Judul Buku: Ustadz Saya Sudah di Syurga
Penulis: Mohammad Guntur Romli
Penerbit: KataKita
Cetakan: Pertama, Agustus 2007
Tebal : xviii+ 296 halaman
Bonanza aksi terorisme yang berlabelkan Islam (baca: fundamentalisme Islam), dewasa ini seolah-olah semakin memperkuat asumsi yang tertanam di Barat, bahwa Islam adalah agama yang intoleran, gandrung pada kekerasan dan menjustifikasi perilaku anarkis-destruktif. Bopeng wajah Islam dalam stereotif Barat ini disisi lain, juga menunjukkan kekerdilan mentalitas dan kepicikan paradigma berpikir sebagian kaalangan umat Islam yang meresahkan sekaligus menggelikan. Betapa tidak, kemajuan suatu bangsa atau agama lain hanya mampu direspons oleh beberapa dengan cara-cara yang memalukan seperti bom bunuh diri, teror dan tindakan kekerasan lainnya, celakanya lagi tindakan tersebut diyakini sebagai perintah Tuhan yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari keyakinan terhadap agama (Islam), pahala (reward) bagi yang melakukakannya dan siksa (punishment) bagi yang tidak.
Harus diakui secara jujur bahwa bukan hanya Islam yang potensial terhadap aksi fundamentalisme, pada dasarnya semua agama memilikinya. Karena sebagaimana yang dicatat Karen Amstrong dalam Berperang Demi Tuhan, 2001, bahwa semua agama pernah mengalami peperangan yang mengatasnamakan (agama) Tuhan, hal ini terjadi karena agama kerapkali membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan politik dan negara (profan).
Namun ternyata perselingkuhan antara agama dan negara bukan satu-satunya pemicu sejumlah konflik dan peperangan berbaju agama, Charles Kimball dalam Kala Agama Menjadi Bencana, 2003, menegaskan pada dasarnya agama merupakan entitas yang menampilkan citra, gagasan, keyakinan, dan pengalaman –yang sebagian positif, sebagian lagi negatif. Setiap eksistensi agama mengandaikan suatu agenda moral yang suci, namun ternyata hal tersebut bukan satu-satunya, karena disisi lain agama juga merupakan wilayah impresi dan interpretasi yang bisa jadi mengalami perbedaan di antara pemeluknya.
Perbedaan interpretasi pada domain normatifitas inilah yang kemudian, baik secara sengaja maupun tidak, secara sadar ataupun tidak sadar, menggiring kalangan agamawan untuk menggunakan dalil-dalil agama sesuai dengan political interest-nya masing-masing. Alih-alih angin kesejukan dan pencerahan yang dihembuskan pada umatnya, tidak jarang oknum agamawan justru memantik dan mengobarkan bara permusuhan bahkan peperangan antar sesama pemuja Tuhan itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan dalam catatan historisitasnya yang panjang, agama menjadi semacam medan Kurusetra yang tak pernah bosan mengalirkan dengan deras bau amis darah para pendukungnya.
Dalam kasus Islam fenomena terorisme-fundamentalisme ini relatif lebih menarik, karena beberapa faktor: pertama, fundamentalisme semakin semarak justru di tengah peradaban dunia sedang mengalami puncak sepanjang sejarahnya, meskipun terdapat borok disana-sini seperti dekadensi moralitas, perusakan ekologis dan lain sebagainya. Kedua, gerakan fundamentalisme Islam kerapkali memposisikan diri sebagai meta-narasi yang mencoba melawan narasi besar yang tengah digenggam kuat oleh peradaban Barat secara hegemonik. Ketiga, kehadirannya (kembali) di era ketika teknologi dan informasi menjadi sebuah keniscayaan. sehingga spirit gerakan ini mampu memercik dan menggenangi batok kepala berbagai pendukungnya secara sporadis, bahkan mampu bermutasi ke dalam sel-sel jaringan organisasi global. Sehingga tidak mengherankan terjadi fenomena Islamofobia di kalangan masyarakat non-muslim.
Buku karya Mohammad Guntur Romli ini merupakan kumpulan tulisannya diberbagai media massa dalam upaya merekam jejak sekaligus berusaha merespons masalah-masalah yang dianggap cukup krusial seperti disebutkan di atas. (hlm.viii) di dalam buku yang berisi empat bahasan pokok dimana mantan wakil ketua Tanfidziah NU Mesir ini berusaha melakukan pembongkaran kembali makna, baik terhadap ayat-ayat al-Qur’an maupun sabda Nabi (hadis) yang kadung sudah terkunci rapat dianggap final dan fix, satu diantaranya yang paling banyak mengundang polemik adalah konsepsi Jihad.
Makna Jihad dan Janji Syurga
Kata Jihad bisa jadi merupakan yang paling menimbulkan kontroversi dari ribuan ayat yang terkandung dalam al-Qur’an. Selama ini, baik kalangan ulama fiqih klasik maupun kontemporer, mayoritas memaknai Jihad hanya sebagai peperangan. Bahkan seorang Wahbah al-Zuhayli pun, seorang ulama fikih kontemporer asal Mesir misalnya, memaknai Jihad sebagai melawan orang-orang kafir dengan jiwa, harta dan lisan (hlm.32). Akhirnya dapat ditebak, tanpa mampu dibendung lagi kata jihad kemudian mengalami simplifikasi sebagai perang suci (holly war). Selain itu, makna tersebut merupakan sebuah penafsiran atas makna Jihad yang tidak rasional, padahal menurut al-Jurjani, tafsir berarti penyingkapan (al-kasyf) dan penjelasan (al-Idzhar). Karena itu, proses penafsiran adalah proses perubahan dari yang samar-samar menjadi jelas (al-idzhar), dari yang tertutup menjadi terbuka dihadapan akal/rasio (al-kasyf). (hlm. 116)
Islam menurut Guntur hanya mengakui dua bentuk perang, yaitu perang yang disyari’atkan (al-harb al-masyru’ah), dan perang yang tidak di syariatkan (ghayr masyru’ah). Sedangkan jihad sendiri memiliki dua definisi: jihad melawan jiwa (jihad al-nafs) dan jihad yang diperbolehkan melakukan peperangan dengan tujuan untuk mempertahankan diri (defensif). (hlm.62) Bukan untuk menyerang, mencelakakan apalagi membunuh secara membabi-buta pihak lain yang tidak berdosa.
Al-Qur’an sendiri sebagai rujukan utama umat Islam, secara eksplisit membedakan dua istilah kunci untuk merujuk pada makna perang. Pertama, kata jihad, yang berarti peperangan secara umum sehingga ketika al-Qur’an menggunakan ayat al-jihad (ayat-ayat jihad), artinya adalah perjuangan dalam makna secara luas dan umum. Ayat-ayat jihad sendiri secara umum turun pada periode Islam Makkah, dan sejarah membuktikan bahwa Nabi tidak pernah melakukan satupun peperangan pada masa ini. Hal ini dapat terlihat pada al-Qur’an surat al-Furqan ayat 52, surat luqman ayat 15, an-Nahl ayat 110, dan al-Ankabut ayat 69.
Kedua, kata Qital yang berarti peperangan, kata ini bermakna lebih spesifik dan monolitik yakni peperangan. Ayat-ayat qital turun pada masa periode Islam Madinah, dimana pada masa ini Nabi dan kaum muslimin sering terlibat peperangan. Lisensi peperangan dengan menggunakan ayat-ayat qital maknanya menjadi jelas sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Hajj ayat 39 yang berbunyi : ‘’telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi (li al-ladzina yuqataluna)’’ dan al-Baqarah ayat 190 yang berbunyi : ‘’dan perangilah (qatilu) orang-orang yang memerangimu (al-ladzina yuqatalunakum)’’. Polemik muncul ketika ayat-ayat jihad kembali turun pada periode Madinah sehingga makna dan tafsirnya digeneralisir hanya dimaknai sebatas peperangan atau ayat qital. (hlm 34).
Padahal Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 256 secara tegas menyatakan la ikraha fi al-din yang berarti tidak ada paksaan dalam beragama. Asbabun nuzul ayat ini, sebagaimana ditulis oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam tafsirnya nomor 4668, adalah untuk menjawab pertanyaan seorang bapak yang bernama al-Hashin dari Bani Salim bin Auf yang telah memeluk Islam, sedangkan dua anak laki-lakinya masih memeluk Kristen. Konon, ia telah meminta kedua anaknya untuk masuk Islam namun mereka tidak bersedia. Akhirnya, al-Hashin mendatangi rasulullah dan bertanya : ‘’a la astakrihuma fa’innahuma qad abaya illa al-Nasraniyyah ?’’ (apakah saya tidak bisa memaksa mereka yang telah menolak ajakan saya dan tetap memeluk Kristen?). lalu pertanyaan al-Hashin tersebut kemudian direspon oleh Allah dengan menurunkan ayat la ikraha fi al-din tersebut, (hlm. 140) yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih agama yang diyakininya. Demikian juga dalam mengamalkannya.
Kendatipun demikian, Bagi Guntur, dalam memahami ayat kita tidak bisa berhenti pada arti (makna) teks yang bertumpu pada muatan sejarah dan konteks karena hal tersebut merupakan bentuk ‘’pemasungan’’ sekaligus ‘’pembunuhan’’ terhadap teks-teks. Dalam arti lain, kita telah ‘’memonumenkan’’ teks-teks tersebut dan menganggapnya tidak lagi memiliki makna kekinan. Namun pada waktu yang bersamaan, kita ‘’diharuskan’’ menghadirkan kembali teks-teks tersebut meskipun perbedaan rentang ruang dan waktunya sangat panjang. Di sini letak urgensi memahami ‘’arti historis-orisinil’’ teks yang bisa disebut ma’na (pengertian) dan ‘’arti realitas-modern’’ teks yang disebut maghza (signifikansi) teks-teks.(hlm. 113) Menurut Nasr Hamid Abu Zayd dalam Naqd al-Khithab al-Dini, 1995, perbedaan antara keduanya : pertama, ‘’makna’’, adalah pemahaman terhadap teks yang berasal dari konteks internal bahasa (al-siyaq al-lughawi al-dhakhili) dan konteks eksternal sosio-kultural (al-siyaq al-tsaqafi al-ijtima’i al-khariji). ‘’Makna’’bersifat statis-relatif (al-tsabat al-nisbi). Kedua, ‘’signifikansi’’ adalah pemahaman terhadap teks sesuai dengan kondisi kekinian. ‘’signifikansi’’ juga selalu terus bergerak mengikuti perputaran dan perubahan cakrawala pembacaan kita.
Persoalan menjadi pelik justru ketika problematika penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut kemudian dijadikan justifikasi demi kepentingan pribadi dan ditarik pada kontestasi di dalam wilayah politik (publik). Mengingat agama dalam kesadaraan manusia memang memiliki nilai dan makna yang tidak kecil. Bahkan seringkali agama menjadi alasan utama mengapa manusia rela menjalankan sejarahnya, yang seringkali terasa nihil dan absurd. Melalui agama, yang di bawa para Nabi, manusia dikenalkan dengan Tuhan Penciptanya, zat yang serba Maha, moralitas transendental dalam dunia yang imanen sekaligus janji-janji eskatologik sebagai penawar dahaganya.
Agama sebagaimana dikatakan Nawal, memang memiliki dua fungsi: Pencerahan dan Kebodohan (hlm. 278). Banyak yang pemikirannya dicerahkan dan dicerdaskan oleh agama, namun tidak sedikit pula yang juga dibodohi oleh agama(wan). Proses pembodohan yang dilakukan oknum agamawan dengan menafsirkan ayat suci al-Qur’an demi kepentingan dan tujuan-tujuan politis ini, belakangan memperlihatkan sosoknya yang menakutkan di negara kita sendiri yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang santun dan toleran, Indonesia. Aksi terorisme di Bali maupun kota lainnya merupakan bukti konkrit dari fenomena di atas.
Para pelaku teror tersebut pada dasarnya merupakan korban indoktrinasi yang menggunakan dalil-dalil agama. Mereka, meminjam istilah Fahmi Huwaydi menyebut para ‘’tentara Tuhan’’ ini dengan istilah jundullah fi ma’rakatil ghalath, merupakan tentara Allah yang salah memilih medan perang. (hlm. 20) Kenaifan pemahaman akan ajaran Tuhannya, secara sadis dibajak oleh oknum agamawan (ustadz) dengan menawarkan candu berupa jaminan keselamatan atas kesengsaraan di Neraka dan kebahagiaan nan Abadi di Syurga, dengan melakukan tindakan yang diluar ‘’nalar agama’’ itu sendiri. Pada akhirnya proses menemukan dan menghayati Tuhan berubah menjadi memperdebatkan Tuhan, mengurusi Tuhan bahkan berdarah-darah karena Tuhan. (hlm. 100)
Tingkat ketulusan manusia dalam beribadah yang tereduksi karena impiannya akan syurga ini, ternyata juga telah meresahkan sang sufi wanita terbesar dari Bagdad, Rabi’ah al-Adawiyah, beribadah demi iming-iming atau takut karena ancaman tertentu, baginya hanyalah dilakukan oleh manusia yang memiliki mental budak. (hlm. 71) apalagi kemudian obsesi untuk mendapatkan syurgapun menghalalkan berbagai macam cara, seperti tindakan terorisme yang jelas-jelas memakan korban baik harta maupun nayawa manusia yang secara tegas dilarang oleh agama.
Ironisnya arogansi sikap dan ego sentris dalam beribadah ini yang sekarang semarak di negeri kita. Penyerangan rumah ibadah, tuduhan aliran sesat dan kafir yang disertai ancaman pembunuhan terhadap orang yang berbeda pendapat dalam beragama semakin menjadi-jadi. Padahal Islam adalah agama dakwah bukan dakwa. Dakwah adalah ajakan sementara dakwa berarti tuduhan. Selain itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan Hudhaibi, seorang mantan kadi dan mursyid Ikhwanul Muslimin, bahwa umat seharusnya jangan cepat dihakimi. Karena umat memiliki tiga kedaifan (kelemahan) yaitu : kebodohan (jahil), kesalahan (al-khata’) dan paksaan (al-ikrah). Seseorang yang dibekap tiga persoalan tadi tidak bisa dikenakan hukum, apalagi fatwa mati. (hlm. 137) disinilah, menurut Guntur, tugas para dai dan ulama untuk sekedar memberi bimbingan.
Bukankah salah satu tujuan beragama adalah untuk meleburkan ego individualistik manusia yang cenderung merasa paling baik dan benar sendiri diantara yang lain, sebagaimana sikap Iblis yang menolak sujud kepada Adam. Syurga sangat luas dan tidak terbatas sebagaimana rahmat dan kasih sayang Tuhan, tetapi dibutakan akan keserakahannya seolah-olah yang berhak menghuni syurga hanya dirinya sendiri. Bukankah sikap tersebut justru merupakan bentuk pengerdilan dan penghinaan atas kebesaran Tuhan ?. Mungkinkah kita mendapatkan syurga-Nya dengan merugikan, membunuh dan memenggal kepala orang lain? Bukankah sikap tersebut justru secara tidak langsung berupa pengingkaraan kita akan ke Maha Besaran dan Maha Kuasa-an Allah, sehingga kita berusaha menggantikan peranan-Nya sebagai ‘’al-Hakim’’? jangan-jangan bukan ‘’Ustadz saya sudah di syurga’’ yang keluar dari mulut para teroris kelak, melainkan ‘’ustadz syurganya mana’’?
Dosa Sosial dan Formalisasi Islam
Selain diinterupsi dengan ekspresi kalangan Islam Radikal, keberagamaan kaum muslimin di Indonesia beberapa tahun berselang, secara formalitas juga mengalami eskalasi, hal ini dapat terlihat dengan menjamurnya berbagai Majlis Ta’lim di segenap penjuru negeri ini, pengajian di Televisi maupun yang paling mutakhir berupa petuah-petuah keagamaan dengan layanan SMS (short massage service). Antusiasme yang tinggi akan nilai-nilai keagamaan secara formal diharapkan mampu mendongkrak berbagai segi kehidupan masyarakat yang ambruk, seiring dengan jatuhnya perekonomian di negeri ini. Sebuah ekspektasi yang tidak berlebihan, mengingat krisis multi-dimensi ini berujung-pangkal pada krisis moralitas yang diidap secara akut oleh berbagai kalangan, terutama yang memiliki akses secara langsung dengan kebijakan publik, dalam hal ini pemerintah.
