialog Peradaban: Untuk Toleransi dan Perdamaian ini. Sebagaimana yang tertuang dalam judulnya, kehadiran buku ini memang untuk menyebarkan toleransi dan menegakkan perdamaian. Sebagai buah pikir dari dua tokoh dunia dalam bidang perdamaian, buku yang tersusun dalam delapan bab ini penuh dengan percikan pemikiran keduanya sekaligus menunjukkan kepedulian yang tinggi atas terciptanya kedamaian di muka bumi.
Seperti kita ketahui, Dunia saat ini tengah dihadapkan pada segudang permasalahan global, seperti krisis ekonomi dan moneter, pemanasan global, pengembangan dan penyebarluasan senjata nuklir, dan sebagainya. Masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja, melainkan membutuhkan penanganan secara global. Disinilah pentingnya tercipta sebuah dialog multipolar, yang lintas bangsa, negara, ras maupun keyakinan teologis.
Dalam pidatonya pada saat Millenium Summit PBB pada musim gugur 2000, Gus Dur menyampaikan bahwa dialog yang dapat menciptakan wajah manusia tidak memandang perbedaan suku (etnis), budaya atau latar belakang sejarah serta membuka jalan untuk meningkatkan nilai-nilai universal dan komitmen global, budaya perdamaian dan kerukunan umat manusia.
Hal ini diamini Ikeda seraya menambahkan bahwa Untuk mengatasi berbagai masalah berskala global, kita harus memiliki tanggung jawab bersama serta saling tukar pendapat, sehingga ditemukan pemahaman dalam dialog bersama. Bahkan pada tahun 2001, sebagai pintu gerbang menuju abad 21, dicanangkan oleh PBB sebagai tahun dialog antarperadaban.
Sebagaimana disebutkan di atas, kedua tokoh ini merupakan tokoh otentik yang mewakili kulturnya masing-masing. Keduanya juga secara gemilang mampu merepresentasikan ajaran yang dianutnya masing-masing sebagai ajaran yang dialogis. Gus Dur yang mewakili tradisi Islam misalnya menyatakan bahwa Islam mengajarkan pada hakekatnya manusia tidak ada tingkatan, tidak ada bedanya. Tidak ada yang di atas atau yang di bawah, semuanya adalah hamba Allah. Nabi Muhammad adalah sosok yang menghargai berbagai pendapat. (halaman. 157).
Sedangkan Ikeda dengan lugas menyatakan bahwa ajaran Buddhisme memiliki prinsip beradaptasi dengan adat istiadat setempat (zuiho bini/ precept of adapting to local customs). Prinsip ini merupakan pola pikir yang menghormati setinggi-tingginya budaya dan kebiasaan serta adat istiadat di setiap wilayah, sebatas tidak menyimpang dari makna inti ajaran Buddhisme. Prinsip ini menganjurkan agar tanggap dan menerima ciri khas lingkungan setempat dan memenuhi kebutuhan zaman. (halaman. 159).
Dari dialog tersebut dapat disimpulkan bahwa baik nabi Muhammad maupun Buddha Sakyamuni sama-sama mempromosikan kesetaraan dan kerukunan. Nabi Muhammad mengajarkan islam sebagai agama kasih sayang dan menolak sukuisme yang dapat memicu perselisihan. Beliau juga melindungi monoritas dalam melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya, sikap yang mencerminkan islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Sementara Buddha Sakyamuni, mengajarkan tentang kesetaraan dan kerukunan yang pada dasarnya merupakan esensi agama yang sering dilupakan para fanatik.
Mengikuti dialog dua tokoh dalam buku ini menunjukkan ketinggian etika dalam berdialog. Keduanya saling memberi informasi dan mengisi. Keduanya juga saling memuji satu sama lain. Ikeda dengan rendah hati bahkan memohon permintaan maaf atas penjajahan Jepang ke Indonesia., termasuk kekerasan yang dilakukan tentara Jepang terhadap KH. Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama, pada masa penjajahan.
Menyusuri halaman demi halaman dalam buku ini, bukan hanya akan membawa pembaca kepada konsepsi pemikiran dua orang tokoh besar, namun juga dua tradisi, kultur, etnik, bangsa, negara serta kepercayaan teologis berbeda yang tengah melakukan dialog peradaban menuju dunia yang multipolar, sekaligus sebuah upaya untuk menyemai benih perdamaian dan persaudaraan sejati di atas muka bumi.
No comments:
Post a Comment