Judul Buku: Demokrasi; Ekspor Amerika Paling Mematikan
Penulis: William Blum
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, 2013
Tebal: 460 Halaman
Demokrasi
sejatinya merupakan sebuah sistem ideal yang dicita-citakan para filosof sejak
era Yunani Kuno. Polybios, misalnya, dengan mengembangkan dari konsep
Aristoteles ia berkeyakinan bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem yang
ditegakkan oleh rakyat untuk memperoleh keadilan setelah meruntuhkan oligarki.
Sayangnya, Polybios juga meramalkan bahwa lama-kelamaan demokrasi juga akan diwarnai kekacauan dan maraknya korupsi sehingga hukum menjadi sulit ditegakkan. Sehingga lahirlah sistem okhlokrasi di mana seorang yang kuat dengan menggunakan kekerasan dapat memegang pemerintahan.
Ramalan
tersebut sepertinya sudah menjadi separuh kenyataan. Meski masih menggunakan
term demokrasi dengan menjadikan rakyat sebagai entitas terpenting dalam
mekanisme pemilihannya, namun faktanya kekuatan uanglah yang sangat penting dan
dominan dalam menentukan siapa pemenang dalam sistem demokrasi liberal seperti
saat ini.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemenangan para presiden Amerika ditentukan oleh seberapa besar dana kampanye yang mereka miliki. Untuk memperoleh dana, para kandidat tak segan untuk melakukan lobi dengan korporasi-korporasi besar pemilik modal.
Celakanya, seperti kata pepatah tak ada makan siang gratis. Maka kepentingan-kepentingan ekonomi, politik serta ideologi korporasi tersebut menjadi alat tukar yang harus dipinggul sang calon presiden. Lobi inilah yang dituding menjadi penyebab terjadinya distorsi besar-besaran bukan hanya terhadap prinsip kapitalisme, namun juga demokrasi.
Buku berjudul lengkap Demokrasi; Ekspor Amerika Paling Mematikan ini, berusaha menelanjangi borok demokrasi yang dipraktikan oleh negeri Paman Sam secara benderang. Sebuah kebobrokan yang kerap dijadikan justifikasi bagi pemerintah Amerika kepada rakyatnya dan dunia untuk melakukan invasi terhadap negara lain sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Padahal Ambisi Washington untuk mendominasi dunia bukan didorong
oleh tujuan untuk membangun demokrasi yang mendalam ataupun kebebasan, dunia
yang lebih adil, menghentikan kemiskinan atau kekerasan, atau planet yang lebih
layak untuk dihuni, melainkan lebih karena ekonomi dan ideologi. (Halaman 291)
Bagi
kekuatan elit Amerika, salah satu tujuan abadi dan paling inti dari kebijakan
luar negeri adalah mencegah bangkitnya masyarakat apa pun yang mungkin dapat
menjadi contoh yang baik bagi suatu alternatif di luar model kapitalis. Secara
prinsip, orang harus menyadari bahwa Amerika Serikat berusaha mendominasi
dunia, dan untuk tujuan ini, akan menempuh apa saja yang diperlukan.
Keberadaan media massa Amerika memiliki peran khusus dalam memuluskan jalan tersebut. Sehingga Amerika dapat berperang di mana dan di saat dia menginginkannya dan bila tidak ada satu pun tujuan mulia yang dapat dibuktikan, pemerintah, dengan bantuan luar biasa dari media Amerika, akan menciptakannya.
Selama ini, media utama Amerika memang dikenal seringkali bersikap tidak adil. Mereka skeptis terhadap gagasan-gagasan yang bagi mereka tidak umum, namun terlalu mudah percaya jika berurusan dengan pejabat pemerintah, ahli teknis, dan sumber-sumber resmi lainnya. Hasilnya, mereka menjadi penyokong kebijakan pemerintah dengan membentuk opini di masyarakat serta seolah-olah berusaha mengeliminir fakta-fakta lain yang membantahnya.
Hal demikian seperti yang dapat kita lihat dalam kasus runtuhnya menara World Trade Center (WTC) yang menggemparkan pada September 2011. Meski petugas kebersihan gedung menyatakan bahwa terjadi banyak ledakan setelah pesawat menabrak gedung sehingga sangat mungkin terdapat bahan peledak yang ditaruh di dalam gedung, toh informasi tersebut tidak pernah diekspos oleh media-media Amerika. (Halaman 185)
Secara keseluruhan, sejak 1945, Amerika Serikat telah menjalankan kejahatan-kejahatan kebijakan luar negeri di tujuh puluh negara, di dalam proses tersebut, AS telah mencabut nyawa beberapa juta orang, membuat jutaan orang lainnya hidup dengan penuh kepedihan dan penderitaan, dan bertanggung jawab terhadap penyiksaan yang dilakukan atas ribuan orang lainnya.
Selain
konspirasi, penerapan standar ganda juga menjadi kekhasan lain dalam demokrasi
ala Amerika. Mereka bisa saja melakukan invasi atau menggulingkan pemerintahan
sebuah negara dengan dalih kejahatan militernya, namun pada kasus lain justru
melakukan kerjasama yang mesra kepada pelaku kejahatan yang sama.
Buktinya, selama empat puluh tahun, pemerintah (AS) selalu menutup mata dan berpura-pura atas keterlibatan militer Indonesia dalam berbagai kekejaman di Jakarta, Timor Timur, Aceh dan di tempat-tempat lainnya yang membunuh jutaan orang.
Meski mendapat banyak kecaman dari kalangan aktivis hak asasi manusia dan larangan serta keberatan yang terkadang muncul di kongres, namun selama empat decade tersebut hubungan antara militer Amerika dengan Indonesia merupakan hubungan yang paling dekat dalam Negara Dunia Ketiga bagi Amerika. (Halaman 32)
Buku setebal 460 halaman ini, berisikan
fakta dan data paling lengkap seputar sepak terjang Amerika di pentas dunia.
Melalui jargon demokrasi dan menggunakan nama PBB, pengerahan pasukan kerap dilakukan
untuk menginvasi sebuah negara berdaulat dan pemerintahan yang justru dipilih
secara demokratis.
Dengan
kata, kehadiran karya pengamat kebijakan luar negeri Amerika bernama William
Blum ini hendak mewartakan penyimpangan konsep demokrasi yang dilakukan oleh
pemerintah Amerika yang ironisnya selama ini justru dijadikan sebagai senjata
paling ampuh dan mematikan
untuk membungkam negara-negara yang berdaulat agar tunduk kepada keinginannya.
No comments:
Post a Comment