Review Book: Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan
Penulis : KH. Abdurrahman Wahid
Tebal : xxxvii + 397 halaman
Editor : Agus Maftuh Abegebriel, Ahmad Suaedy
Penerbit : The Wahid Insitute, 2007
Maraknya aksi fundamentalisme Islam dan booming aliran yang dicap sesat di Indonesia saat ini, seolah-olah semakin memperkuat asumsi bahwa Islam agama yang intoleran, cenderung pada kekerasan dan anti modernitas, ataupun dalam sisi yang lain bisa dikatakan gagal dalam membina keberagamaan umatnya. Betapa tidak, kemajuan bangsa atau agama lain hanya mampu direspons oleh beberapa kalangan umat Islam dengan cara-cara yang memalukan seperti bom bunuh diri, teror dan tindakan kekerasan lainnya, celakanya lagi tindakan tersebut diyakini sebagai perintah Tuhan yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari keyakinan terhadap agama (Islam) itu sendiri.
Krisis figur pemimpin keagamaan tersebut di sisi lain juga memicu kretifitas umat yang cenderung ngawur, karena kehilangan kepercayaan terhadap tokoh agamanya, orang lebih menyukai bersemedi dipinggir kali maupun menyepi di puncak gunung untuk mencari solusi kehidupan (wahyu/wangsit), sehingga kemudian memproklamirkan diri sebagai Mahdi, Messias bahkan Nabi baru seperti yang terjadi pada kasus Ahmad Musaddeq dan Lia Aminuddin, yang pada akhirnya pun ikut dinyatakan kafir dan sesat oleh para kalangan agamawan juga. Tak ketinggalan rigiditas kalangan umat Islam dalam menghadapi modernitas pun tidak memperlihatkan kemajuan signifikan, hal ini terbukti dalam beberapa kalangan umat Islam dewasa ini masih terdapat pemahaman bahwa modernitas sesuatu yang harus ditolak dan dilawan.
Penulis : KH. Abdurrahman Wahid
Tebal : xxxvii + 397 halaman
Editor : Agus Maftuh Abegebriel, Ahmad Suaedy
Penerbit : The Wahid Insitute, 2007
Maraknya aksi fundamentalisme Islam dan booming aliran yang dicap sesat di Indonesia saat ini, seolah-olah semakin memperkuat asumsi bahwa Islam agama yang intoleran, cenderung pada kekerasan dan anti modernitas, ataupun dalam sisi yang lain bisa dikatakan gagal dalam membina keberagamaan umatnya. Betapa tidak, kemajuan bangsa atau agama lain hanya mampu direspons oleh beberapa kalangan umat Islam dengan cara-cara yang memalukan seperti bom bunuh diri, teror dan tindakan kekerasan lainnya, celakanya lagi tindakan tersebut diyakini sebagai perintah Tuhan yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari keyakinan terhadap agama (Islam) itu sendiri.
Krisis figur pemimpin keagamaan tersebut di sisi lain juga memicu kretifitas umat yang cenderung ngawur, karena kehilangan kepercayaan terhadap tokoh agamanya, orang lebih menyukai bersemedi dipinggir kali maupun menyepi di puncak gunung untuk mencari solusi kehidupan (wahyu/wangsit), sehingga kemudian memproklamirkan diri sebagai Mahdi, Messias bahkan Nabi baru seperti yang terjadi pada kasus Ahmad Musaddeq dan Lia Aminuddin, yang pada akhirnya pun ikut dinyatakan kafir dan sesat oleh para kalangan agamawan juga. Tak ketinggalan rigiditas kalangan umat Islam dalam menghadapi modernitas pun tidak memperlihatkan kemajuan signifikan, hal ini terbukti dalam beberapa kalangan umat Islam dewasa ini masih terdapat pemahaman bahwa modernitas sesuatu yang harus ditolak dan dilawan.
Padahal Islam, baik secara normatif apalagi konteks historisnya, tidaklah demikian. Robert N. Bellah (1976) misalnya ketika menilik tradisi demokrasi dalam tradisi Islam, berpendapat bahwa Islam menurut zaman dan tempatnya sangatlah modern, sehingga belum mampu disosialisasikan dalam konteks masyarakat Arab yang masih menjunjung tinggi praktik tribalisme.
