Monday, May 19, 2014

Pengalaman para Santri di Negeri Barat



Judul Buku: Berguru ke Kiai Bule
Penulis: Sumanto Al-Qurtuby, dkk. 
Penerbit: Noura Books
Cetakan: I, 2013
Tebal: 275 Halaman

Selama ini, seolah ada asumsi pada sebagaian besar kalangan muslim Indonesia bahwa ilmu-ilmu keislaman hanya layak dipelajari di Timur-Tengah, seperti Mesir, Arab Saudi, dan negara-negara Arab lainnya yang pernah menjadi pusat kebudayaan Islam seperti Baghdad dan Qum.

Sedangkan negara-negara Barat di benua Eropa dan Amerika, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Jerman jangankan menjadi tempat studi Islam, bahkan gambaran umum umat Islam saat ini saja masih menganggap bahwa belahan dunia tersebut bukan merupakan tempat tinggal yang ideal bagi mereka.

Alih-alih menjadi seorang yang taat beragama, orang Islam yang datang ke Amerika akan luntur keimanannya, tergerus dan tergoda oleh gemerlap kehidupan duniawi, jatuh ke dalam pergaulan bebas, alkohol, dan obat-obatan terlarang. Sedangkan makanan yang halal dan masjid untuk sholat berjamaah sulit didapat sebagaimana perempuan yang mengenakan jilbab sulit mendapat pekerjaan. 

Rupanya asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar, setidaknya menurut penuturan Fachrizal Halim, salah satu kontributor dalam buku berjudul Berguru ke Kiai Bule ini. Menurutnya, stereotif yang terbentuk saat ini lebih dikarenakan adanya kesalahpahaman yang bersumber dari rasa curiga umat Islam terhadap nilai-nilai sekularisme yang berlaku dalam masyarakat Barat, khususnya Amerika. (Halaman 240)

Terlebih kesalahpahaman dan rasa curiga tersebut kemudian dibumbui dengan romantisme dan rasa superioritas berlebihan umat Islam terhadap masyarakat ideal Islam masa lalu yang tercermin dalam pandangan bahwa umat Islam seharusnya hidup dalam masyarakat yang islami dan diatur dalam sistem pemerintahan Islam.

Faktanya, Ismail Fajrie Alatas justru menemukan kembali khazanah intelektual Islam di negeri Paman Sam. Tepatnya pada departemen studi Timur Tengah, University of Michigan. Uniknya, Profesor Bonner, salah satu pengajarnya, bahkan menggunakan sistem pengajaran yang mirip sekali dengan tradisi pesantren-pesantren kuno di Jawa, terutama kalangan Nahdlatul Ulama (NU), yakni sistem sorogan.

Pada saat kelas dimulai, sang profesor akan menunjuk seorang murid untuk mulai membaca teks yang kita pelajari secara lantang, dan disimak oleh murid yang lain. Jika terdapat kesalahan dalam pembacaan, baik dari segi makhraj ataupun pemberian harakat pada teks, dia akan bertanya pada murid mengapa demikian. Dan jika tidak dapat dijawab barulah Prof. Bonner membeberkan kesalahan serta koreksinya. (Halaman 80)

Selain itu, tidak sedikit majelis-majelis taklim dan dzikir yang bertebaran senatero Amerika. Kebanyakan didirikan oleh warga muslim Amerika yang pernah menimba ilmu di Tarim, Yaman. Setiap minggu mereka mengadakan pembacaan maulid. Sebuah pemandangan yang meruntuhkan persepsi orang tentang Amerika Serikat yang penuh seks bebas dan kekerasan sebagaimana terdapat dalam film-film Hollywood.  

Beragam alasan kenapa para intelektual muda ini lebih memilih untuk menjadi santri para kiai bule di Barat. Mulai dari adanya beasiswa yang memungkinkan mereka untuk bersekolah gratis, pengalaman yang baru di negara maju, atau sebagaimana yang dikemukakan oleh Al Makin, yaitu karena semangat, atau sebagian semangat, dari kota Muslim zaman klasik, sekarang diwarisi kota-kota Barat.

Di Universitas, para akademisi terus menerus melakukan riset, berpikir, mengkritisi teori terdahulu, dan mengeluarkan pendapat baru, seperti tampak dalam dinamika mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali, Hanafi; seperti dinamika Kharijiyah, Qadariyah, Ahlissunnah, dan Mu’tazilah. Semua masih tetap memegang semangat dinamis, tidak berhenti seperti kebanyakan negeri-negeri muslim. (Halaman 50)

Kehadiran buku setebal 275 halaman ini mampu mengajak pembaca menelusuri percikan cahaya keislaman dalam lorong-lorong peradaban Barat nan jauh di sana. Pergumulan dengan kultur yang berbeda dengan tempat tiga belas santri ini lahir dan dibesarkan, tetap bisa berjalan mesra.

Sebagaimana dikatakan oleh Sumanto Al-Qurtuby dalam pengantar, kehadiran buku ini berangkat dari sebuah premis dan spirit bahwa jika kita ingin dihargai negara, bangsa, dan agama lain, amak kita juga harus menghargai negara, bangsa, dan agama lain itu.

Prinsip saling menghargai tersebut tentu saja berlaku dimana saja dan bagi siapa saja. Karena dengan sikap itulah proses dialog yang dapat memperkaya wacana serta wawasan antar manusia dengan tradisinya dapat terjadi. Sedangkan sikap pongah dan rasa curiga berlebihan hanya membuat kita teralienasi dari dunia yang terus bergerak.

1 comment: