Judul Buku: Melunasi janji Kemerdekaan
Penulis: Muhammad Husnil
Penerbit: Zaman
Cetakan: I, 2014
Tebal: 300 Halaman
Siapa yang tidak tersentuh hati menyaksikan ratusan anak muda yang mestinya
berada di puncak keasyikan menikmati hidup bergelimang gadget dan smartphone
canggih, justru memilih menjadi tenaga pengajar di daerah-daerah terpencil.
Jangankan menikmati teknologi mutakhir, bisa mandi dan menikmati air bersih
saja sebuah keistimewaan luar biasa. Para Pengajar Muda itu, demikian sebutan
mereka, memang berbeda. Ketika kebanyakan anak muda seusia mereka menyerbu kota-kota
besar berburu rupiah, mereka lebih memilih berbagi ilmu pengetahuan dengan
anak-anak pedalaman.
Padahal mereka bukanlah para sarjana dengan nilai pas-pasan. Melainkan para
mahasiswa yang prestasi akademiknya baik, memiliki jiwa kepemimpinan yang
terasah, dan memiliki kemampuan menghadapi tantangan kehidupan dengan optimis. Itulah
prasyarat agar dapat bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar (GIM).
Lalu dari siapakah gagasan GIM lahir ? Sebagaimana dipaparkan dalam buku
berjudul Melunasi Janji Kemerdekaan ini, nama lengkapnya adalah Anies
Rasyid Baswedan. Lahir pada 7 Mei 1969 di Karangwuni, Yogyakarta dari rahim
seorang perempuan bernama Aliyah, istri dari Awad Rasyid Baswedan.
Berbeda dengan sosoknya saat ini yang dikenal sebagai intelektual muda,
Anies kecil secara akademis ternyata tidaklah cemerlang. Tak pernah rangking
pertama, kedua atau ketiga. Nilainya rata-rata saja. Beruntung ia dibesarkan di
keluarga akademis. Ayahnya adalah Dekan Fakultas Ekonomi UII, sedangkan sang
ibu menjabat ketua jurusan Pendidikan Ekonomi.
Kondisi demikian membuat rumah mereka kerap dikunjungi para mahasiswa yang
hendak konsultasi skripsi maupun menyerahkan tugas kuliah. Momen tersebut
digunakan oleh orangtua Anies untuk mendidik anak-anaknya agar dapat
berkomunikasi dengan orang dewasa. Tidak dengan teori, namun dengan mengajak
Anies dan kedua adiknya ikut nimbrung menerima tamu. (Halaman 53)
Kebiasaan membaca juga sudah ditanamkan kepada Anies sedari kecil. Ia sudah
menjadi anggota perpustakaan anak sejak kelas 3 SD. Selepas pulang sekolah, ia
mengayuh sepeda sekitar 3 kilometer menuju perpustakaan yang berada di jalan
Mangkubumi. Salah satu bacaan favoritnya di masa kecil adalah Lateral
Thinking karya Edward De Bono, seorang psikolog asal Inggris.
Pergaulannya dengan mahasiswa serta hobi membaca sejak kecil membuat
kepribadian dan mental Anies lebih dewasa dibanding anak-anak lain seusianya.
Seiring dengan berjalannya waktu, bakat kepemimpinan juga mulai terlihat pada
dirinya. Tidaklah mengherankan jika ketika duduk di bangku SMAN 2 Yogyakarta,
Anies terpilih menjadi ketua OSIS pada tahun 1985.
Interaksi pertamanya dengan dunia internasional terjadi ketika Anies
mengikuti program pertukaran pelajar yang diselenggarakan American Fields
Service (AFS) pada tahun 1987. Pengalaman hampir setahun di Amerika sangat
bernilai baginya. Ia merasakan betapa perbedaan, baik budaya, kebiasaan, maupun
pola pikir, bukanlah penghalang bagi terjalinnya saling pengertian antar sesama
manusia dari beragam ras.
Sambil melanjutkan sekolah di SMA 2, Anies menyalurkan sikap kritisnya ke
kegiatan yang bisa membawanya lebih memompa diri, mengembangkan dan mengasah
kemampuan serta kepemimpinannya melalui program Tanah Merdeka di TVRI
Yogyakarta. Sebuah program yang digagas Ishadi S.K sebagai jawaban atas kritik
bahwa acara-acara remaja di TVRI klise dan dangkal.
Lulus sekolah Anies memilih kuliah di Universitas Gadjah Mada dan bergiat
di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Majelis Penyelamat Organisasi (MPO). Berkat
kecerdasan, mental dan jiwa kepemimpinannya karirnya di organisasi kampus
berjalan mulus. Ia terpilih menjadi ketua senat Mahasiswa UGM pada Februari
1992. (Halaman 111)
Setelah dari UGM Anies mengikuti kuliah selama satu semester di Sophia
University, Jepang, sebagai hadiah juara lomba menulis esai yang dihelat Japan
Airlines (JAL) Foundation. Sepulang dari Jepang ia menikahi Ferry Farhati pada
tanggal 11 Mei 1996. Kebahagiaannya berlipat setelah ia menerima kabar ketiga
Universitas di Amerika menerima lamarannya untuk kuliah.
Anies akhirnya memperoleh beasiswa Fullbright untuk jurusan perdagangan
internasional, bidang keamanan internasional dan kebijakan ekonomi di
Universitas Maryland. Bersama sang istri ia akhirnya berangkat ke Amerika pada
Juli 1996, dengan mengantongi uang urunan dari keluarga besar untuk biaya hidup
karena beasiswa ternyata baru cair setahun kemudian.
Penghujung 2005, Anies dan keluarga kecilnya pulang ke Indonesia. Dengan
gelar Ph.D yang disandangnya, banyak pekerjaan menghampirinya. Kini, selain
menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina masa bakti 2011-2015, Anies juga
sibuk di Gerakan Indonesia Mengajar.
Dari segi idealisme, GIM lebih dari sekedar mengajar namun memiliki dua
tujuan: mengisi kekurangan guru berkualitas di sekolah dasar, khususnya di
daerah terpencil, dan menyiapkan lulusan perguruan tinggi untuk menjadi
pemimpin masa depan yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan kedekatan dengan
rakyat kecil di pelosok negeri. (Halaman 238)
Dalam usianya yang relatif masih muda, perjalanan hidup dan perjuangan
seorang Anies tentu saja belum berakhir. Masih banyak karya dan prestasi yang
bisa diukirnya kemudian hari. Masih banyak kisah dan pengalaman yang dapat
dibagikannya kepada pembaca. Karir dan popularitasnya juga boleh jadi
dikemudian hari tidak hanya berhenti sebagai akademisi.
Meski demikian, kehadiran buku setebal 300 halaman ini, berhasil
menyuguhkan sosok Anies secara utuh. Mulai dari latar belakang keluarganya,
masa kecil, remaja, hingga dewasa dan menjadi seorang tokoh yang dikenal dunia
internasional seperti saat ini. Tak lupa, perjuangannya untuk melunasi salah
satu dari empat janji kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment