Koran Sindo, 13 April 2014
Judul Buku: Paris; Sejarah
yang Tersembunyi
Penulis: Andrew Hussey
Penerbit: Alvabet
Cetakan: I, Februari 2014
Tebal: 591 Halaman
Keanggunan arsitektur kota, keelokan
para perempuannya, serta kehidupan gemerlap para bangsawan, demikian citra dan
ilusi yang ditimbulkan Paris. Akan tetapi, ilusi paling kuat yang diciptakan
oleh ibukota Prancis ini adalah sejarahnya.
Setidaknya demikian menurut berjudul
lengkap Paris;
Sejarah yang Tersembunyi ini. Ditulis
oleh Andrew Hussey, buku ini berusaha memaparkan kisah
Paris dari sudut pandang “kelas-kelas berbahaya”, sebuah istilah yang digunakan
para sejarawan Prancis untuk mendeskripsikan unsur-unsur marginal dan subversif
di kota ini yang catatan pengalamannya bertentangan dengan sejarah resmi.
Paris boleh saja dianggap sebagai
ibukota dunia bagi politik, agama, dan kebudayaan. Akan tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa sejarah kota Paris sebagian besar ditempa oleh kesulitan hidup
yang dialami para penduduknya atau petites gens (rakyat jelata). Paris
merupakan kota yang menjadi tempat revolusi rakyat, terutama setelah mengalami
konflik berdarah selama berabad-abad.
Berasal dari nama sebuah suku di
tepian sungai Seine yang tiba di wilayah ini satu milenia setelah orang Afrika
Utara, kaum Parisii adalah pedagang ulung. Mereka selalu menghubungkan
kesadaran komersial (commercial nous) dengan persepsi yang selalu muncul
dari dunia lain.
Menghuni sebuah kawasan yang pada
zaman dulu dikenal sebagai daerah Lutetia, mereka dikenal hampir tidak memiliki
rasa takut terhadap dunia fisik. Tetapi mereka juga merasakan kekhawatiran
kolektif kuat tentang akhir dunia, bahwa langit akan secara harfiah akan runtuh
menimpa kepala mereka.
Nama Lutetia hanya bertahan
selama beberapa ratus tahun. Kota ini berubah nama menjadi Paris pada masa
kekuasaan Julian, seorang komandan pasukan Romawi, yang menggantinya dengan
Civitas Parisiorum, yang berarti kota suku Parisii. Sedangkan nama France
(Prancis), pertamakali dicetuskan oleh Clovis, pemimpin suku barbar Frank yang
berakar di Jerman Barat.
Clovis merupakan seorang pembunuh
dan bandit. Setelah menguasai Lutetia, ia memproklamasikan bahwa semua orang Frank
adalah manusia merdeka dan semua manusia merdeka adalah orang Frank. Sejak saat
itu, istilah ‘Frank’ tidak hanya dikaitkan dengan Francia, yang secara perlahan
menjadi France, namun juga dengan gagasan menjadi “manusia merdeka”. (Halaman 12-30)
Kaum Frank memerintah Prancis
selama hampir dua abad. Berbagai gejolak politik, peperangan dan penjarahan
silih berganti menghiasi hari-hari Paris. Akan tetapi, Stereotipe karakter parigot
Parisian atau orang-orang Paris tetap lebih sering menampilkan sosok-sosok yang
secara konsisten melawan pemerintah suatu negara. Bukanlah kebetulan bahwa kata
“Parisian” sudah lama disamakan dengan kata agitator, atau penghasut.
Identitas lain yang melekat pada
Paris adalah medan peminum minuman keras. Pada paruh abad ke-17, hampir semua
jalan di kota memiliki paling sedikit dua atau tiga kedai minum dengan berbagai
kualitas dan harga. Tidak mengherankan jika penyair Francois Villon menyebut
kota ini “parouarts”, sebuah kata sandi bagi kedai minum dan rumah pelacuran
bawah tanah. (Halaman 211)
Dekade 1990-an dalam banyak hal menjadi
dekade yang sulit bagi Parisian. Pada Desember 1995, di bawah bayangan seorang
presiden yang sekarat dan rasa terombang-ambing, setelah kekacauan dan
kekerasan tingkat rendah yang sporadis, Paris seperti kota hantu; sebagian
besar jalanan kosong, kecuali sejumlah kecil turis.
Bahkan sekarang, para komentator
budaya biasanya menyebut tahun 1994 dan 1995 sebagai ‘tahun-tahun hitam’, saat
identitas Paris menghadapi bahaya serius yaitu tenggelam di bawah serangkaian
krisis lainnya. (Halaman 548)
Memang benar bahwa cinta adalah
hal utama bagi mitos dan realitas Paris, tetapi demikian pula halnya dengan
makanan, pakaian, agama, uang, perang, dan seks. Bahkan ketika teror dan
kekerasan mendominasi jalanan, seks dan cinta masih menjadi pusat dari etos dan
mitologi Paris.
Gairah, pertumpahan darah, glamor
dan fanatisme selalu menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari di kota kuno
ini. Gaya hidup baru, perpolitikan baru, kekerasan dan kesenangan dalam bentuk
baru, sedang membentuk kota abad ke-21.
Dengan semangat demikian, buku setebal
591 halaman ini disuguhkan dalam bentuk sebuah
perjalanan dari bar, tempat pelacuran dan ruang belakang, ke
pemukiman-pemikiman miskin di pinggir kota serta serta salon elegan dan pusat
kekuasaan, sambil selalu menginterogasi, membedah atau hanya digoda oleh
mitos-mitos Paris yang memukau sekaligus penuh paradoks.
Beragam data dan referensi
disodorkan penulisnya, sehingga karya ini merupakan hasil riset yang serius dan
mengesankan. Sebuah buku sejarah yang dapat digunakan sebagai penerjemah,
pemandu dan teman bicara bagi siapa saja yang membacanya. Terentang selama dua
ribu tahun, mulai dari era prasejarah hingga era Zinedine Zidane.
No comments:
Post a Comment