Namun, ternyata menurut Guntur memahami agama dalam konteks formalitasnya saja amatlah berbahaya karena akan menjerumuskan kita pada ‘’keberagamaan yang palsu’’ (pseudo-religius atau al-tadayyun al-za’if). (hlm. 83) yang gejalanya memiliki beberapa pola ; pertama, keberagamaaan yang dibangun untuk ‘’penyucian diri’’ dan ‘’pengampunan diri’’. Tujuan keberagamaan ini adalah kemaslahatan diri sendiri agar terbebas dari dosa dan siksa secara syari’at. Pola ini biasanya terjadi pada penderita penyakit (dosa) sosial. Misalnya, seorang politikus busuk atau pejabat pemerintahan yang melakukan korupsi terhadap uang rakyat (negara), merasa akan terbebas dari dosanya apabila rajin mengikuti pengajian. Seorang pejabat pembunuh aktivis HAM, dosanya akan diampuni bila mondar-mandir ke Tanah Suci, dan lain sebagainya. Benarkah demikian ? berbeda dengan dosa Individual, dosa sosial tidak dapat hanya dinetralisir dengan langsung bermesraan dengan Tuhan yang berkaitan dengan hak-hak Allah (huquq Allah), tetapi sebelumnya harus memenuhi hak-hak manusia (huquq ibad) terlebih dahulu. Dosa sosial tidak akan pernah dimaafkan Tuhan selama ia belum mendapatkan maaf dari yang di zaliminya. Semakin tinggi jabatan seseorang semakin besar pula tanggung-jawab dan potensi dosa sosial yang dihadapinya. Inilah makna amanah dalam Islam.
Kedua, keberagamaan sebagai eskapis dari segala problematika dunia. Jika pola keberagamaan yang pertama (pengampunan dan penyucian) banyak dilakukan oleh para pelaku (subjek) dosa sosial, maka pola keberagamaan yang kedua ini sering dilakukan oleh para korban (objek) dosa sosial. Dengan demikian semarak keberagamaan kita yang cenderung formalistik tersebut pada dasarnya hanya bertumpu pada dua pola tersebut ; apakah anda termasuk pola pertama atau kedua.
Eskalasi formalisasi Islam mencapai titik kulminatif ketika Islam dijadikan ideologi alternatif dari pertarungan dua kutub ideologi dunia yang bertarung pada waktu Perang Dingin : Kapitalisme yang angkuh dan Komunisme yang ringkih. Ketika ideologi alternatif ini disusupi dengan indoktrinasi dan melahirkan fanatisme berlebihan, maka tidak mengherankan apabila kemudian berubah menjadi : ’’hanya sistem Islam-lah satu-satunya alternatif dan pilihan’’. (hlm. 132) dengan menegaskan (hanya) Islam sebagai solusi, maka tak ada solusi lain selain Islam. Apapun gagasan dan sistem yang dari luar Islam akan dicap sistem kafir. Gerakan ini pada akhirnya, bagi Guntur, akan mengarah pada aksi fundamentalisme Islam, yang menolak ajakan-ajakan pembaruan keagamaan dan gigih membela kemapanan. Berusaha mengembalikan kejayaan masa lalu, serta memahami ajaran agama secara rigid dan literal. Dalam kehidupan sosial yang objektif dan plural, fundamentalisme Islam juga sering membawa klaim-klaim teologis yang subjektif, seperti ‘’Islam adalah solusi’’, ‘’ajaran Islam sesuai dengan situasi dan kondisi’’, dan ‘’Islam adalah agama dan negara’’.(hlm. 248)
Menurut Guntur, dengan mengutip Karen Amstrong, fundamentalisme agama yang berupa keinginan kuat kembali ke ajaran fundamental agama dan upaya mempertahankan serta menegakkan kembali ‘’duplikasi sejarah’’ pada kondisi saat ini hal tersebut tidak hanya merupakan gerakan kembali ke akar, tetapi juga sebagai gerakan melawan modernitas yang dituduh mengakibatkan krisis multi-dimensi. (hlm. 156) sehingga, tidak mengherankan gerakan konfrontatif ini mendapatkan resistensi di negara-negara berpaham sekuler, seperti pada kasus pelarangan jilbab di Prancis. (hlm. 155) Hal ini juga menunjukkan gerakan semacam ini bukan memperbaiki citra Islam di mata Dunia, tetapi sebaliknya malahan membuat komunitas keagamaan secara keseluruhan semakin termarjinalkan dalam ranah peradaban modern yang traumatis akan catatan kelam sejarah nan menakutkan, ketika agama berkiprah di wilyah publik sebelum akhirnya mereka ‘’penjarakan’’ ke dalam wilayah Privat. (hlm. 156)
Membaca buku karya Guntur ini membawa kita melompat ke dalam berbagai dimensi kehidupan beragama. Lanskap yang luas ini mampu diimbangi dengan kemampuan dan pengetahuannya akan kekayaan khazanah literatur keagamaan (Islam) yang patut mendapatkan apresiasi besar mengingat usianya yang relatif masih muda. Agaknya, hormon jiwa mudanya inilah yang kerap membuat tulisan tanpa basa-basi mengkritik berbagai fenomena keagamaan yang dianggap janggal. Sebuah resiko yang harus tempuh, dan pada akhirnya membuat ia harus merasakan ‘’diwawancarai’’ oleh aparat Kepolisian sekitar hampir sembilan jam !. (hlm. vii)
Namun, seperti lazimnya sebuah kumpulan tulisan, kelemahan buku ini juga dalam menggagas dan merumuskan sebuah wacana, terkesan kurang elaboratif, mengingat pada awalnya tulisan-tulisan ini hanya berupa opini-opini yang diproyeksikan untuk media massa. Namun, hal itu tidak akan membuat rusak selera membaca kita ! Selamat membaca.......... !!!!!!!
