Suara Merdeka, 8 Juli 2014
Judul Buku: Laskar
Ulama-Santri & Resolusi Jihad
Penulis: Zainul Milal Bizawie
Penerbit: Pustaka Compass
Cetakan: I, 2014
Tebal: 420 Halaman
Sejarah
hanya ditulis oleh pihak pemenang. Demikian menurut sebuah pepatah, dan
demikian pula yang terjadi dalam penulisan sejarah di Indonesia yang masih
berkabut. Sehingga apa yang dibaca oleh generasi berikutnya atas sebagian masa
lalu Indonesia sering terlihat kabur dan membingungkan.
Peminggiran
sejarah juga terjadi atas kiprah kaum ulama-santri pada masa kemerdekaan. Meski
kontribusinya dalam menegakkan Republik Indonesia sangatlah besar dan kasat
mata, namun acapkali dilupakan. Padahal fakta membuktikan pemberontakan
terhadap pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang justru paling efektif dan
banyak dilakukan oleh kaum ulama-santri.
Bahkan,
menurut buku berjudul Laskar
Ulama-Santri & Resolusi Jihad ini, pihak yang secara konsisten
anti-kolonial adalah para ulama-santri seperti Syekh Yusuf al-Makassari di
Banten, serta ulama lainnya yang tak pernah padam melakukan perlawanan terhadap
Kolonial. Hingga meledak menjadi sebuah
peperangan terbesar sepanjang sejarah, yaitu Perang Jawa Diponegoro.
Berbasis di
kawasan Selarong, Pangeran Diponegoro bukan hanya mendapat dukungan dari rakyat
biasa, namun juga memperoleh legitimasi dari kalangan Ulama masyhur pada masa
itu seperti Kyai Mojo dari Solo, Sentot Ali Basya, Kyai Umar Semarang, Kyai
Abdus Salam Demak Jombang, kyai hasan Besyari Tegalsari Ponorogo dan lainnya.
(Halaman 46)
Meski pada
akhirnya Sang Pangeran ditangkap Belanda pada 28 Maret 1830 karena siasat licik
di Kedu, semangat perlawanan kaum ulama-santri tidak pernah padam. Dengan
merubah strategi dari frontal ke kultural, sisa pasukan Pangeran kasultanan
Yogyakarta tersebut tetap mengobarkan semangat perlawanan melalui
pesantren-pesantren yang didirikan sebagai institusi tempat para santri menimba
ilmu keagamaan.
Dengan basis
Pesantren dan jaringan tarekat serta menggunakan alasan agama sebagai
landasannya, resistensi kaum santri tetap terjadi meski secara sporadis selama
masa Kolonial Belanda di berbagai tempat. Antara lain perlawanan K.H Ahmad
Rifa’I Kalisalak Batang, Entong Gendut di Condet Jakarta, Muhammad Idris dan
Arfan di Ciomas, serta Kyai Kasan Mukmin dari Sidoarjo.
Sedangkan
kaum santri yang menimba ilmu di Timur Tengah yang membentuk jejaring ulama nusantara,
akhirnya menyadari pentingnya sebuah organisasi yang mampu mewadahi aspirasi mereka.
Perubahan geopolitik di Timur Tengah yang ditandai runtuhnya kekuasaan Turki
Utsmani serta kemenangan Ibnu Saud yang berpaham Wahhabi yang notabene
berbeda dengan paham yang dianut mayoritas Indonesia turut memicu kesadaran
tersebut.
Hingga
akhirnya musyawarah kaum ulama pada tanggal 31 Januari 1926 atau bertepatan
dengan 16 Rajab 1344 H membentuk jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) atau
“Kebangkitan para Ulama”. Ulama kharismatik asal Jombang, pendiri Pesantren Tebu
Ireng, K.H. hasyim Asy’ari ditempatkan sebagai Rais Akbar. (Halaman 92)
Sepanjang
era Kolonial Belanda, organisasi keagamaan tersebut telah melakukan perlawanan
kultural dengan bersikap dan melakukan tindakan kritis serta mengambil jarak
dengan pemerintah. Tindakan tersebut dipahami sebagai langkah NU dalam
memperjuangkan posisi dan kepentingan Islam di Hindia Belanda, pula sebagai
langkah mendukung terwujudnya cita-cita kemerdekaan.
Konfrontasi
terbuka secara fisik mulai digelorakan NU sebagai sebuah organisasi dengan
mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang ditandatangani oleh Hadratus Syaikh Hasyim
Asy’ari serta dikukuhkan oleh para kyai dalam sebuah rapat pada tanggal 21-22
Oktober 1945 di jalan Bubutan VI No.2 Surabaya.
Fatwa yang
antara lain berisikan fatwa hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada
kemerdekaan adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin
meskipun orang fakir dan hukum yang meninggal dalam peperangan tersebut adalah
mati syahid tersebut terbukti sangat ampuh dalam membakar semangat juang rakyat
untuk membela negara. Puncaknya adalah meletusnya perang pada tanggal 10
November 1945 di Surabaya.
Tewasnya
jenderal Mallaby membuat Inggris mengerahkan pasukannya secara besar-besaran
untuk menggempur Surabaya. 15.000 personil dikerahkan, dilengkapi dengan kapal
dan pesawat tempur serta tank-tank dengan teknologi termutakhir. Berhadapan
dengan rakyat yang dimotori oleh kesatuan Hizbullah dan Sabilillah yang
mayoritas hanya bersenjatakan bambu runcing. (Halaman 228-236)
Kehadiran
buku setebal 420 Halaman ini, selain sebagai sebuah karya tulis yang
kaya data, pula menjadi media yang mampu menjadi pengingat bagi bangsa yang
sepertinya mudah lupa ini atas peranan kaum ulama-santri dalam membela Tanah
Air yang merentang mulai dari abad 17 hingga pasca-kemerdekaan.
Selain itu,
upaya rekonstruksi sejarah kemerdekaan yang dilakukan Zainul Milal
Bizawie, penulisnya, layak diapresiasi sebagai sebuah ikhtiar untuk memperluas
cakrawala sejarah Indonesia yang selama ini secara sadar atau tidak, seolah
menihilkan kalangan ulama-santri hanya sebatas kaum sarungan yang berkutat
dengan kitab kuning dan teralienasi dari dunia luar.
Faktanya,
justru kaum ulama-santri-lah yang menjadi “dukun” atas kelahiran “bayi” bernama
Republik Indonesia. Selamat membaca.
No comments:
Post a Comment