Penulis: Asep Salahudin
Penerbit: Noura
Cetakan: I, Maret 2014
Tebal: 234 Halaman
Sejarah
mencatat bahwa masuknya Islam ke Indonesia sehingga dapat menjadi agama
mayoritas di kepulauan Nusantara, khususnya Pulau Jawa, merupakan atas
kontribusi kaum tarekat. Islam yang didakwahkan ke masyarakat tidak melalui
gerakan politik-struktural tetapi lewat jalur budaya. Budaya lokal tidak lantas
dicap sebagai tidak islami, tetapi justrui dijadikan bagian budaya Islam.
Jejak
akulturasi antara budaya lokal dan nilai keislaman dapat disaksikan hingga saat
ini. Mulai dari arsitektur Masjid yang unik, hingga pagelaran Wayang (Kulit
maupun Golek) yang banyak memuat pesan agama (Islam) yang kaya yang disampaikan
baik melalui cerita yang telah dimodifikasi dari kisah aslinya yang bernuansa
Hindu.
Selain itu,
di tengah kepicikan kaum puritan yang baru masuk ke Indonesia beberapa tahun
belakangan, kiprah dan jumlah kaum tarekat tetap eksis di masyarakat. Aktivitas
dakwah meraka dapat ditemukan di berbagai daerah dan tempat di Indonesia dengan
dihadiri ratusan hingga puluhan ribu jamaah. Salah satu yang fenomenal adalah
seorang ulama tarekat kharismatik asal Jawa Barat bernama Abah Anom.
Menurut
buku berjudul Abah Anom; Wali Fenomenal Abad 21 & Ajarannya ini nama
aslinya adalah Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin. Lahir pada 1 Januari 1915 di
Godebag, Tasikmalaya. Namanya dikenal luas masyarakat Indonesia selain karena
posisinya sebagai mursyid (pemimpin) Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
(TQN) Suryalaya juga karena sikapnya yang dianggap berbeda dengan dengan asumsi
kebanyakan orang atas dunia tarekat.
Martin van
Bruinessen menuturkan bahwa istilah “tarekat” mengacu pada dua hal yang secara
konseptual berbeda. Maknanya yang asli (secara harfiah: jalan) merupakan
panduan khas antara doktrin, metode, dan ritual, tetapi istilah ini pun sering
dipakai untuk mengacu pada organisasi (formal atau informal) yang menyatukan
pengikut-pengikut “jalan” tertentu.
Pada masa
lalu, tarekat sering dimaknai sebagai gerakan yang menghindari urusan sosial,
politik, dan budaya. Sikap zuhud, fakir, pakaian sederhana, menjauhi
kemegahan materi dan kesenangan duniawi serta sikap skeptis terhadap dunia yang
lainnya kerap disematkan kepada para pelaku tarekat dan tasawuf.
Padahal
tasawuf tidak melarang penganutnya untuk kaya, terkenal, atau menjadi pejabat
yang disegani. Seorang sufi tidak akan terbelenggu dunia, tidak dikuasai dunia,
tetapi menguasai dunia, di mana dunia menjadi alat untuk beribadah kepada
Allah. Atau dalam TQN suryalaya, dikenal metafora nyabut belut tina lumpur.
Artinya belut dapat diambil dari kubangan lumpur, tanpa sedikitpun ternoda oleh
lumpur tersebut. (Halaman 146)
Konsep
tersebut dimaknai sebagai perintah untuk terlibat aktif dalam kehidupan
masyarakat, dan pada waktu yang bersamaan, hati terpaut pada kesadaran
ketuhanan dan selalu bersikap warak. Kesucian diri dalam ajaran TQN Suryalaya
tidak diupayakan dengan cara menyepi, tetapi dengan melibatkan diri secara
aktif dalam kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan.
Pesantren
Suryalaya didirikan Abah Sepuh pada 7 rajab 1323 H/ 5 September 1905 di sebuah
perkampungan yang sangat sepi, di sebuah kawasan yang sama sekali tidak
dilintasi jalan besar. Secara geografis, Suryalaya berada di pinggiran Tasikmalaya,
berbatasan dengan Kabupaten Ciamis. Tepatnya di sebuah dusun yang bernama Godebag
di tepi sungai Citanduy.
Sedangkan Tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah merupakan penggabungan antara Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Khatib ibn Abdul Gaffar al-Sambasi al-Jawi
yang wafat di Mekkah pada tahun 1878. Syaikh Sambas merupakan sosok yang sangat
penting dalam jaringan keilmuan dan keulamaan di tanah Jawa. Ia sering disebut
sebagai sosok guru kiai yang banyak dicari. (Halaman 162)
Penggabungan
dua tarekat tersebut dilandasi pemikiran bahwa ajaran dan metode keduanya bisa
saling melengkapi sehingga diharapkan para salik dapat menjalankan laku ruhani
secara lebih efisien. Sebagai contoh, jika tarekat Qadiriyah menekankan dzikir jahr
(dengan suara keras), maka Naqsyabandiyah mengutamakan zikir khafi
(zikir hati).
Pasca-wafatnya
Syaikh Khatib, kepemimpinan tarekat ini beralih ke Syaikh Abdul Karim
al-Bantani. Kemudian setelah Syaikh al-Bantani wafat muncul beberapa orang
mursyid penerusnya yang berpengaruh, yaitu Syaikh Thalhah dari Cirebon dan
Syaikh Kholil dari Bangkalan, Madura.
Syaikh
Abdullah bin Mubarak bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) yang notabene pendiri TQN
Suryalaya, berguru kepada Syaikh Kholil, kemudian dilanjutkan pengembaraan ilmunya
ke Syaikh Thalhah di Cirebon. Kelak, Syaik Thalhah memberinya khirqah
melimpahinya wewenang sebagai mursyid TQN. Dari Abah Sepuh estafet mursyid
kemudian beralih ke K.H. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin alias Abah Anom.
Abah Sepuh
dan Abah Anom dengan mengikuti strategi dakwah para Wali Sanga, berusaha
melakukan ijtihad untuk mengainkan antara Islam dan Sunda tanpa harus
menegasikan. Bagi Abah Anom, al-Qur’an dan imperatif etiknya tidak mesti
dipahami dalam latar atmosfir alam pikiran orang Arab, tetapi justru harus
dijangkarkan dalam tradisi lokal, yang dalam hal ini adalah ruh kebudayaan Sunda.
(Halaman 177)
Menjelajahi
lembar demi lembar kisah sang Guru Sufi dari Tatar Sunda
yang tertuang dalam buku setebal 234 halaman ini, pembaca akan memahami sejarah serta buah
pikir dari sosok yang popular dengan nama Abah Anom tersebut lengkap dengan
kisah-kisah uniknya. Selain itu, pembaca juga akan menjumpai sosok Ulama yang
merakyat serta kecintaannya yang tinggi terhadap kebudayaan lokal tempat ia
lahir, besar, dan kembali ke Yang Maha Esa.
makasih ya sob salam sukses buat blognya bermanfaat bgt nie informasinya peluang usaha untuk mahasiswa
ReplyDeletemantap kang... masih ada ga tokoh2 yg hebat dari sunda? kalau ada .share lagi kang
ReplyDelete