Penulis: Mohammad Guntur Romli
Penerbit: KataKita
Cetakan: Pertama, Agustus 2007
Tebal : xviii+ 296 halaman
Bonanza aksi terorisme yang berlabelkan Islam (baca: fundamentalisme Islam), dewasa ini seolah-olah semakin memperkuat asumsi yang tertanam di Barat, bahwa Islam adalah agama yang intoleran, gandrung pada kekerasan dan menjustifikasi perilaku anarkis-destruktif. Bopeng wajah Islam dalam stereotif Barat ini disisi lain, juga menunjukkan kekerdilan mentalitas dan kepicikan paradigma berpikir sebagian kaalangan umat Islam yang meresahkan sekaligus menggelikan. Betapa tidak, kemajuan suatu bangsa atau agama lain hanya mampu direspons oleh beberapa dengan cara-cara yang memalukan seperti bom bunuh diri, teror dan tindakan kekerasan lainnya, celakanya lagi tindakan tersebut diyakini sebagai perintah Tuhan yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari keyakinan terhadap agama (Islam), pahala (reward) bagi yang melakukakannya dan siksa (punishment) bagi yang tidak.
Harus diakui secara jujur bahwa bukan hanya Islam yang potensial terhadap aksi fundamentalisme, pada dasarnya semua agama memilikinya. Karena sebagaimana yang dicatat Karen Amstrong dalam Berperang Demi Tuhan, 2001, bahwa semua agama pernah mengalami peperangan yang mengatasnamakan (agama) Tuhan, hal ini terjadi karena agama kerapkali membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan politik dan negara (profan).
Namun ternyata perselingkuhan antara agama dan negara bukan satu-satunya pemicu sejumlah konflik dan peperangan berbaju agama, Charles Kimball dalam Kala Agama Menjadi Bencana, 2003, menegaskan pada dasarnya agama merupakan entitas yang menampilkan citra, gagasan, keyakinan, dan pengalaman –yang sebagian positif, sebagian lagi negatif. Setiap eksistensi agama mengandaikan suatu agenda moral yang suci, namun ternyata hal tersebut bukan satu-satunya, karena disisi lain agama juga merupakan wilayah impresi dan interpretasi yang bisa jadi mengalami perbedaan di antara pemeluknya.
Perbedaan interpretasi pada domain normatifitas inilah yang kemudian, baik secara sengaja maupun tidak, secara sadar ataupun tidak sadar, menggiring kalangan agamawan untuk menggunakan dalil-dalil agama sesuai dengan political interest-nya masing-masing. Alih-alih angin kesejukan dan pencerahan yang dihembuskan pada umatnya, tidak jarang oknum agamawan justru memantik dan mengobarkan bara permusuhan bahkan peperangan antar sesama pemuja Tuhan itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan dalam catatan historisitasnya yang panjang, agama menjadi semacam medan Kurusetra yang tak pernah bosan mengalirkan dengan deras bau amis darah para pendukungnya.
Dalam kasus Islam fenomena terorisme-fundamentalisme ini relatif lebih menarik, karena beberapa faktor: pertama, fundamentalisme semakin semarak justru di tengah peradaban dunia sedang mengalami puncak sepanjang sejarahnya, meskipun terdapat borok disana-sini seperti dekadensi moralitas, perusakan ekologis dan lain sebagainya. Kedua, gerakan fundamentalisme Islam kerapkali memposisikan diri sebagai meta-narasi yang mencoba melawan narasi besar yang tengah digenggam kuat oleh peradaban Barat secara hegemonik. Ketiga, kehadirannya (kembali) di era ketika teknologi dan informasi menjadi sebuah keniscayaan. sehingga spirit gerakan ini mampu memercik dan menggenangi batok kepala berbagai pendukungnya secara sporadis, bahkan mampu bermutasi ke dalam sel-sel jaringan organisasi global. Sehingga tidak mengherankan terjadi fenomena Islamofobia di kalangan masyarakat non-muslim.
Buku karya Mohammad Guntur Romli ini merupakan kumpulan tulisannya diberbagai media massa dalam upaya merekam jejak sekaligus berusaha merespons masalah-masalah yang dianggap cukup krusial seperti disebutkan di atas. (hlm.viii) di dalam buku yang berisi empat bahasan pokok dimana mantan wakil ketua Tanfidziah NU Mesir ini berusaha melakukan pembongkaran kembali makna, baik terhadap ayat-ayat al-Qur’an maupun sabda Nabi (hadis) yang kadung sudah terkunci rapat dianggap final dan fix, satu diantaranya yang paling banyak mengundang polemik adalah konsepsi Jihad.
Makna Jihad dan Janji Syurga
Kata Jihad bisa jadi merupakan yang paling menimbulkan kontroversi dari ribuan ayat yang terkandung dalam al-Qur’an. Selama ini, baik kalangan ulama fiqih klasik maupun kontemporer, mayoritas memaknai Jihad hanya sebagai peperangan. Bahkan seorang Wahbah al-Zuhayli pun, seorang ulama fikih kontemporer asal Mesir misalnya, memaknai Jihad sebagai melawan orang-orang kafir dengan jiwa, harta dan lisan (hlm.32). Akhirnya dapat ditebak, tanpa mampu dibendung lagi kata jihad kemudian mengalami simplifikasi sebagai perang suci (holly war). Selain itu, makna tersebut merupakan sebuah penafsiran atas makna Jihad yang tidak rasional, padahal menurut al-Jurjani, tafsir berarti penyingkapan (al-kasyf) dan penjelasan (al-Idzhar). Karena itu, proses penafsiran adalah proses perubahan dari yang samar-samar menjadi jelas (al-idzhar), dari yang tertutup menjadi terbuka dihadapan akal/rasio (al-kasyf). (hlm. 116)
Islam menurut Guntur hanya mengakui dua bentuk perang, yaitu perang yang disyari’atkan (al-harb al-masyru’ah), dan perang yang tidak di syariatkan (ghayr masyru’ah). Sedangkan jihad sendiri memiliki dua definisi: jihad melawan jiwa (jihad al-nafs) dan jihad yang diperbolehkan melakukan peperangan dengan tujuan untuk mempertahankan diri (defensif). (hlm.62) Bukan untuk menyerang, mencelakakan apalagi membunuh secara membabi-buta pihak lain yang tidak berdosa.
