Judul Buku: Guru Sejati Hasyim Asy’ari
Penulis: Masyamsul Huda
Penerbit: Pustaka Inspira
Cetakan: I, Maret 2014
Tebal: 267 Halaman
Tebu Ireng
merupakan nama pesantren tua yang legendaris. Ribuan kiai dan santri telah dihasilkannya
sejak lebih dari satu abad yang lalu kala pesantren ini didirikan. Tepatnya
pada 26 Rabiul Awal 1317 H atau 5 Agustus 1899 oleh seorang ulama kharismatik
bernama K.H. Hasyim Asy’ari, yang diberi gelar sebagai Hadharatussyaikh atau
Maha Guru.
Namun siapa
sangka, sebelum dikenal sebagai kampong santri tempat lahirnya organisasi
keagaamaan terbesar di Nusantara, Nahdlatul Ulama, Tebu Ireng ketika masih
bernama Kebo Ireng merupakan sebuah kawasan prostitusi, tempat judi, sabung
ayam serta berbagai aktivitas amoral lainnya. Setidaknya demikianlah yang
dikisahkan dalam buku berjudul Guru Sejati Hasyim
Asy’ari ini.
Ditulis berdasarkan kesaksian dan sudut cerita Kiai
Sakiban, seorang dalang dan tokoh masyarakat yang tinggal di Kebo Ireng dan
terlibat langsung dalam pendirian Tebu Ireng. Dikisahkan kembali oleh Masyamsul Huda,
cucu sang dalang dilengkapi dengan beragam literatur, cerita yang berkembang di
masyarakat, serta tentu saja laiknya sebuah novel disuguhkan ke hadapan pembaca
dengan ramuan imajinasi penulisnya.
Berkecamuknya
Perang Diponegoro membuat VOC mengalami kebangkrutan. Guna mengatasinya,
pemerintah Kolonial yang diwakili Engelbertus de Waal memberlakukan
Undang-undang Agraria 1870 (Agrarische Weet 1870) dan Undang-Undang Gula
1870 (Suiker Weet 1870) yang memberi kesempatan kepada swasta Eropa
membuka usaha perkebunan di Hindia Belanda. (Halaman 24)
Salah
satu lokasi yang terpilih adalah Dusun Sumoyono. Didirikan pada 1884,
keberadaan pabrik gula atau dalam bahasa Belanda Suiker Fabrice bukan
hanya menyerobot sebagian lahan dan sawah warga, namun turut pula memicu
merosotnya moralitas warga sekitar. Kondisi inilah yang membuat resah Sakiban
dan sebagian warga sekitar Cukir yang masih memiliki kesadaran.
Para
preman dan sampah masyarakat lainnya yang direkrut oleh pabrik sebagai pasukan
pengaman membentuk komunitas tersendiri di sekitar masyarakat. Pemimpin mereka adalah
dua orang dukun dan pendekar yang dikenal sakti bernama Kebo Kicak dan Wiro.
Intimidasi dan kekerasan tak jarang mereka lakukan, namun tidak ada yang berani
melawan mengingat pemerintah berada di belakang mereka.
Siapa
saja yang berusaha melawan atau merongrong keberadaan pabrik dan kelompoknya,
maka akan dicap sebagai musuh pemerintah. Sebagaimana yang dialami seorang kiai
muda berdarah panas bernama Surontanu. (Halaman 113)
Meski
sejatinya berniat baik, namun Surontanu miskin strategi dalam menghadapi
kelompok Kebo Kicak. Ia lebih memilih jalan frontal sehingga gerakannya mudah diredam
setelah Surontanu dan para pengikutnya dibasmi kolonial dan kaki tangannya.
Sebagai
seorang santri dan pejuang Perang Diponegoro, Sakiban tidak mau gegabah
sebagaimana yang dilakukan Surontanu. Hingga kemudian ia berkenalan dengan
seorang kiai muda putra Kiai Asy’ari dari desa Keras, lima kilometer dari Kebo
Ireng. Muhammad Hasyim, demikian namanya.
Harapan
pun muncul mengingat sosok Hasyim membuatnya terkesima penuh kagum. Bukan hanya
karena ilmu agamanya yang mumpuni hasil
pengembaraan ke berbagai pesantren di Tanah Air hingga Tanah Suci Makkah, melainkan
karena keluhuran pekertinya juga kecerdasannya dalam memilih strategi dakwah
yang tepat bagi masyarakat Kebo Ireng.
Menurut
Hasyim, pesantren tidak boleh langsung melakukan kegiatan keagamaan secara
terang-terangan, tetapi dikamuflase sebagai padepokan silat. Hal ini untuk
menghindari kecurigaan pihak Belanda dan kaki tangannya. Untuk menarik minat
masyarakat, Hasyim juga melakukan praktek pengobatan berbagai penyakit.
(Halaman 193)
Kemanjuran
doa-doa yang diberikannya kepada para pasien membuat namanya tersohor sebagai
ahli penyembuh. Pelan tapi pasti, kediamannya yang sederhana mulai ramai
dikunjungi orang-orang. Masyarakat Cukir dan sekitarnya yang sebelumnya berobat
ke dukun mulai beralih ke tempatnya.
Meski
demikian, pendidikan keagamaan tetap dilakukan secara sedikit demi sedikit di
musholla yang baru dibangun. Sedangkan untuk pelatihan ilmu kanuragan dan
pencak silat diasuh oleh para santri yang secara khusus didatangkan dari Cirebon.
Kehadiran
buku setebal 267 halaman ini, menjadi salah satu karya yang patut mendapat
apresiasi dan ditiru. Jejak langkah dan perjuangan tokoh-tokoh yang memiliki
andil besar di tanah Air seperti halnya Kiai Hasyim, nampaknya perlu terus
dikisahkan sehingga mampu menjadi inspirasi sekaligus figur panutan bagi
masyarakat.
Meski
dalam konteks dan panggung sejarah yang berbeda, namun nilai-nilai serta
semangat yang dihadirkan dalam menegakkan kebenaran bersifat universal. Sehingga
kisah perjuangan Kiai Hasyim dalam mendirikan pesantren Tebu Ireng bukan hanya patut
diteladani oleh para kaum agamawan, namun siapa saja yang ingin melihat sebuah
sikap yang pantang menyerah dalam mempertahankan kebenaran, sesulit apapun itu.
No comments:
Post a Comment