Di tengah kondisi umat yang seperti itulah, kehadiran (kembali) tulisan-tulisan dalam buku ini memiliki makna yang signifikan. Meskipun ditulis lima-belas hingga dua puluh-lima tahunan yang lalu, namun gagasan-gagasan yang dilontarkan Gus Dur, panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid, terasa masih urgen hingga saat ini. Mozaik pemikirannya memiliki spektrum yang luas bahkan tidak jarang melampaui pemikiran jamannya (zeitgeist), sehingga tidak jarang memicu kontroversi bahkan hujatan dan cercaan.
Buku yang berjudul Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan ini terdiri dari tiga tema utama yang masing-masing dihimpun dari sepuluh artikel: pertama, mengenai ajaran, transformasi dan pendidikan agama , kedua mengenai sosialisme, gerakan sosial dan anti kekerasan dan ketiga, pluralisme, kebudayaan dan hak asasi manusia.
Kosmopolitanisme Islam
Eksklusifitas sebagian umat Islam di Indonesia yang cenderung menolak pluralitas sebagai sebuah realitas yang harus dihadapi, bisa jadi merupakan salah satu kegelisaan penulis buku ini, padahal sebagaimana diakuinya watak kosmopolitanisme peradaban Islam sebenarnya telah tampak sejak pertamakali kemunculan agama ini. Hal ini terlihat dari strategi Nabi dalam mengorganisasi masyarakat muslim pertamakali, Madinah.
Kosmopolitanisme perdaban Islam ini muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad, Sebuah sikap yang sangat menghargai pluralitas.
Meskipun kemudian dalam praktik sejarahnya antar peradaban terjadi saling mengisi, saling mengkritisi bahkan saling mengeliminir antara satu dengan yang lain, namun hal itu adalah realitas historis yang niscaya, selama tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, karena kosmopolitanisme peradaban Islam sendiri tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk yang non-muslim).(hlm. 11)
Penting untuk dicatat bahwa dalam proses perubahan sosial, agama hanya berfungsi suplementer dan hanya menyediakan ‘sarana’ bagi proses perubahan itu sendiri, bukan agama yang membuat perubahan itu. Agama hanya mempengaruhi sejauh dunia siap dipengaruhi, tidak lebih dari itu. Karena apabila agama menjadi penentu, maka dia berpotensi untuk bersikap represif, untuk mempertahankan dirinya. Sehingga pada gilirannya akan mengikis watak kosmopolitanisme agama itu sendiri. Dari sinilah kita dapat sedikit memahami salah satu alasan Gus Dur yang sangat konsisten menentang upaya pendirian negara Islam dan penerapan syari’at secara formalistik.
Penerapan syari’ah secara formal di Indonesia tidak akan mampu mencapai esensi ajaran Islam itu sendiri. Karena dengan hal tersebut kita hanya akan melihat Islam yang seremonial belaka dan tidak melihat agama yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari di negeri ini, karena Islam (pada akhirnya) hanya (akan) berkembang secara ornamental belaka. Islam kemudian hanya dipahami sebagai ritualitas yang tanpa makna kecuali hanya secara simbolik.
Gus Dur pun mengakui bahwa kecenderungan untuk memanifestasikan kebudayaan Islam dalam kehidupan bangsa terbagi antara dua buah kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua, adalah kecenderungan untuk menjauhi sedapat mungkin formalisasi ajaran Islam dalam manifestasi kebudayaan bangsa. Pertarungan sengit antara dua kubu ini semakin menggejala pasca reformasi ketika dibukanya kran kebebasan berpolitik.
Yang tak kalah menariknya adalah fenomena maraknya gerakan-gerakan puritan keislaman di Indonesia akhir-akhir ini, gerakan yang bermaksud meyakini ‘memurnikan’ ajaran Islam dari anasir-anasir budaya yang melingkupinya ini secara tidak langsung memposisikan diri vis-a-vis dengan lokalitas ajaran Islam yang lebih akomodatif terhadap kebudayaan lokal, dalam hal ini diwakili oleh Nahdlatul Ulama.
Bagi Gus Dur gerakan puritan tersebut justru tidak memahami akan nilai historis yang di kandung dalam al-Qur’an. Karena al-Qur’an sendiri sebenarnya berwatak lokal, penggambaran syurga sebagai “susu dan madu yang mengalir bak sungai”, buah-buahan yang didambakan oleh manusia penghuni padang pasir, merupakan wahana utama untuk menyampaikan pesan-pesan yang dibawakan Islam.(hlm. 342) dalam konteks Indonesia, strategi kebudayaan yang dilakukan para Wali Songo sebagai sarana dakwah, bisa dijadikan contoh betapa Islam di Indonesia juga sangat akomodatif terhadap local wisdom masyarakat setempat, sehingga menghasilkan genius local yang mampu melahirkan pemuka agama yang arif, tanpa terjadi pertumpahan darah.
Menelanjangi pemikiran Gus Dur dalam berbagai tulisannya, memang seakan tidak ada habisnya. Daya jelajah pemikirannya yang luas berbanding lurus dengan kiprahnya diberbagai kehidupan baik dalam komunitas NU sendiri, nasional bahkan Dunia. Ia bukan hanya dikenal sebagai sosok ulama-pemikir yang sering mengeluarkan ide-ide segar, Gus Dur juga sekaligus sebagai budayawan, kiprahnya di dunia politik tidak kalah kontroversial sehingga ia, oleh Greg Barton (2004), dijuluki sebagai ‘pendekar mabuk’ perpolitikan Indonesia karena manuver politiknya yang sering membingungkan.
Membaca buku ini seolah-olah mencoba membaca realitas kehidupan dengan kacamata Gus Dur yang seorang ulama, pemikir, budayawan, politisi maupun rakyat biasa. Ditengah-tengah kebanyakan orang yang mengaku ulama tapi hanya mampu mengkafirkan kelompok yang berbeda tanpa mau berpikir selayaknya tugas seorang ulama, buku ini semacam oase di tengah kekeringan dan kekerdilan sebagian umat Islam dewasa ini.
Sebagaimana dikatakan oleh editor, kekuatan buku ini yang menjadikannya lebih baik daripada “Islamku, Islam Anda Islam Kita” pada tahun 2006 lalu -dengan penulis yang sama- adalah dua faktor: pertama buku ini ditulis tepat ketika rezim Orde baru memerintah hingga masa kejatuhannya, padahal tidak sedikit tulisan didalamnya merupakan kritikan langsung terhadap penguasa. Kedua, buku ini juga merupakan rekam jejak bagaimana pemikiran Gus Dur mengenai penguatan civil society di Indonesia pada tahun 80-90an, (hlm.xiii-xiv) sesuatu yang sangat langka pada waktu itu. Selamat membaca....!!!!
Kosmopolitanisme perdaban Islam ini muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad, Sebuah sikap yang sangat menghargai pluralitas.
Meskipun kemudian dalam praktik sejarahnya antar peradaban terjadi saling mengisi, saling mengkritisi bahkan saling mengeliminir antara satu dengan yang lain, namun hal itu adalah realitas historis yang niscaya, selama tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, karena kosmopolitanisme peradaban Islam sendiri tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk yang non-muslim).(hlm. 11)
Penting untuk dicatat bahwa dalam proses perubahan sosial, agama hanya berfungsi suplementer dan hanya menyediakan ‘sarana’ bagi proses perubahan itu sendiri, bukan agama yang membuat perubahan itu. Agama hanya mempengaruhi sejauh dunia siap dipengaruhi, tidak lebih dari itu. Karena apabila agama menjadi penentu, maka dia berpotensi untuk bersikap represif, untuk mempertahankan dirinya. Sehingga pada gilirannya akan mengikis watak kosmopolitanisme agama itu sendiri. Dari sinilah kita dapat sedikit memahami salah satu alasan Gus Dur yang sangat konsisten menentang upaya pendirian negara Islam dan penerapan syari’at secara formalistik.
Penerapan syari’ah secara formal di Indonesia tidak akan mampu mencapai esensi ajaran Islam itu sendiri. Karena dengan hal tersebut kita hanya akan melihat Islam yang seremonial belaka dan tidak melihat agama yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari di negeri ini, karena Islam (pada akhirnya) hanya (akan) berkembang secara ornamental belaka. Islam kemudian hanya dipahami sebagai ritualitas yang tanpa makna kecuali hanya secara simbolik.
Gus Dur pun mengakui bahwa kecenderungan untuk memanifestasikan kebudayaan Islam dalam kehidupan bangsa terbagi antara dua buah kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua, adalah kecenderungan untuk menjauhi sedapat mungkin formalisasi ajaran Islam dalam manifestasi kebudayaan bangsa. Pertarungan sengit antara dua kubu ini semakin menggejala pasca reformasi ketika dibukanya kran kebebasan berpolitik.
Yang tak kalah menariknya adalah fenomena maraknya gerakan-gerakan puritan keislaman di Indonesia akhir-akhir ini, gerakan yang bermaksud meyakini ‘memurnikan’ ajaran Islam dari anasir-anasir budaya yang melingkupinya ini secara tidak langsung memposisikan diri vis-a-vis dengan lokalitas ajaran Islam yang lebih akomodatif terhadap kebudayaan lokal, dalam hal ini diwakili oleh Nahdlatul Ulama.
Bagi Gus Dur gerakan puritan tersebut justru tidak memahami akan nilai historis yang di kandung dalam al-Qur’an. Karena al-Qur’an sendiri sebenarnya berwatak lokal, penggambaran syurga sebagai “susu dan madu yang mengalir bak sungai”, buah-buahan yang didambakan oleh manusia penghuni padang pasir, merupakan wahana utama untuk menyampaikan pesan-pesan yang dibawakan Islam.(hlm. 342) dalam konteks Indonesia, strategi kebudayaan yang dilakukan para Wali Songo sebagai sarana dakwah, bisa dijadikan contoh betapa Islam di Indonesia juga sangat akomodatif terhadap local wisdom masyarakat setempat, sehingga menghasilkan genius local yang mampu melahirkan pemuka agama yang arif, tanpa terjadi pertumpahan darah.
Menelanjangi pemikiran Gus Dur dalam berbagai tulisannya, memang seakan tidak ada habisnya. Daya jelajah pemikirannya yang luas berbanding lurus dengan kiprahnya diberbagai kehidupan baik dalam komunitas NU sendiri, nasional bahkan Dunia. Ia bukan hanya dikenal sebagai sosok ulama-pemikir yang sering mengeluarkan ide-ide segar, Gus Dur juga sekaligus sebagai budayawan, kiprahnya di dunia politik tidak kalah kontroversial sehingga ia, oleh Greg Barton (2004), dijuluki sebagai ‘pendekar mabuk’ perpolitikan Indonesia karena manuver politiknya yang sering membingungkan.
Membaca buku ini seolah-olah mencoba membaca realitas kehidupan dengan kacamata Gus Dur yang seorang ulama, pemikir, budayawan, politisi maupun rakyat biasa. Ditengah-tengah kebanyakan orang yang mengaku ulama tapi hanya mampu mengkafirkan kelompok yang berbeda tanpa mau berpikir selayaknya tugas seorang ulama, buku ini semacam oase di tengah kekeringan dan kekerdilan sebagian umat Islam dewasa ini.
Sebagaimana dikatakan oleh editor, kekuatan buku ini yang menjadikannya lebih baik daripada “Islamku, Islam Anda Islam Kita” pada tahun 2006 lalu -dengan penulis yang sama- adalah dua faktor: pertama buku ini ditulis tepat ketika rezim Orde baru memerintah hingga masa kejatuhannya, padahal tidak sedikit tulisan didalamnya merupakan kritikan langsung terhadap penguasa. Kedua, buku ini juga merupakan rekam jejak bagaimana pemikiran Gus Dur mengenai penguatan civil society di Indonesia pada tahun 80-90an, (hlm.xiii-xiv) sesuatu yang sangat langka pada waktu itu. Selamat membaca....!!!!
No comments:
Post a Comment