Al-Qur’an sendiri sebagai rujukan utama umat Islam, secara eksplisit membedakan dua istilah kunci untuk merujuk pada makna perang. Pertama, kata jihad, yang berarti peperangan secara umum sehingga ketika al-Qur’an menggunakan ayat al-jihad (ayat-ayat jihad), artinya adalah perjuangan dalam makna secara luas dan umum. Ayat-ayat jihad sendiri secara umum turun pada periode Islam Makkah, dan sejarah membuktikan bahwa Nabi tidak pernah melakukan satupun peperangan pada masa ini. Hal ini dapat terlihat pada al-Qur’an surat al-Furqan ayat 52, surat luqman ayat 15, an-Nahl ayat 110, dan al-Ankabut ayat 69.
Kedua, kata Qital yang berarti peperangan, kata ini bermakna lebih spesifik dan monolitik yakni peperangan. Ayat-ayat qital turun pada masa periode Islam Madinah, dimana pada masa ini Nabi dan kaum muslimin sering terlibat peperangan. Lisensi peperangan dengan menggunakan ayat-ayat qital maknanya menjadi jelas sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Hajj ayat 39 yang berbunyi : ‘’telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi (li al-ladzina yuqataluna)’’ dan al-Baqarah ayat 190 yang berbunyi : ‘’dan perangilah (qatilu) orang-orang yang memerangimu (al-ladzina yuqatalunakum)’’. Polemik muncul ketika ayat-ayat jihad kembali turun pada periode Madinah sehingga makna dan tafsirnya digeneralisir hanya dimaknai sebatas peperangan atau ayat qital. (hlm 34).
Padahal Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 256 secara tegas menyatakan la ikraha fi al-din yang berarti tidak ada paksaan dalam beragama. Asbabun nuzul ayat ini, sebagaimana ditulis oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam tafsirnya nomor 4668, adalah untuk menjawab pertanyaan seorang bapak yang bernama al-Hashin dari Bani Salim bin Auf yang telah memeluk Islam, sedangkan dua anak laki-lakinya masih memeluk Kristen. Konon, ia telah meminta kedua anaknya untuk masuk Islam namun mereka tidak bersedia. Akhirnya, al-Hashin mendatangi rasulullah dan bertanya : ‘’a la astakrihuma fa’innahuma qad abaya illa al-Nasraniyyah ?’’ (apakah saya tidak bisa memaksa mereka yang telah menolak ajakan saya dan tetap memeluk Kristen?). lalu pertanyaan al-Hashin tersebut kemudian direspon oleh Allah dengan menurunkan ayat la ikraha fi al-din tersebut, (hlm. 140) yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih agama yang diyakininya. Demikian juga dalam mengamalkannya.
Kendatipun demikian, Bagi Guntur, dalam memahami ayat kita tidak bisa berhenti pada arti (makna) teks yang bertumpu pada muatan sejarah dan konteks karena hal tersebut merupakan bentuk ‘’pemasungan’’ sekaligus ‘’pembunuhan’’ terhadap teks-teks. Dalam arti lain, kita telah ‘’memonumenkan’’ teks-teks tersebut dan menganggapnya tidak lagi memiliki makna kekinan. Namun pada waktu yang bersamaan, kita ‘’diharuskan’’ menghadirkan kembali teks-teks tersebut meskipun perbedaan rentang ruang dan waktunya sangat panjang. Di sini letak urgensi memahami ‘’arti historis-orisinil’’ teks yang bisa disebut ma’na (pengertian) dan ‘’arti realitas-modern’’ teks yang disebut maghza (signifikansi) teks-teks.(hlm. 113) Menurut Nasr Hamid Abu Zayd dalam Naqd al-Khithab al-Dini, 1995, perbedaan antara keduanya : pertama, ‘’makna’’, adalah pemahaman terhadap teks yang berasal dari konteks internal bahasa (al-siyaq al-lughawi al-dhakhili) dan konteks eksternal sosio-kultural (al-siyaq al-tsaqafi al-ijtima’i al-khariji). ‘’Makna’’bersifat statis-relatif (al-tsabat al-nisbi). Kedua, ‘’signifikansi’’ adalah pemahaman terhadap teks sesuai dengan kondisi kekinian. ‘’signifikansi’’ juga selalu terus bergerak mengikuti perputaran dan perubahan cakrawala pembacaan kita.
Persoalan menjadi pelik justru ketika problematika penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut kemudian dijadikan justifikasi demi kepentingan pribadi dan ditarik pada kontestasi di dalam wilayah politik (publik). Mengingat agama dalam kesadaraan manusia memang memiliki nilai dan makna yang tidak kecil. Bahkan seringkali agama menjadi alasan utama mengapa manusia rela menjalankan sejarahnya, yang seringkali terasa nihil dan absurd. Melalui agama, yang di bawa para Nabi, manusia dikenalkan dengan Tuhan Penciptanya, zat yang serba Maha, moralitas transendental dalam dunia yang imanen sekaligus janji-janji eskatologik sebagai penawar dahaganya.
