Islam di Persimpangan Jalan

Koran Tempo, 21 Februari 2016

 

Judul Buku: Krisis Peradaban Islam; Antara Kebangkitan dan Keruntuhan Total

Penulis: Ali A. Allawi

Penerbit: Mizan

Cetakan: I, Desember 2015

Tebal: 485 Halaman

Pasca-runtuhnya menara World Trade Center (WTC) lima belas tahun lalu, setiap kali terjadi aksi terorisme di seluruh penjuru dunia hampir semua telunjuk secara serta-merta mengarah ke Islam. Tuduhan yang tidak berlebihan, mengingat radikalisme agama dewasa ini sepertinya dimonopoli oleh kaum muslim, setidaknya demikian kata media massa. 

Sebagai sebuah agama yang dianut oleh dua milyar penduduk Bumi, Islam memang tengah menghadapi sebuah tantangan besar di abad ini. Peradabannya yang besar dan sempat menjadi mercusuar dunia, kini menjadi sebuah periferi yang eksistensinya laiknya artefak kuno di sebuah museum; hanya dilihat dan dipelajari untuk sekedar dikenang.

Selama berabad-abad peradaban Islam dihantam berbagai gelombang yang menguras daya hidupnya dan secara bertahap mengikisnya hingga hanya menjadi bayang-bayang dirinya yang dulu. Islam sebagai agama, dan peradaban Islam sebagai dunia yang diciptakan Muslim dan yang di dalamnya mereka hidup, diuji keabsahannya, kemampuannya beradaptasi, dan kemampuannya menjaga kesetiaan Muslim.

Menurut buku berjudul Krisis Peradaban Islam ini, sekularisme telah menjerat leher kaum muslim. Islam diabaikan, dipinggirkan, atau ditolak oleh barisan penganjur kehidupan modern. Islam tetap memberikan semacam landasan etis bagi kehidupan orang banyak, tetapi lambat laun melemah begitu orang-orang berpindah ke lingkungan modern atau perkotaan. 

Krisis peradaban Islam diperparah dengan penyebaran global Wahhabisme/Salafisme yang terkait secara langsung dengan dukungan dana sangat besar dari negara Saudi. Tujuannya selain untuk mendorong Dunia Islam Sunni terperangkap dalam pemikiran sempit Wahhabi, juga untuk menciptakan suatu otoritas agama baru dalam Islam Sunni, yang mungkin berujung pada pendirian institusi mirip Gereja. (Halaman 204)

Pengaruh mereka telah memberikan efek terhadap Dunia Islam Sunni, dan berkontribusi tidak kecil pada penyempitan kepekaan agama dan spiritual Muslim. Berbagai perayaan, peringatan, dan aktivitas agama yang memberikan kesan dramatis dalam Islam disingkirkan. Varian lokal dari festival-festival tradisional Muslim ditolak sebagai bid’ah. 

Efek samping sekte ini adalah pemanfaatan kekerasan dan teror demi tercapainya hasrat mendirikan khilafah serta menegakkan paham keagamaan secara sepihak dengan mengkafirkan kelompok berbeda sebagaimana yang dilakukan Al_Qaeda dan ISIS, merupakan perpisahan menentukan lainnya dari warisan peradaban Islam. 

Di sisi lain, Islam sebagai agama, suatu metode ibadah bagi jutaan pemeluknya, secara pasti masih hidup dan ada. Vitalitas agama tersebut nyata. Sayangnya, semangat hidup budaya Islam telah terkuras oleh utilitarianisme tandus yang tanpa malu memanfaatkan berbagai keberhasilan ilmiah dan teknis orang lain dan merayakan materialisme primitif. (Halaman 46)

Peradaban Islam kini kehilangan elemen-elemen vital yang sebelumnya memberikannya koherensi dan arti. Apa pun yang tersisa kini mengalami krisisnya yang terakhir. Peradaban Islam punya dua pilihan: akan mengalami nasib seperti peradaban-peradaban lain yang sudah lebih dulu punah sebagai entitas hidup, atau menemukan dalam dirinya sendiri kemampuan untuk menentukan arti kehidupan yang beradab.   

Bagi sebagian besar orang, hanya ada dua hal yang saat ini bisa menjadi jalan untuk menciptakan ulang peradaban Islam; dunia religius orang beriman dan saleh, dan dunia politik kekuasaan dan pemerintahan. Dan saat ini Islam mengalami krisis terakhir yang akan menjadi penentu akan kehancurannya atau kebangkitannya kembali. 

Jika umat Muslim tidak dapat menghimpun sumber daya batiniah dari agama mereka untuk menciptakan kehadiran lahiriah yang berkekuatan peradaban, maka Islam sebagai suatu peradaban mungkin akan hilang. Islam hanya akan menjadi motif lain dalam budaya global yang didorong oleh konsumen, terobsesi pada diri sendiri, dengan daya perhatian yang pendek. 

Suatu peradaban Islam yang baru hanya dapat dibentuk di atas kenyataan pahit bahwa selama bertahun-tahun peradaban Islam berada dalam kondisi tidak aktif, lesu, dan terabaikan. Kebangkitan hanya dapat terwuud setelah Muslim dapat mengatasi ketidakseimbangan dan kesukaran. Tantangan yang ada akan menguji batasan komitmen Muslim kepada Islam sebagai jalan hidup lengkap. (Halaman 436)

Buku setebal empat ratus delapan puluh lima halaman ini merupakan perpaduan sejarah, filsafat, teologi, sosiologi, ekonomi, dan politik. Meski penulisnya telah dengan teliti dan konsisten baik dalam narasi maupun dalam penggunaan referensi, namun tetap saja buku ini bukanlah sebuah karya akademis. 

Selain itu buku ini tidak mendedah Islam sebagai suatu agama atau panduan bagi perilaku maupun transaksi di dunia luar. Melainkan mengenai peradaban Islam, sebuah semesta yang nyata Islami; yang ilham dan kekuatannya bersumber dari sisi-sisi dalam dan luar Islam; dan merupakan jembatan yag menghubungkan keduanya. 

Buku ini merupakan upaya penulisnya dalam memahami faktor-faktor di balik merosotnya ruh Islam, dan kemana kita menuju jika proses ini tak dihentikan atau dibalikan. Sebuah upaya yang patut diapresiasi mengingat untuk melakukan hal tersebut diperlukan kejujuran sebagai pra-syarat utama untuk mengurai problematika serta menemukan solusinya. 

Orisinalitas pemikiran intelektual dan politikus Irak ini diakui dunia, terbukti pada tahun 2013 Ali A. Allawi terpilih menjadi salah satu World’s Original Thinkers menurut salah satu majalah terkemuka Inggris.