Judul Buku: Santo dan Sultan
Penulis: Paul Moses
Penerbit: Alvabet
Cetakan: I, 2014
Tebal: 411 Halaman
Perang
Salib merupakan peristiwa monumental yang menandai sisi gelap para pemeluk
agama dalam sejarah. Sejak pertamakali diluncurkan oleh Paus Urban II pada
tahun 1095 dengan misi merebut Yerusalem dari tangan kaum muslim, tak terhitung
nyawa manusia melayang dan kepala terpenggal dengan darah menggenangi bumi dari
kedua belah pihak.
Tidaklah
mengherankan, meski terjadi satu mileu yang lalu namun keganasan dan kengerian
serta api peperangan masih memercik hingga kini pada sebagian orang. Sehingga tidak jarang sentimen Perang Salib
dikobarkan demi menguak luka lama, dengan menggunakan jargon dan idiom yang
digunakan pada masa itu.
Akan
tetapi, Perang Salib rupanya tidak memulu kisah pertumpahan darah atas nama
Tuhan. Di dalamnya juga terdapat kisah mengagumkan dari pribadi-pribadi luar biasa
dari kedua belah pihak. Sebuah kisah tentang perdamaian, yang telah diceritakan
dari jutaan bibir selama hampir delapan ratus tahun dan tetap bergema dalam
berbagai suasana, termasuk ketika umat Kristen dan Islam saling curiga.
Sebuah
kisah, sebagaimana yang dihadirkan dalam buku berjudul Santo dan Sultan ini, tentang bagaimana para juru
damai berusaha dengan caranya sendiri untuk memutus siklus kekerasan yang
terjadi. Puncak peristiwa yang dihadirkan adalah pertemuan antara Fransiskus
dari Asisi dengan Sultan al-Kamil yang kemudian menghasilkan sebuah upaya damai
antara antara pihak yang bertikai.
Sebelum
dikenal sebagai salah satu santo Kristen terbesar, Santo Fransiskus dari Assisi
pada awalnya adalah seorang anak muda pemuja keksatriaan bernama Francesco
dengan nama baptis Giovanni. Anak seorang saudagar kaya dari Assisi. Menjadi
tawanan Perugia akibat kalah berperang ketika membela Assisi pada tahun 1203,
mengakibatkan terjadinya perubahan baik secara fisik maupun mental pada
dirinya.
Selain
malaria yang dideritanya, trauma akibat kecamuk perang menyebabkan psikologinya
terganggu. Fransiskus selalu merasa hampa dan tertekan. Maka dimulailah proses
pertobatannya. Dia mulai membenci dirinya dan menghina hal-hal yang dulu dia
cintai dan kagumi. Ia akhirnya mengisi kehampaan tersebut dengan Tuhan dan
secara bertahap mengalami kebangkitan spiritual. (Halaman 22)
Untuk
menjauhkan diri dari kehidupan keprajuritan, Fransiskus berbalik menentang
nilai-nilai yang dianut ayah dan teman-temannya: kekayaan dan kehormatan. Sebuah
sikap yang bukan hanya beresiko direndahkan secara sosial namun juga menerima
kekerasan fisik. Bahkan ia juga harus berhadapan dengan Paus Innosensius III
yang tengah semangat mengobarkan Perang Salib kelima.
Sedangkan
Malik al-Kamil Nasrudin Muhammad lahir pada 19 Agustus 1180, kira-kira satu
setengah tahun sebelum kelahiran Fransiskus. Keponakan seorang panglima paling
terkenal Perang Salib, Salahuddin Yusuf bin Ayyub atau biasa dikenal dunia Barat
dengan sebutan Saladin.
Pada
masa-masa awalnya, Malik al-Kamil dididik dalam hal kekuasaan. Salah satu
pelajaran besar baginya datang setelah Perang Salib Ketiga diluncurkan pada
tahun 1189. Menurut salah satu kronik Perang Salib, pada 29 Maret 1192,
al-Kamil yang kala itu masih belia dan dididik dalam ketaatan yang teguh pada
hukum Islam, menjalani sebuah ritual oleh pemimpin Tentara Salib, Richard yang
oleh sejarawan disebut sebagai “sakramen kedelapan”.
Pengalaman
ini tak pelak menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi pada diri al-Kamil
terhadap orang-orang Kristen. Sehingga tak mengherankan jika al-Kamil
digambarkan sebagai pejabat yang selalu memperhatikan keinginan mayoritas umat
Kristiani. (Halaman 92)
Tanggal
pasti kedatangan Fransiskus di Mesir tidak diketahui, tetapi dia kemungkinan turun
dari kapal Tentara Salib tak lama setelah pertempuran 31 juli. Di tengah
sengitnya pertempuran antara pasukan Muslim pimpinan al-Kamil dan tentara Salib
pimpinan Kardinal Pelagius sebagai wakil Paus dan John dari Brienne.
Respons
Fransiskus terhadap para penghasut perang pada zamannya adalah dengan berusaha
mengembalikan gereja ke akar-akarnya pada zaman rasul, ketika sikap
anti-kekerasan masih menjadi aturan dan sesuatu yang boleh diabaikan.
Kisah nyata
Fransiskus, Sang Sultan, dan percakapan damai yang terjadi antara keduanya pun
berlangsung. Meski demikian, sejarah kemudian mengubur kisah tersebut karena
peristiwa tersebut tidak sesuai dengan tujuan para paus yang terus menggalang
dukungan bagi serangkaian serangan Perang Salib. (Halaman 273)
Dengan
menggunakan metode jurnalistik dari kerja penelusuran sebagaimana yang telah
dilakukan para ahli Alkitab dalam menemukan Yesus yang historis dalam Injil. Paul Moses, penulis
buku ini, melihat setiap peristiwa sesuai dengan konteks zamannya: sasaran penulisan,
kondisi politik yang terjadi, serta tujuan teologis si penulis dalam
menyampaikan kisah-kisah tersebut.
Menurut
Moses, kebenaran tentang Fransiskus dan hubungannya dengan Islam dan Perang
Salib telah ditutup-tutupi. Biografi-biografi awal yang penting mengenai
Fransiskus ditulis di bawah pengaruh para paus abad pertengahan yang berkuasa-
orang yang sama yang mengorganisasi Perang Salib.
Sehingga
masalah utama yang dihadapi dalam upaya memulihkan sosok Fransiskus yang sesuai
sejarah adalah bahwa dokumen-dokumen abad pertengahan ini, betapapun rinci dan
informatifnya, tidak bisa begitu saja dipercaya sebagai nilai yang kasatmata.
Kehadiran
buku setebal
411 halaman ini diharapkan dapat mendorong para pembaca untuk mengikuti jalan
damai sebagaimana yang dilalui oleh Fransiskus dan Sultan alih-alih menggunakan
jalan pedang dan senapan, meskipun dalam situasi peperangan yang brutal.
No comments:
Post a Comment