Agama sebagaimana dikatakan Nawal, memang memiliki dua fungsi: Pencerahan dan Kebodohan (hlm. 278). Banyak yang pemikirannya dicerahkan dan dicerdaskan oleh agama, namun tidak sedikit pula yang juga dibodohi oleh agama(wan). Proses pembodohan yang dilakukan oknum agamawan dengan menafsirkan ayat suci al-Qur’an demi kepentingan dan tujuan-tujuan politis ini, belakangan memperlihatkan sosoknya yang menakutkan di negara kita sendiri yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang santun dan toleran, Indonesia. Aksi terorisme di Bali maupun kota lainnya merupakan bukti konkrit dari fenomena di atas.
Para pelaku teror tersebut pada dasarnya merupakan korban indoktrinasi yang menggunakan dalil-dalil agama. Mereka, meminjam istilah Fahmi Huwaydi menyebut para ‘’tentara Tuhan’’ ini dengan istilah jundullah fi ma’rakatil ghalath, merupakan tentara Allah yang salah memilih medan perang. (hlm. 20) Kenaifan pemahaman akan ajaran Tuhannya, secara sadis dibajak oleh oknum agamawan (ustadz) dengan menawarkan candu berupa jaminan keselamatan atas kesengsaraan di Neraka dan kebahagiaan nan Abadi di Syurga, dengan melakukan tindakan yang diluar ‘’nalar agama’’ itu sendiri. Pada akhirnya proses menemukan dan menghayati Tuhan berubah menjadi memperdebatkan Tuhan, mengurusi Tuhan bahkan berdarah-darah karena Tuhan. (hlm. 100)
Tingkat ketulusan manusia dalam beribadah yang tereduksi karena impiannya akan syurga ini, ternyata juga telah meresahkan sang sufi wanita terbesar dari Bagdad, Rabi’ah al-Adawiyah, beribadah demi iming-iming atau takut karena ancaman tertentu, baginya hanyalah dilakukan oleh manusia yang memiliki mental budak. (hlm. 71) apalagi kemudian obsesi untuk mendapatkan syurgapun menghalalkan berbagai macam cara, seperti tindakan terorisme yang jelas-jelas memakan korban baik harta maupun nayawa manusia yang secara tegas dilarang oleh agama.
Ironisnya arogansi sikap dan ego sentris dalam beribadah ini yang sekarang semarak di negeri kita. Penyerangan rumah ibadah, tuduhan aliran sesat dan kafir yang disertai ancaman pembunuhan terhadap orang yang berbeda pendapat dalam beragama semakin menjadi-jadi. Padahal Islam adalah agama dakwah bukan dakwa. Dakwah adalah ajakan sementara dakwa berarti tuduhan. Selain itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan Hudhaibi, seorang mantan kadi dan mursyid Ikhwanul Muslimin, bahwa umat seharusnya jangan cepat dihakimi. Karena umat memiliki tiga kedaifan (kelemahan) yaitu : kebodohan (jahil), kesalahan (al-khata’) dan paksaan (al-ikrah). Seseorang yang dibekap tiga persoalan tadi tidak bisa dikenakan hukum, apalagi fatwa mati. (hlm. 137) disinilah, menurut Guntur, tugas para dai dan ulama untuk sekedar memberi bimbingan.
Bukankah salah satu tujuan beragama adalah untuk meleburkan ego individualistik manusia yang cenderung merasa paling baik dan benar sendiri diantara yang lain, sebagaimana sikap Iblis yang menolak sujud kepada Adam. Syurga sangat luas dan tidak terbatas sebagaimana rahmat dan kasih sayang Tuhan, tetapi dibutakan akan keserakahannya seolah-olah yang berhak menghuni syurga hanya dirinya sendiri. Bukankah sikap tersebut justru merupakan bentuk pengerdilan dan penghinaan atas kebesaran Tuhan ?. Mungkinkah kita mendapatkan syurga-Nya dengan merugikan, membunuh dan memenggal kepala orang lain? Bukankah sikap tersebut justru secara tidak langsung berupa pengingkaraan kita akan ke Maha Besaran dan Maha Kuasa-an Allah, sehingga kita berusaha menggantikan peranan-Nya sebagai ‘’al-Hakim’’? jangan-jangan bukan ‘’Ustadz saya sudah di syurga’’ yang keluar dari mulut para teroris kelak, melainkan ‘’ustadz syurganya mana’’?
Dosa Sosial dan Formalisasi Islam
Selain diinterupsi dengan ekspresi kalangan Islam Radikal, keberagamaan kaum muslimin di Indonesia beberapa tahun berselang, secara formalitas juga mengalami eskalasi, hal ini dapat terlihat dengan menjamurnya berbagai Majlis Ta’lim di segenap penjuru negeri ini, pengajian di Televisi maupun yang paling mutakhir berupa petuah-petuah keagamaan dengan layanan SMS (short massage service). Antusiasme yang tinggi akan nilai-nilai keagamaan secara formal diharapkan mampu mendongkrak berbagai segi kehidupan masyarakat yang ambruk, seiring dengan jatuhnya perekonomian di negeri ini. Sebuah ekspektasi yang tidak berlebihan, mengingat krisis multi-dimensi ini berujung-pangkal pada krisis moralitas yang diidap secara akut oleh berbagai kalangan, terutama yang memiliki akses secara langsung dengan kebijakan publik, dalam hal ini pemerintah.
Namun, ternyata menurut Guntur memahami agama dalam konteks formalitasnya saja amatlah berbahaya karena akan menjerumuskan kita pada ‘’keberagamaan yang palsu’’ (pseudo-religius atau al-tadayyun al-za’if). (hlm. 83) yang gejalanya memiliki beberapa pola ; pertama, keberagamaaan yang dibangun untuk ‘’penyucian diri’’ dan ‘’pengampunan diri’’. Tujuan keberagamaan ini adalah kemaslahatan diri sendiri agar terbebas dari dosa dan siksa secara syari’at. Pola ini biasanya terjadi pada penderita penyakit (dosa) sosial. Misalnya, seorang politikus busuk atau pejabat pemerintahan yang melakukan korupsi terhadap uang rakyat (negara), merasa akan terbebas dari dosanya apabila rajin mengikuti pengajian. Seorang pejabat pembunuh aktivis HAM, dosanya akan diampuni bila mondar-mandir ke Tanah Suci, dan lain sebagainya. Benarkah demikian ? berbeda dengan dosa Individual, dosa sosial tidak dapat hanya dinetralisir dengan langsung bermesraan dengan Tuhan yang berkaitan dengan hak-hak Allah (huquq Allah), tetapi sebelumnya harus memenuhi hak-hak manusia (huquq ibad) terlebih dahulu. Dosa sosial tidak akan pernah dimaafkan Tuhan selama ia belum mendapatkan maaf dari yang di zaliminya. Semakin tinggi jabatan seseorang semakin besar pula tanggung-jawab dan potensi dosa sosial yang dihadapinya. Inilah makna amanah dalam Islam.
Kedua, keberagamaan sebagai eskapis dari segala problematika dunia. Jika pola keberagamaan yang pertama (pengampunan dan penyucian) banyak dilakukan oleh para pelaku (subjek) dosa sosial, maka pola keberagamaan yang kedua ini sering dilakukan oleh para korban (objek) dosa sosial. Dengan demikian semarak keberagamaan kita yang cenderung formalistik tersebut pada dasarnya hanya bertumpu pada dua pola tersebut ; apakah anda termasuk pola pertama atau kedua.
Eskalasi formalisasi Islam mencapai titik kulminatif ketika Islam dijadikan ideologi alternatif dari pertarungan dua kutub ideologi dunia yang bertarung pada waktu Perang Dingin : Kapitalisme yang angkuh dan Komunisme yang ringkih. Ketika ideologi alternatif ini disusupi dengan indoktrinasi dan melahirkan fanatisme berlebihan, maka tidak mengherankan apabila kemudian berubah menjadi : ’’hanya sistem Islam-lah satu-satunya alternatif dan pilihan’’. (hlm. 132) dengan menegaskan (hanya) Islam sebagai solusi, maka tak ada solusi lain selain Islam. Apapun gagasan dan sistem yang dari luar Islam akan dicap sistem kafir. Gerakan ini pada akhirnya, bagi Guntur, akan mengarah pada aksi fundamentalisme Islam, yang menolak ajakan-ajakan pembaruan keagamaan dan gigih membela kemapanan. Berusaha mengembalikan kejayaan masa lalu, serta memahami ajaran agama secara rigid dan literal. Dalam kehidupan sosial yang objektif dan plural, fundamentalisme Islam juga sering membawa klaim-klaim teologis yang subjektif, seperti ‘’Islam adalah solusi’’, ‘’ajaran Islam sesuai dengan situasi dan kondisi’’, dan ‘’Islam adalah agama dan negara’’.(hlm. 248)
Menurut Guntur, dengan mengutip Karen Amstrong, fundamentalisme agama yang berupa keinginan kuat kembali ke ajaran fundamental agama dan upaya mempertahankan serta menegakkan kembali ‘’duplikasi sejarah’’ pada kondisi saat ini hal tersebut tidak hanya merupakan gerakan kembali ke akar, tetapi juga sebagai gerakan melawan modernitas yang dituduh mengakibatkan krisis multi-dimensi. (hlm. 156) sehingga, tidak mengherankan gerakan konfrontatif ini mendapatkan resistensi di negara-negara berpaham sekuler, seperti pada kasus pelarangan jilbab di Prancis. (hlm. 155) Hal ini juga menunjukkan gerakan semacam ini bukan memperbaiki citra Islam di mata Dunia, tetapi sebaliknya malahan membuat komunitas keagamaan secara keseluruhan semakin termarjinalkan dalam ranah peradaban modern yang traumatis akan catatan kelam sejarah nan menakutkan, ketika agama berkiprah di wilyah publik sebelum akhirnya mereka ‘’penjarakan’’ ke dalam wilayah Privat. (hlm. 156)
Membaca buku karya Guntur ini membawa kita melompat ke dalam berbagai dimensi kehidupan beragama. Lanskap yang luas ini mampu diimbangi dengan kemampuan dan pengetahuannya akan kekayaan khazanah literatur keagamaan (Islam) yang patut mendapatkan apresiasi besar mengingat usianya yang relatif masih muda. Agaknya, hormon jiwa mudanya inilah yang kerap membuat tulisan tanpa basa-basi mengkritik berbagai fenomena keagamaan yang dianggap janggal. Sebuah resiko yang harus tempuh, dan pada akhirnya membuat ia harus merasakan ‘’diwawancarai’’ oleh aparat Kepolisian sekitar hampir sembilan jam !. (hlm. vii)
Namun, seperti lazimnya sebuah kumpulan tulisan, kelemahan buku ini juga dalam menggagas dan merumuskan sebuah wacana, terkesan kurang elaboratif, mengingat pada awalnya tulisan-tulisan ini hanya berupa opini-opini yang diproyeksikan untuk media massa. Namun, hal itu tidak akan membuat rusak selera membaca kita ! Selamat membaca.......... !!!!!!!
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
ReplyDeleteapakah memang Rasulullah saw. mendirikan sebuah negara yang bernama Negara Islam ?
ReplyDelete